|
MASALAH hutan gundul dan lahan kritis terkait erat dengan sumber daya manusia (SDM). "Sebab, kerusakan lingkungan sebagian besar adalah faktor kesalahan manusia," kata Suradi, Kepala Seksi Bimbingan dan Penyuluhan Dinas Kehutanan Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Malang, Jawa Timur (Jatim). Suradi berpendapat bahwa penggundulan hutan dan lahan kritis, hingga pembabatan lahan perkebunan, telah berlangsung sejak 1998, ketika terjadi reformasi. Akibat krisis moneter yang berkepanjangan, masyarakat pedesaan panik dan memanfaatkan apa saja, termasuk pepohonan di hutan atau tanaman di perkebunan, untuk mengisi perut mereka. Namun, Suradi tidak sepenuhnya mempersalahkan masyarakat dalam kasus ini. Sebabnya, menurut Suradi, masyarakat memang awam atau minim pengetahuannya tentang betapa pentingnya pelestarian lingkungan. Bagi Suradi, saat ini persolannya bukanlah mencari kambing hitam dalam menyikapi musibah banjir dan longsor yang jelas-jelas akibat penggundulan hutan dan lahan kritis tersebut. Bagi Suradi, yang terpenting adalah bagaimana cara mengatasi atau mengurangi hutan gundul dan lahan kritis, sehingga bencana banjir dan longsor bisa dihindari. Suradi mulai berpikir untuk menemukan cara penanggulangan hutan gundul dan lahan kritis itu. Dia bahkan berangan-angan kelak cara atau teknologi itu juga bisa mengatasi kesulitan air di musim kemarau. Singkat kata, Suradi akhirnya menemukan teknologi yang dinamakan sistem tabanas air atau tabungan nasional air. Sistem ini menyimpan air sebanyak mungkin saat musim hujan. Fungsinya adalah menjaga tingkat kesuburan tanah. "Bila musim kemarau tiba, tidak akan terjadi kekeringan karena tanah masih menyimpan banyak air," ujar Suradi. Suradi menceritakan berdasarkan pengamatan di sejumlah lahan kritis, di Kecamatan Wajak, ditemukan bahwa sebagian besar lahan di daerah tersebut berpasir dan tingkat kesuburan tanahnya mulai berkurang sehingga sulit untuk ditanami. Kemudian dibuatlah sistem sederhana dengan membuat sejumlah jamban di kawasan lahan kritis. Jamban itu, fungsinya untuk meresapkan air hujan ke dalam tanah. Saat musim kemarau, jamban tersebut difungsikan sebagai tempat pembuangan sampah. Suradi mengaku, sistem tabanas air temuannya itu telah diterapkan sejak 1983. Hasilnya, lahan kritis yang ada di Kecamatan Wajak, mulai bisa ditanami kembali, dan saat musim kemarau tiba tidak terjadi kekeringan. Bahkan, hasil temuannya itu mengantarkan dia mendapat penghargaan sebagai penerima Kalpataru dari pemerintah pada 1997. Dia juga menerima Bintang Kehormatan Satyalencana Pembangunan dari Presiden RI Susilo Bambang Yudhoyono atas jasa-jasanya di bidang pembangunan lingkungan hidup. Suradi juga melibatkan masyarakat setempat dalam pengembangan teknologi tabanas air. Dia berharap dengan melibatkan masyarakat setempat, secara langsung maupun tidak langsung, dia telah mempertinggi kualitas sumber daya manusia di bidang pelestarian lingkungan hidup. Dengan begitu, kerusakan lingkungan yang disebabkan oleh faktor kesalahan manusia bisa dikurangi. Bagus Suryo/N-1 Post Date : 28 Desember 2004 |