|
SURABAYA, KOMPAS - Sejumlah warga di Kelurahan Tambak wedi, Kecamatan Kenjeran, mengeluhkan sulitnya mendapatkan air bersih untuk keperluan sehari- hari. Air sumur mereka berwarna kuning dan berbau tak sedap. Setiap hari warga membeli air bersih dari sebuah masjid yang telah memiliki pipa jaringan dari Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) Surabaya. Namun, mereka tak leluasa mendapatkan air bersih karena harus menunggu penjaga masjid datang. "Harus menunggu sore atau pagi benar untuk antre membeli air," tutur Sumiyah (32), warga RT 9/RW 2 Kelurahan Tambak Wedi, Minggu (20/7). Warga umumnya membeli air dalam satu gerobak berisi sepuluh jeriken yang masing-masing berukuran 20 liter. Harga satu gerobak air bersih Rp 3.000. "Kalau minta diantarkan, harganya jadi Rp 6.000," kata Sumiyah. Keadaan ekonomi yang pas-pasan menyebabkan warga tidak bisa membeli banyak air. Padahal, kebutuhan air mereka cukup besar, terutama untuk minum, memasak, mandi, dan mencuci pakaian. Air sumur warga sama sekali tidak bisa digunakan. "Warnanya kuning sehingga melekat di baju," tutur Tatang, warga lainnya. Warga juga enggan mengonsumsi air sumur karena baunya yang tidak sedap. Air sumur juga terasa asin akibat intrusi air laut, sebab jarak antara permukiman warga dengan laut lepas hanya sekitar 500 meter. Pada tahun 2005 dan 2007, warga mengajukan proposal bantuan pemasangan jaringan pipa PDAM serta pemasangan paving di kampung mereka kepada Pemerintah Kota (Pemkot) Surabaya. Namun, tak kunjung ada jawaban. "Petugas Pemkot dua kali ke sini untuk mengukur-ukur lahan. Tapi kok belum ada kelanjutannya sampai sekarang," ujar Hasan, Ketua RT 9 Kelurahan Tambak Wedi. Padahal, di wilayah RT lainnya telah dipasangi pipa jaringan PDAM. Sulit diterapkan Warga kampung lain secara kolektif mengumpulkan uang untuk memasang pipa jaringan. Sarbi (48), warga Kalilom Timur, Kecamatan Kenjeran, menuturkan bahwa sekitar tiga tahun lalu warga mengumpulkan uang sekitar Rp 59 juta untuk pemasangan pipa jaringan PDAM. "Rata- rata setiap warga membayar Rp 700.000," tuturnya. Namun, hal serupa sulit diterapkan di RT 9 Kelurahan Tambak Wedi. Hanya ada 42 keluarga di RT tersebut sehingga jumlah uang yang ditarik dari setiap keluarga lebih besar. Sementara warga kampung itu umumnya adalah nelayan, penarik becak, kuli bangunan, dan wiraswasta. "Warga di sini berekonomi lemah, tak mampu iuran sampai jutaan rupiah untuk jaringan PDAM," ujar Hasan. Ia berharap ada kepedulian dari Pemkot Surabaya untuk memudahkan warga memperoleh jaringan pipa PDAM. Kepala Unit Humas Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) Kota Surabaya Sunarno menyatakan bahwa 30 persen kawasan di Surabaya belum terjangkau oleh pelayanan PDAM. Biaya pengadaan pipa jaringan yang cukup besar, antara lain yang menyebabkan warga belum bisa menikmati air bersih. Biaya itu menjadi tanggungan calon pelanggan. "Warga bisa mengajukan keringanan kepada PDAM soal pengadaan pipa jaringan," kata Sunarno. Namun, hal itu tak bisa segera disetujui karena PDAM masih harus menurunkan tim pengkaji mengenai kelayakan warga menerima keringanan. Alternatif lain adalah menyediakan hidran umum di salah satu rumah warga. "Warga bisa membeli air bersih di hidran umum dengan harga yang ditetapkan PDAM," tutur Sunarno. (REK) Post Date : 22 Juli 2008 |