|
KABUPATEN Maros sangat dikenal dengan jajaran pebukitan karstnya yang begitu eksotik dan memiliki begitu banyak potensi alam. Selain potensi keanekaragaman hayatinya, potensi lain yang tak kalah pentingnya adalah sumber air bawah tanah yang melimpah dan segar karena belum tercemar oleh aktivitas manusia. Namun di tengah melimpahnya sumber air itu, toh ribuan warga pesisir di Kecamatan Bontoa masih tetap kesulitan memperoleh air bersih. Bahkan sudah dialami sejak puluhan tahun. Sungguh sebuah ironi. WARGA pesisir Bontoa, utamanya yang berdomisili di Desa Tupabiring, umumnya hidup dari nelayan. Kendati sebagian dari mereka telah mempunyai perahu dan rumah panggung berukuran besar, namun untuk memenuhi kebutuhan air bersihnya sangat sulit. Selain membeli air dari penjual air keliling, mereka nyaris tak bisa berbuat apa-apa untuk memperoleh air bersih. Masalahnya, pelayanan PDAM hanya menjangkau wilayah yang berada di kecamatan kota. Jangan membayangkan untuk membuat sumur di daerah ini, baru menggali beberapa meter, air yang keluar rasanya sangat asin. Karena memang jarak pantai dengan desa ini tinggal beberapa ratus meter saja. H Abdullah, 40 tahun, warga Dusun Campanigayya, Desa Tupabiring menuturkan, tiap hari dia harus mengeluarkan uang sebesar Rp7.500 hanya membeli air bersih. Selain dipakai untuk keperluan memasak, juga dipakai untuk mandi. "Satu jerigen 20 liter harganya Rp1.000. Itu pun kita harus cepat-cepat membeli,b kalau tidak, kita bisa kehabisan," ujarnya. Itu belum kalau ada tamu. Kalau kolega datang, maka tentu harus membeli air dalam jumlah yang banyak lagi. Bahkan biasa sampai Rp20.000 dalam satu hari. Di desa tersebut, entah berapa warga yang terpaksa harus membeli air. Yang jelas, ada ribuan warga di sana dan mengalami kesulitan untuk memenuhi unsur yang sangat penting bagi kehidupan itu. Jika ada ratusan warga saja yang mengeluarkan uang Rp7.500 setiap hari untuk membeli air bersih, maka bisa dibayangkan berapa pengeluaran mereka setiap bulan. Padahal di Makassar saja, rata-rata pelanggan PDAM biasanya hanya membayar sebesar Rp30.000 hingga Rp40.000/bulan. Mengeluarkan uang hingga Rp7.500/hari mungkin bukan masalah bagi warga yang status ekonominya menengah ke atas. Namun bagaimana dengan mereka yang untuk memenuhi makan sehari-harinya saja megap-megap? Apalagi memasuki musim kemarau seperti sekarang. Ternyata, mereka punya cara tersendiri dalam memperoleh air yang dianggapnya 'bersih'. Memasuki Desa Tupabiring, maka yang terlihat di sisi kanan-kiri jalan kabupaten adalah hamparan tambak, layaknya pemandangan yang dijumpai pada wilayah pesisir. Namun jangan salah, tidak seluruh tambak yang dilihat merupakan tambak ikan ikan bolu atau tambak udang. Sebagian di antaranya merupakan tambak yang khusus disediakan untuk menampung air hujan atau biasa disebut tambak tadah hujan. Di tambak ini, sebagian besar masyarakat Tupabiring menggantungkan kebutuhan air bersihnya. Menjelang sore, tambak tadah hujan sudah mulai dikerumuni warga, mulai orang tua hingga anak-anak. Mereka datang dengan membawa ember, jerigen dan gerobak. Pemandangan seperti itu, sudah ada sejak puluhan tahun silam. Tanpa mempertimbangkan unsur hiegenis, air yang berwarna kehijauan itu diambil dan dimasukkan begitu saja dalam ember atau jerigen. "Airnya dipakai untuk masak dan mandi kalau pagi," kata Adi, 6 tahun, salah satu warga di dusun sebelah. Sore itu, Adi bersama dua adiknya mengisi jerigen yang tersusun di atas gerobaknya. Demi memenuhi kebutuhan air keluarganya tercinta, ketiga bocah yang masih polos itu harus rela mendorong gerobak hingga beberapa kilometer sampai di rumah mereka. Namun bagaimana keadaan tambak tadah hujan jika hujan tidak turun? Entah sampai kapan, H Abdullah, Adi dan ribuan warga Tupabiring lainnya harus kesulitan memperoleh air bersih. Terlebih lagi, musim kemarau sudah mulai tiba dan siap mengancam sumber air mereka di tambak tadah hujan. (*) Post Date : 16 Mei 2005 |