Swastanisasi Air Bersih Diminta Dihentikan

Sumber:Kompas - 07 Juni 2011
Kategori:Air Minum

Jakarta, Kompas - Kerja sama antara Pemerintah Provinsi DKI Jakarta dan dua operator penyedia air bersih swasta hendaknya segera dihentikan. Perjanjian kerja sama itu dibuat tidak seimbang sehingga hanya akan menguntungkan pihak swasta.

Demikian petisi yang disampaikan sekitar 50 pengunjuk rasa yang tergabung dalam Koalisi Masyarakat Menolak Swastanisasi Air Jakarta (KMMSAJ) saat melakukan unjuk rasa di depan gedung Balaikota DKI Jakarta, Senin (6/6).

Kontrak kerja sama dengan dua operator swasta, yakni PT PAM Lyonnaise Jaya (Palyja) dan PT Aetra Air Jakarta (Aetra), yang telah berlangsung selama 13 tahun dianggap hanya menguntungkan pihak swasta. Sementara Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) Jaya yang posisinya hanya sebagai pengawas justru mendapatkan utang dari kerja sama ini.

Sementara bidang layanan dan pekerjaan teknis yang menjadi kewajiban Palyja dan Aetra hasilnya jauh dari kategori memuaskan. Keluhan dari pelanggan atas kualitas air yang buruk, bau, dan banyak cacing masih terus mewarnai surat pembaca di media massa.

”Selama 13 tahun kerja sama ini tidak tampak komitmen yang tinggi dari kedua operator untuk memberikan layanan yang terbaik,” tutur Hamong Santono, Koordinator Nasional Koalisi Rakyat untuk Hak Atas Air (KRuHA), salah satu elemen dari KMMSAJ.

Walaupun belum mampu memberikan pelayanan yang baik, tarif yang dikenakan operator kepada pelanggan sangat tinggi. Tarif air bersih di Jakarta saat ini Rp 7.000 per meter kubik. Kualitas air yang diberikan hanya air bersih bukan air minum. Sementara Singapura yang kualitasnya airnya adalah air minum hanya mengenakan tarif Rp 5.000 per meter kubik.

Selain itu, target teknis yang sudah dimandatkan dalam kontrak masih banyak yang belum terpenuhi. Contohnya, tingkat kebocoran masih sangat tinggi, cakupan wilayah masih belum 63 persen, dan sebagainya.

”Operator swasta selalu mengklaim telah berhasil meningkatkan jumlah pelanggan hingga 100 persen. Namun, mereka tak mau menyebutkan berapa sebenarnya jumlah pelanggan tidur. Percuma jumlah pelanggan meningkat jika mereka hanya berlangganan saja tanpa ada konsumsi,” papar Hamong.

Utang bertambah


Sementara Enci (51), warga RT 09 RW 09, Rawa Badak Utara, Koja, Jakarta Utara, mengeluhkan setiap bulan dia harus membayar abonemen air sebesar Rp 70.000. Padahal, aliran air sangat kecil, bahkan sering mati. Ketika mengalir, kualitasnya sangat buruk. ”Akhirnya saya terpaksa membeli air pikulan. Jadi, saya bayar dobel,” kata Enci, yang sehari-hari berdagang sayuran.

Sementara Direktur Utama PDAM Jaya Maurits Napitupulu mengatakan, aksi unjuk rasa yang dilakukan KMMSAJ merupakan hak warga Jakarta yang menuntut pelayanan air bersih. ”Itu hak mereka untuk meminta pelayanan yang lebih baik. Mungkin pelayanan yang selama ini mereka rasakan masih kurang, bahkan cenderung buruk,” ungkap Maurits.

Dia mengakui, selama bekerja sama dengan kedua operator swasta ini, utang PDAM Jaya semakin bertambah. Hingga tahun 2010, shortfall atau utang PDAM Jaya kepada kedua operator sudah mencapai Rp 580 miliar. Hal ini disebabkan karena operator meminta kenaikan imbalan setiap enam bulan sekali. Sementara Pemprov DKI tidak bisa selalu menaikkan tarif air karena akan menimbulkan keresahan warga.

Petisi yang dibawa KMMSAJ semula akan diserahkan langsung kepada Gubernur Fauzi Bowo. Namun, karena Fauzi tidak berada di tempat, akhirnya mereka diterima oleh Kepala Biro Sarana dan Prasarana Kota Asep Jatneka di ruang Crisis Center DKI di kompleks gubernuran.

Asep berjanji akan menyampaikan petisi ini kepada Fauzi dan akan meninjau langsung ke lapangan yang dikeluhkan oleh warga mengenai kualitas air. ”Kami juga perlu melihat langsung untuk melaporkan kondisi sebenarnya,” kata Asep. (ARN)



Post Date : 07 Juni 2011