|
JAKARTA --Sudah waktunya pemerintah mencari sumber air baku lain selain dari Jatiluhur. Jika pemerintah tidak segera mengambil tindakan pengamanan dan konservasi terhadap suplai air, diperkirakan ibu kota akan mengalami defisit air baku pada tahun 2007. Hal ini dinyatakan oleh Direktur Hubungan Institusional PT Pam Lyonnaise Jaya (Palyja), Kumala Siregar, beberapa waktu lalu. Menurut Kumala, jika tidak diantisipasi segera, ibu kota akan kekurangan air baku pada 2007 sebanyak 214 meter kubik per detik. Ia menyebut tindakan yang harus dilakukan adalah pengamanan terhadap sumber air, inventarisasi kebutuhan, dan mencari sumber air baru. Pengamanan ini penting dilakukan karena selama ini pasokan air ke ibukota di bawah perjanjian kontrak dengan pihak Jatiluhur (PJT2). Dalam perjanjian antara PAM Jaya dengan PJT2 selaku pemasok air baku dari Jatiluhur, seharusnya Palyja mendapat pasokan air sebanyak 6,2 meter kubik per detik. Namun faktanya, pada tahun 2003/2004, Palyja hanya mendapat kiriman rata-rata 5,1-5,2 meter kubik per detik. ''Padahal kemampuan instalasi kami bisa mengolah hingga 5,4 meter kubik per detik,''ujarnya. Menurut Kumala, hal ini terjadi akibat banyak hal. Selain terkadang debit air di Jatiluhur yang menurun, adanya gangguan di pompa air Cawang juga menjadi masalah. Selain itu, katanya, banyak terjadi konflik kepentingan pada pengiriman air dari Jatiluhur ke Jakarta. Selain digunakan di Palyja, air ini juga digunakan sebagai sumber air di industri, maupun pengairan sawah. Karena itu, katanya, pemerintah juga harus menginvetentarisir kebutuhan air baku di daerah. Sehingga suplai air terdata, dan bisa dioptimalkan. Hal itu bukan hanya menguntungkan ibu kota, namun juga wilayah yang dilalui aliran air ke Palyja. Kumala menambahkan, selama ini Palyja tidak memenuhi semua kebutuhan airnya dari suplai PJT2. Palyja juga membeli suplai air dari Tangerang. Sebanyak 70 persen suplai air didapat dari Jatiluhur, dan sisanya dari Tangerang. Ia menambahkan, untuk menghindari defisit air pada tahun 2007, banyak hal yang harus dilakukan. Pihak Palyja sendiri, kata Kumala, saat ini tangah berupaya melakukan perbaikan jaringan pipa yang sudah tua. Kehilangan air akibat jaringan pipa yang buruk, katanya, mengakibatkan kebocoran hingga 45 persen. Angka tahun 2004 ini berkurang dari tahun 1998, dimana kebocorannya mencapai 60 persen. Padahal, air baku per meter kubik, yang dibeli dari PJT2 dibeli Pelyja seharga Rp 80. Sementara air dari Tangerang, Palyja membayar Rp 1.100 per meter kubik, karena air yang didapat sudah berupa air baku yang tidak perlu pengolahan lagi. Sehingga kerugian akibat kebocoran ini sangatlah besar. Selain pengamanan, dan inventarisir, Ia juga meminta pemerintah DKI mencari sumber air baku baru untuk menghindari defisit. ''Bisa saja kita membangun instalasi pengolahan air baku di Jatiluhur,''ujarnya. Namun semua ini bisa terwujud jika ada pihak yang mau berinvestasi. ''Makanya kita inginkan semua stakeholder duduk bersama dan mencari penyelesaian,''ujarnya. Stakeholder yang dimaksud, katanya, bukan hanya Palyja, DKI, dan Kimpraswil, melainkan juga melibatkan daerah yang dilalui jalur air baku. Kumala menambahkan, selain suplai kebutuhan yang semakin menurun, kualitas air baku pun juga semakin menurun. Hal ini terjadi akibat sistem pengiriman air terbuka mulai dari Jatiluhur hingga Cawang. Saluran air terbuka ini, membuat masyarakat maupun industri membuang limbahnya ke sungai. Karena itu, kata Kumala, untuk mencapai kualitas air baku, pihaknya menggunakan bahan kimia untuk membersihkan air. ''Meskipun sampai saat ini penggunaan tawas masih dalam batas normal, namun sebaiknya dicari upaya untuk mengurangi penggunaan bahan kimia,''ujarnya. Karena meski masih dalam batas normal, penggunaan bahan kimia ini juga secara otomatis meningkatkan biaya produksi. Implikasinya juga pada harga air yang cenderung tinggi. Berdasar data BPLHD, saat ini suplai air bersih untuk penduduk ibukota dari PAM Jaya baru mampu menyediakan 52,13 persen kebutuhan air bersih. Sisanya, sebanyak 47,87 persen kebutuhan warga ibukota dan industri atau kegiatan lainnya, diambil dari air tanah dangkal maupun air tanah dalam. Pada tahun 2002, BPLHD memperkirakan penggunaan air tanah untuk suplai warga mencapai 222,83 juta meter kubik per tahun. Sebanyak 199,48 juta meter kubik diambil dari air tanah dangkal dan sisanya sebanyak 23,25 juta meter kubik diambil dari air tanah dalam. Dengan perkiraan pada tahun 1998, bahwa cadangan air tanah DKI mencapai 261,07 juta meter kubik. Maka pemanfaatan air tanah oleh penduduk ibukota sudah mencapai 85,35 persen. Sebanyak 76,4 persen didominasi oleh pemanfaatan air tanah dangkal. Laporan : c02 Post Date : 16 Oktober 2004 |