Jakarta, Kompas - Meski tahun ini Indonesia tidak dilanda kemarau panjang, sejumlah daerah mengalami kekeringan. Ini dikarenakan pengelolaan dan pemanfaatan air yang buruk sehingga embung atau waduk serta sumber air permukaan dan dalam kering.
”Diperlukan perawatan waduk yang baik serta perbanyakan sumur-sumur resapan agar air hujan selama musim hujan banyak terserap ke dalam tanah,” kata ahli hidrologi Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT), Sutopo Purwo Nugroho.
Menurut dia, krisis air di Pulau Jawa saat musim kemarau terjadi sejak 1995. Ini karena peningkatan kebutuhan air yang mengikuti pertambahan penduduk dan diperparah kerusakan daerah aliran sungai, pencemaran, perubahan penggunaan lahan, dan pengaruh iklim global.
Dengan berdasar luasan lahan yang tersedia dan jumlah penduduk di Indonesia, ia menunjukkan daya dukung lingkungan telah terlampaui.
Sutopo mengatakan, kebutuhan air mencapai 42,7 miliar meter kubik, sedangkan ketersediaan air dari air permukaan sekitar 29,5 miliar meter kubik. ”Artinya, defisit air mencapai 13,2 miliar meter kubik. Jadi kekeringan suatu keniscayaan karena air yang tersedia lebih sedikit dari- pada kebutuhan,” ucapnya.
Sutopo mengatakan, manajemen air menjadi sangat mendesak. Diperlukan upaya preventif, seperti teknologi pemanenan air hujan serta jaringan penangkap aliran permukaan. Selain itu, meningkatkan kapasitas resapan air di sejumlah wilayah yang kondisi tanahnya memungkinkan.
Peneliti senior bidang konservasi kebumian pada Pusat Penelitian Geoteknologi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Edi Prasetyo Utomo, mengatakan, menginjeksikan air sebanyak-banyaknya pada musim hujan akan membantu kesulitan pada musim kemarau.
”Akan tetapi, sejauh ini masalah injeksi air hingga ke dalam lapisan tanah dalam tidak banyak dikerjakan,” ujarnya.
Menurut Edi, sistem injeksi bisa dilakukan secara sederhana tanpa pemompaan, tetapi menggunakan gravitasi seperti dilakukan LIPI di kawasan perkantorannya di Jalan Gatot Subroto, Jakarta.
Dampak perubahan iklim
Secara terpisah, Edvin Aldrian, Kepala Pusat Perubahan Iklim dan Kualitas Udara Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika, di sela acara pelatihan dan penyadaran publik tentang dampak perubahan iklim mengatakan, perubahan iklim telah berdampak nyata di Indonesia. Salah satunya anomali cuaca La Nina yang berlangsung lama, yaitu sejak tahun lalu hingga pertengahan tahun ini. Akibatnya, tahun lalu merupakan tahun yang ”basah”—tanpa musim kemarau.
Sebaliknya, kemarau tahun ini tak terjadi guyuran hujan sama sekali selama empat bulan terakhir sehingga banyak lahan pertanian mengalami kekeringan. Akibat perubahan iklim, curah hujan musim kemarau sudah terlihat cenderung terus menurun dalam waktu setengah abad terakhir, terutama di selatan khatulistiwa. (ICH/NAW/YUN)
Post Date : 20 September 2011
|