|
Kesusahan warga Desa Jeruk Purut, Gempol Kabupaten Pasuruan seperti bertumpuk-tumpuk. Selain susah secara ekonomi kena imbas kenaikan harga BBM, mereka kini juga semakin sulit mendapatkan air bersih. Bagaimana kesulitan mereka? Apa pula yang dilakukan pemerintah desa? Siang itu suasana Desa Jeruk Purut terasa menyengat. Mentari tepat berada di ubun-ubun kepala. Jarum jam menunjuk pada angka 12.30. Namun, warga tidak memperdulikan panasnya sinar matahari. Mereka tetap sabar antre air bersih walau harus menunggu berjam-jam. Yang ada dibenak mereka adalah air sebagai sumber kehidupan. Pemandangan berupa puluhan bahkan ratusan timba, jerigen tampak tertata rapi menunggu giliran. Pemandangan seperti ini tampak terasa ketika air yang ada di kran-kran umum mulai mengalir. Tidak peduli waktu pagi, siang, sore atau malam sekalipun, para warga tetap ngangsu air bersih demi menghidupi keluarga mereka. "Lha, wong keluarnya saja tidak mesti. Kadang keluar, kadang tidak. Sehari keluar, dua hari macet. Ya, terpaksa warga sini menunggu air sampai benar-benar keluar," ujar Parto, salah satu warga desa Jeruk Purut kemarin. "Kalau nggak keluar juga, ya terpaksa semua jerigen, timba berbaris rapi disini," imbuhnya. Kondisi kekurangan air bersih memang hampir dialami warga desa Jeruk Purut secara keseluruhan. Saluran air bersih yang hanya menggantungkan satu sumber yakni Sumber Tetek yang berada di lereng Gunung Penanggungan saat ini dianggap tidak mencukupi kebutuhan warga. Debit airnya diperkirakan hanya 4 liter perdetik. Dan ini digunakan untuk satu desa yang meliputi lima dusun yakni dusun Genengan, Gedang, Pojok, Kr Nongko atau Jeruk Purut dan Dieng. Jika satu dusun saja ditempati sekitar 150 KK, maka ada sekitar 750 KK yang butuh air bersih di daerah bagian barat Kabupaten Pasuruan ini. Apalagi, selama bertahun-tahun, sumber mata air bekas petilasan Prabu Airlangga ini mulai mengecil. Nah, kondisi ini diperparah dengan adanya pembagian air yang dirasa kurang adil. Tak heran, jika beberapa waktu lalu, warga antardusun nyaris bentrok, gara-gara rebutan air yang dirasa tidak adil itu. Yang banyak terkena imbasnya adalah warga dusun Dieng. Dusun yang berada pada dataran paling tinggi dari empat dusun lainnya itu sangat merasakan kekurangan air bersih. Hampir setiap hari, kran-kran dari saluran pipa Sumber Tetek itu tidak mengucur air. Akibatnya, banyak warga Dieng yang jarang mandi. "Jangankan untuk mandi Mas. Untuk makan dan minum saja, kita harus beli air dari truk tangki secara urunan. Kran disini sudah mampet. Kita sudah lama kesulitan air bersih ini," tukas Tholib, warga Dieng kemarin. Untuk mengirit pengeluaran biaya, biasanya warga Dieng yang ingin membeli air yang dibawa truk tangki dilakukan secara urunan. Satu tangki yang berisi 5000 liter air dibeli dengan harga Rp 60.000. "Ya, kalau kebutuhannya banyak, ya urunannya paling banyak. Tapi, kalau terus-terusan begini ya, remek," tambahnya. Sebenarnya untuk mandi, warga Dieng bisa mendapatkan di sungai kecil (lepen). Namun, jaraknya cukup jauh, sekitar 3-4 km. Sementara, untuk kebutuhan makan dan minum, para warga hanya mengandalkan supply air bersih yang didapat dari Sumber Tetek mulai bertahun-tahun. Namun, dengan kondisi seperti ini, maka para warga pun terpaksa harus bekerja lebih keras untuk bisa menghidupi keluarganya. Apalagi, hujan yang diharapkan bisa datang lebih cepat, hingga kini masih juga belum menyapa mereka. Sementara itu, Kepala Desa Jeruk Purut, Muchtar mengakui jika kondisi warganya kekurangan air bersih. Mengecilnya debit air yang mengalir dari Sumber Tetek menyebabkan perangkat desa sepakat untuk membagi air secara adil. Apalagi, pascakemarahan warga Dieng yang sempat menyerbu warga Genengan, menyebabkan perangkat desa perlu menggilir air itu secara adil. "Memang saat ini warga kami kekurangan air bersih. Diatas sana itu memang ada kerusakan Pipa, sehingga air mudah tersumbat dan tidak mengalir ke sebagian warga. Namun, sebenarnya sumber itu sendiri masih mencukupi, jika kran-kran yang dipasang itu untuk umum. Tapi, sekarang banyak yang dialirkan ke rumah-rumah," tukas Muchtar. Kendati demikian, Muchtar tetap melihat sumber Tetek tidak bisa dijadikan harapan satu-satunya. Pihak desa sudah pernah mengajukan dana ke Pemkab agar dialokasikan dana dari APBD untuk melakukan pengeboran sumur. Namun, pada 2005 kemarin, usulan melalui UDKP itu tidak ditanggapi Pemkab, karena melihat intensitas kebutuhan sungai irigasi di Ngerong, Gempol lebih vital. "Tapi tahun 2006 ini, kita mengajukan lagi. Namun pengajuan ini bukan untuk sumur bor melainkan pencarian sumber baru. Saya bersama perangkat desa sudah punya inisatif untuk mencari terobosan sumber air di Sukoreno, Prigen. Ya, mungkin alokasi dananya sekitar Rp 450 juta atau Rp 500 jutaan. Tapi, manfaatnya untuk masyarakat sangat terasa," harapnya. MUHAMMAD HIDAYAT, Gempol(*) Post Date : 10 November 2005 |