|
Posisi geografis dan topografi Jakarta memang tidak memungkinkan ibu kota republik ini terhindar dari bencana banjir. Akan tetapi, itu mestinya tidak bisa menjadi alasan untuk tidak bekerja keras mengatasinya. Faktanya, dari tahun ke tahun persoalan banjir dan dampaknya bukannya berkurang, tetapi malah meningkat. Jumlah genangan bukannya berkurang, tetapi malah bertambah. Mengendalikan banjir tidak bisa dilakukan sepotong-potong. Bukan pula soal pembangunan infrastruktur pengendalian banjir semata, tetapi juga harus menyinergikan dengan kebijakan tata ruang dan wilayah yang konsisten, dan perilaku manusia yang tinggal di dalamnya. Keseringan dilanda banjir membuat warga yang tinggal di daerah rawan banjir menjadi terbiasa dengan prosesi tahunan itu. Ada yang meninggikan rumah sehingga bisa menyelamatkan barang-barang berharga, sekaligus tetap bisa beraktivitas meski air menggenangi jalan hingga rumah bagian bawah. Namun, kondisi itu tetap saja tidak mengenakan. Bisa saja dengan mudahnya kita atau pemerintah berdalih, siapa suruh tinggal di bantaran sungai yang seharusnya bebas dari bangunan. Sungai menjadi sempit, dangkal, dan tersumbat sampah. Jadi masuk akal kalau air mengamuk, lalu membanjiri rumah warga. Warga pun disuruh pindah meski pemerintah daerah setempat sering menghadapi perlawanan dari warga yang tidak tahu harus pindah ke mana. Tetapi mengapa cuma mereka yang dikejar-kejar? Bagaimana dengan kebijakan pemerintah yang membiarkan ruang terbuka hijau dijadikan permukiman dan pusat belanja oleh orang-orang bermodal besar. Di sinilah Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta tidak tegas dan tidak konsisten menentukan kebijakan. Pemprov DKI sudah sering diingatkan mengenai penyebab banjir yang menimbulkan kemacetan lalu lintas dan segala kesulitan hidup warga, tetapi tampaknya tak mudah mengubah pola penyelenggaraan pembangunan maupun perilaku sosial di Ibu Kota. Tampaknya, Pemprov DKI masih menerapkan kebijakan pembangunan ekonomi yang melawan hukum alam dan secara tidak langsung mendorong masyarakat terus berada dalam jalur bencana banjir. Pemimpin Induk Pelaksana Kegiatan Pengembangan Wilayah Sungai Ciliwung-Cisadane (IPK-PWSCC), Departemen Pekerjaan Umum, Pitoyo Subandrio, mengatakan, mengendalikan banjir itu mau tidak mau dengan membereskan sejumlah biang keladi, baik teknis maupun nonteknis yang mengakibatkan banjir. Apalagi warga Jakarta sudah merasakan banjir besar yang mengerikan pada tahun 1996 dan 2002. Kepala Badan Pengelolaan Lingkungan Hidup DKI Kosasih Wirahadikusuma mengakui, dalam pengendalian banjir pemerintah kurang melibatkan segenap sektor. Penanganan program masih tertumpu secara teknis, misalnya pada Dinas Pekerjaan Umum saja. Semestinya pengendalian banjir itu diawali dengan program terencana dari wilayah hulu, seperti menjaga kawasan tangkapan hujan. BKT bukan segalanya Belakangan ini Pemprov DKI selalu mengaitkan pembangunan Banjir Kanal Timur (BKT) yang belum selesai setiap kali membahas soal banjir. Pembangunan kanal sepanjang 23,6 kilometer itu sepertinya diyakini akan mampu membebaskan Jakarta dari banjir. Padahal, BKT yang melintasi 13 kelurahan di Jakarta Timur dan Jakarta Utara itu hanya akan mengurangi banjir di Jakarta bagian timur. Keberadaannya akan melengkapi Banjir Kanal Barat (BKB) yang sudah ada. Kedua kanal itu akan menjadi saluran yang menangkap dan mengubah aliran kali-kali yang masuk wilayah Jakarta untuk menuju laut agar tidak melalui tengah kota. BKB mengubah dan menangkap aliran air dari Kali Ciliwung, Krukut, dan Kalibaru Barat. Adapun BKT nantinya akan menampung air dari Kali Cipinang, Sunter, Buaran, Jati Kramat, dan Cakung. Pemimpin proyek BKT dari Departemen Pekerjaan Umum Pitoyo Subandrio sendiri mengingatkan, BKT bukanlah segalanya. Kalaupun BKT selesai tahun 2008 atau paling lambat tahun 2010, persoalan banjir di Jakarta Timur dan sebagian Jakarta Utara masih tetap bergantung pada perilaku masyarakat Jakarta sendiri dalam mengelola lingkungannya. Persoalannya, sampai sekarang proses pembebasan lahan untuk BKT masih menghadapi