|
JAKARTA (Media): Pihak swasta tidak bisa memungut retribusi sampah sembarangan. Bila pihak swasta ingin mengelola dan mendapat retribusi sampah harus terlebih dahulu mendapat dari pemerintah daerah setempat. Deputi Menteri Lingkungan Hidup Bidang Penataan Lingkungan Hoetomo mengatakan hal itu pada diskusi publik tentang Rancangan Undang-Undang (RUU) Pengelolaan Sampah di Jakarta, kemarin. Pernyataan itu juga menanggapi adanya pihak swasta yang mengelola sampah di beberapa daerah tanpa sepengetahuan pemerintah daerah (pemda) selama ini. Lebih jauh, Hoetomo menjelaskan, selain mengatur retribusi sampah, RUU Pengelolaan Sampah juga mengatur tentang sumber pembiayaan pengelolaan sampah. ''Sumber pengelolaan sampah nantinya dapat berasal dari APBN (anggaran pendapatan dan belanja negara) dan APBD (anggaran pendapatan dan belanja daerah),'' katanya. Namun masih ada sumber pembiayaan pengelolaan sampah lainnya. Sumber lain yang direncanakan menjadi sumber pembiayaan pengelolaan sampah adalah sumber yang berasal dari pajak lingkungan dan pengembalian deposit. ''Pajak lingkungan merupakan pajak bagi barang yang tidak ramah lingkungan. Dengan adanya pajak tersebut tentu akan menyebabkan peningkatan harga, sehingga diharapkan konsumen akan beralih pada barang-barang yang ramah lingkungan,'' jelas Hoetomo. Sebaliknya, industri yang mampu mengeluarkan barang yang ramah lingkungan akan mendapat insentif dari pemerintah. Insentif itu bisa berupa insentif ekonomi seperti pengurangan pajak, maupun insentif nonekonomi. ''Untuk pelaksanaan lebih detailnya akan diatur dalam peraturan pemerintah,'' katanya. Dalam RUU ini juga disebutkan, setiap badan usaha pengelola sampah harus bertanggung jawab untuk menggunakan sampah menjadi sumber energi (waste to energy). Pengelola harus mengelola gas metana yang dihasilkan tempat pembuangan akhir (TPA) agar tidak menyebar ke udara dan mencemari lingkungan sekitarnya. Gas metana tersebut harus dapat dikonversi menjadi bahan bakar. RUU ini juga mendorong pengelolaan sampah dengan cara penimbunan (sanitary landfill), insinerasi, atau teknologi lain yang lebih canggih. ''Sementara masyarakat didorong untuk melakukan pemisahan sampah, sehingga memudahkan dalam pengelolaan nantinya,'' kata Hoetomo. RUU Pengelolaan Sampah turut pula mengajak pihak pengelola sampah bisa memasukkan sistem pengelolaannya sebagaimana tertuang dalam Mekanisme Pembangunan Bersih. Sehingga pengelola sampahnya bisa mendapat insentif tambahan dari negara maju. Menurut Hoetomo, perubahan paradigma pengelolaan sampah menjadi salah satu isu penting yang akan diatur dalam RUU yang tengah digodok pemerintah ini. ''Karena selama ini pemerintah masih menggunakan pendekatan sederhana yaitu membuang dan memusnahkan sampah,'' jelas Hoetomo. Tetapi Hoetomo menegaskan, sampah yang diatur dalam RUU ini hanya dibatasi pada sampah yang berbentuk limbah padat. Sampah-sampah itu berasal dari rumah tangga, kegiatan komersial, industri, hasil pembersihan saluran terbuka, fasilitas sosial, umum dan lainnya. Deputi Menteri KLH ini mengakui, pengelolaan sampah di Indonesia masih menggunakan cara open dumping atau tempat pembuangan terbuka. Pengelolaan sampah masih belum menerapkan cara 4R, yaitu replace (mengganti), reduce (mengurangi), re-use (menggunakan lagi), dan recyling (daur ulang). ''Hal ini menyebabkan terjadi banyak kasus pencemaran di daerah tempat pembuangan, bahkan bencana seperti longsor di Tempat Pembuangan Akhir Leuwi Gajah, Cimahi, Bandung,'' ujar Hoetomo.(*/H-4) Post Date : 15 November 2005 |