|
Cuci tangan pakai sabun (CTPS) memang masih kurang dipraktikkan secara universal. Penelitian global dan di Indonesia menyebutkan,publik sadar banyak kuman di tangan, namun kenapa mereka masih enggan cuci tangan? Masih kurangnya kesadaran untuk selalu mencuci tangan terungkap dalam studi terbaru oleh peneliti dari London School of Hygiene & Tropical Medicine,Inggris,Katie Greenland. Menurut dia,hasil penelitian di 11 negara yaitu Ghana,India,Madagaskar, Kyrgistan, Senegal,Peru,China, Tanzania,Uganda,Vietnam, dan Kenya menunjukkan bahwa kebiasaan masyarakat untuk melakukan CTPS di saat-saat penting masih rendah. “Kebiasaan CTPS sebelum menyiapkan makanan ratarata hanya 13%,setelah dari toilet rata-rata hanya 17%,dan sebelum memberikan makanan kepada anak hanya 5%,” ungkapnya. Katie juga memaparkan bahwa tidak melakukan CTPS di saat penting dapat menyebabkan diare,termasuk kolera,pneumonia,pandemi influenza,infeksi kelahiran baru,dan infeksi di antara penderita AIDS. WHO atau Unicef mencatat setiap tahun lebih dari tiga juta balita meninggal karena diare dan pneumonia.Sementara di Indonesia,ada 151.000 anak balita yang meninggal dengan 56.000 di antaranya karena diare dan pneumonia. Upaya mencegah diare dapat dilakukan secara promotif dan preventif berupa CTPS. Berdasarkan penelitian Curtis and Cairncross,CTPS dapat mencegah kejadian diare hingga 47%. Penelitian yang dilakukan di Indonesia juga menunjukkan hasil yang sama,di mana kebiasaan CTPS masyarakat masih rendah.Yunita Wahyuningrum, peneliti Komunikasi Kesehatan dari Johns Hopkins Bloomberg School of Public Health,Center for Communication Program (CCP), Jakarta,memaparkan bahwa temuan utama dari Studi Formatif Perilaku Higienitas yang digelar Water and Sanitation Program menunjukkan perilaku CTPS belum menjadi praktik yang umum ataupun norma sosial. Beberapa faktor penghambat meliputi keyakinan bahwa sabun hanya diperlukan apabila tangan terlihat kotor dan mencuci tangan tanpa sabun tidak akan menyebabkan risiko berat. “Juga kurangnya kesadaran dalam aspek manfaat kesehatan,”ungkapnya. Penelitian yang dilakukan secara kualitatif tersebut menunjukkan perilaku CTPS umumnya dilakukan ketika tangan terlihat kotor dan bau,serta dilakukan setelah makan dan beraktivitas. “Waktu penting CTPS, yaitu sebelum menyiapkan makanan,setelah dari toilet, sebelum menyusui,setelah menceboki balita jarang disebutkan,” papar Yunita.Hasil studi tersebut juga didukung oleh penelitian formatif kerja sama Lifebuoy dengan USAID dan Maternal and Child Health Integrated Program (MCHIP) 2011 pada perilaku CTPS ibu-ibu di Serang, Banten. Hasilnya menunjukkan, persentase kebiasaan CTPS yang sangat rendah di saatsaat penting,yaitu saat menyiapkan makanan hanya 5%, saat menyajikan makanan 0%, saat sebelum makan hanya 10%,dan sebelum menyusui hanya 1%. Menurut Senior Brand Manager Lifebuoy,PT Unilever Indonesia Tbk,Amalia Sarah Santi,hasil penelitian tersebut makin memperkuat pentingnya melakukan kebiasaan CTPS. Ibu-ibu dan masyarakat secara umum harus melakukan CTPS di saat penting untuk mencegah penyebaran kuman guna menyelamatkan jiwa. Karena itu,Lifebuoy menggelar program untuk menumbuhkan kebiasaan CTPS di saat-saat penting yang disebut lima cara sehat Lifebuoy, yaitu CTPS sebelum makan pagi, sebelum makan siang,sebelum makan malam,setelah dari WC,dan mandi menggunakan sabun. Upaya tersebut dilakukan melalui Gerakan 21 Hari (G21H) untuk membentuk kebiasaan sehat.Sarah menuturkan, G21H sebagai sebuah metode memiliki beberapa tahap untuk akhirnya dapat membentuk kebiasaan CTPS dalam kehidupan sehari-hari. rendra hanggara Post Date : 24 Oktober 2011 |