penolakan dari sebagian pemilik lahan. Meski demikian, Gubernur Sutiyoso optimistis pembebasan lahan akan selesai tahun 2007. Apalagi, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono memberikan dukungan dengan menerbitkan Peraturan Presiden Nomor 36 Tahun 2005 tentang Pengadaan Tanah untuk Kepentingan Umum. Wali Kota Jakarta Timur Koesnan A Halim yakin, penolakan warga yang menuntut ganti rugi sesuai harga pasar itu hanya karena terpengaruh segelintir orang. Buktinya, sampai Februari 2006 dipastikan akan dikeluarkan anggaran Rp 200 miliar untuk pembayaran ganti rugi. Kami akan memprioritaskan yang setuju NJOP dulu. Baru akhir tahun 2007 pemilik lahan yang belum setuju akan dibereskan. Kalau mereka tetap tidak juga mau menerima ganti rugi sesuai NJOP, uangnya tinggal dititipkan ke pengadilan. Proyek ini harus tetap sesuai jadwal yang sudah ditentukan, kata Koesnan yang menargetkan lahan BKT di wilayah Jakarta Timur siap 75 persen pada tahun 2006. Sebagai pendukung, Pemprov DKI tahun ini menganggarkan Rp 450 miliar, naik sangat tinggi dibandingkan dengan tahun 2004 yang hanya Rp 100 miliar. Tahun depan sudah dimaklumatkan anggarannya minimal sama dengan tahun ini alias Rp 450 miliar. Bahkan, bisa lebih. Menurut Pitoyo Subandrio, selesai atau tidaknya BKT memang sangat bergantung pada kecepatan DKI membebaskan lahan. Jika semuanya beres, pembangunan fisik bisa selesai dalam waktu satu tahun saja. Sekarang ini lahan yang sudah bebas langsung kami gali, kata Pitoyo. Dengan sistem yang disebutnya gerilya itu, sekarang pekerjaan fisik sudah mencapai 5,5 kilometer dari total rencana BKT 23,5 kilometer. Lokasinya memang terpencar-pencar, sesuai dengan penyelesaian pembebasan lahan. Menggali tanah dan mengangkutnya dari lokasi yang sebagian besar di antaranya belum berhasil dibebaskan itu bukan tanpa risiko. Warga yang merasa terganggu bisa menuntut macam-macam, seperti di Cipinang Besar Selatan, lokasi tempat BKT akan bermula. Penanganan terpadu Banjir di Jakarta diakui menjadi persoalan yang kompleks. Di musim hujan awal tahun ini saja banjir besar beberapa kali terjadi. Padahal, pengendalian banjir selalu ada. Namun, penanganan banjir yang ditempuh Pemprov DKI seperti menormalisasi sungai-sungai yang ada di wilayahnya atau membuat drainase dinilai lebih bersifat jangka pendek. Padahal, persoalan Jakarta yang kini menjadi kota langganan banjir tidak bisa diselesaikan hanya di dalam wilayah Jakarta sendiri. Yang sebenarnya mendesak dilakukan adalah menormalisasi sungai dari hulu ke hilir. Keuntungannya bukan saja untuk mengendalikan banjir yang mengancam wilayah Jabodetabek, tetapi juga menjadi konservasi air yang dibutuhkan masyarakat. Prof Naik Sinukaban, guru besar dan Ketua Departemen Konservasi Tanah dan Air Institut Pertanian Bogor, mengatakan, banjir di Jakarta akan terus terjadi selama penggunaan lahan di Daerah Aliran Sungai (DAS) Ciliwung tidak sesuai dengan kaidah-kaidah konservasi. Untuk itu, Sinukaban mengusulkan perlunya dibentuk tim terpadu dari Pemprov DKI dan Jawa Barat dalam menata DAS Ciliwung. Menurut Kepala Staf Pelaksana IPK-PWSCC Hari Suprayogi, meskipun soal pengurusan sungai lintas provinsi mengacu pada undang-undang ditangani Departemen Pekerjaan Umum, pemerintah daerah tidak bisa lepas tangan. Semua pihak harus bersinergi dan bekerja sama karena mengerjakan sungai itu menyangkut kemampuan pendanaan, tenaga, dan lainnya. Yayat Supriyatna, dosen Teknik Planologi Universitas Trisakti, pernah mengatakan, Pemprov DKI seharusnya meniru Belanda, yakni bagaimana menyadarkan warganya bahwa mereka memang hidup di bawah ancaman banjir. Karena itu, pemerintah pun diharapkan sangat berhati-hati dalam menerapkan setiap kebijakan yang berhubungan dengan pemanfaatan air. Intinya, kata Direktur Lembaga Pengkajian Pemberdayaan Daerah Aliwongso H Sinaga, warga Jakarta juga sudah tahu bahwa kotanya sulit terbebas dari banjir. Yang diinginkan warga adalah hasil nyata bahwa dari tahun ke tahun persoalan banjir semakin berkurang. Bukan malah bertambah.Ester Lince Napitupulu Post Date : 19 Desember 2005 |