Susahnya Hidup Warga Pedalaman di Saat Kemarau

Sumber:Kompas - 31 Agustus 2004
Kategori:Drainase
JANGAN kaget saat menyusuri Sungai Barito di musim kemarau ada sejumlah orang mendorong kapal atau menyeret-nyeret kapal sebesar dua kali badan bus di tengah sungai. Mereka bukan ingin mencatatkan nama mereka di museum rekor sebangsa Museum Rekor Indonesia atau Guinnes Book of Record.

ORANG-orang itu sedang berjuang agar kapal mereka bisa lolos dari jebakan dasar sungai. Pemandangan ini begitu sering terlihat saat Kompas menyusuri Sungai Barito yang terbentang sepanjang 900 kilometer sejak dari Banjarmasin di bagian hilir hingga Kabupaten Murung Raya (Kalimantan Tengah/Kalteng) di bagian hulu.

Musim kemarau adalah saat menyengsarakan bagi awak kapal dari Kota Banjarmasin, Kalimantan Selatan, untuk menyuplai barang kebutuhan pokok di pedalaman Kalteng. Air yang surut jelas membuat pelayaran tersendat.

Namun, tidak kurang menderitanya adalah warga di pedalaman. Bukan hanya harga barang kebutuhan pokok yang melonjak, suplainya juga menjadi sering terlambat.

Sungai Barito yang panjangnya sekitar 900 kilometer menjadi urat nadi perekonomian sejumlah kabupaten di Kalteng, tetapi pada musim kemarau praktis lumpuh. Bagi warga pedalaman, sungai ini masih menjadi satu- satunya jalur untuk mengangkut barang kebutuhan pokok.

"Kalau air surut begini mana bisa pakai kapal besar, yang ada hanya perahu-perahu kelotok yang bermuatan tiga ton barang saja," kata Ardila, seorang pedagang.

Kapal-kapal berukuran besar yang berkapasitas sekitar 80 ton barang sangat sulit dan harus cermat memilih jalur untuk melintasi Sungai Barito dari bagian muara di Banjarmasin menuju bagian hulu di Muara Teweh yang jaraknya sekitar 419 kilometer. Bahkan lebih ke arah hulu, sejak Muara Teweh hingga Puruk Cahu, ibu kota Kabupaten Murung Raya, sepanjang 110 kilometer, terlihat kapal-kapal kandas dan sejumlah orang yang mendorong kapal di tengah sungai.

Jangan bayangkan mengangkut ratusan ton beras, bahan bakar minyak, gula, dan minyak goreng melalui darat. Jalan darat, bahkan yang sekadar bisa dilewati saja, masih menjadi impian warga pedalaman.

Akibatnya, pasokan bahan pokok tersendat, ongkos angkut barang naik, harga-harga pun merambat naik seiring makin surutnya air. Di Desa Tumbang Lahung, Kecamatan Permata Intan, sekitar delapan jam perjalanan dengan speed boat dari Muara Teweh, harga barang terus meningkat seiring menyusutnya air sungai.

Marmunah (37), pedagang bahan pokok di Tumbang Lahung, mengatakan, harga beras saat ini sudah mencapai Rp 4.000 per kilogram (kg). Sebelum air surut, harga beras paling tinggi hanya Rp 3.500 per kg. Harga gula pasir Rp 5.000 per kg, sedangkan harga minyak goreng Rp 8.000 per liter.

Yang paling sulit didapat kini adalah bahan bakar minyak. Harga premium naik dari Rp 3.000 menjadi Rp 4.000 per liter. Bahkan menurut keterangan warga di Sungai Gula dan di Bentian, harga bensin mencapai Rp 5.000 per liter. Harga solar dan minyak tanah yang sebelumnya Rp 2.500, kini sudah naik menjadi Rp 3.000 per liter.

Wakil Bupati Murung Raya Abdul Thalib mengatakan, saat musim kemarau begini harga barang memang menjadi makin mahal, tetapi tidak menjadi masalah karena penghasilan warga pedalaman meningkat.

"Saat kemarau seperti sekarang, warga menambang emas karena air sungai surut. Penghasilan mereka di saat musim kemarau memang besar, tetapi justru barang-barang kadang sulit diperoleh karena pasokan tersendat," kata Thalib.

BAGAIMANA dengan transportasi darat? Jalan darat dari Banjarmasin hanya sampai ke Puruk Cahu, sebagai pintu gerbang ke kawasan yang lebih dalam lagi. Itu pun sebagian dalam kondisi rusak.

Jalan yang relatif baik hanya sejauh sekitar 419 kilometer sampai ke Muara Teweh, sedangkan dari kota ini ke Puruk Cahu sepanjang 110 kilometer dalam kondisi rusak. Sementara untuk ke kawasan yang lebih dalam lagi, sungailah satu-satunya andalan.

Namun, biaya angkut dengan menggunakan kendaraan darat ini dianggap kurang ekonomis dibanding dengan kapal. "Sewa truk dari Banjarmasin ke Puruk Cahu sekitar Rp 2,5 juta, sedangkan kapasitas angkut truk cuma lima ton. Berarti ongkos angkut barang Rp 500 per kilogram, belum ditambah ongkos pikul dan keuntungan pedagang. Sangat wajar jika harga barang naik sekitar Rp 1.000-Rp 1.500 per kilogram," kata Abdillah, seorang pedagang di Puruk Cahu.

Sebaliknya, jika menggunakan kapal, kapasitas angkutnya bisa sampai 80 ton sekali jalan. Karena itu, ongkos angkutnya rata-rata cuma sekitar Rp 100 atau 10 persen dari angkutan truk. "Tidak heran jika lumpuhnya Sungai Barito menyebabkan pasokan barang berkurang dan harga membubung tinggi," kata Abdillah.

Dari data di Badan Perencanaan Pembangunan dan Penanaman Modal Daerah Kabupaten Murung Raya, jalan negara yang ada di Kabupaten Murung Raya sepanjang 49,19 kilometer dan jalan provinsi sepanjang 108,95 kilometer. Tentu tidak sebanding dengan luas wilayah yang mencapai 23.700 kilometer persegi dengan 116 desa yang terentang dalam jarak ratusan kilometer.

Memang tidak semua kawasan pedalaman terisolasi jalan darat karena ada jalan milik perusahaan hak pengusahaan hutan atau jalan logging dan ada pula jalan milik perusahaan penambangan emas. Akan tetapi, jalan tersebut tidak bisa menjangkau setiap desa. Ongkos untuk melewatinya pun sangat mahal. Bagaimana membeli bahan bakar kalau kehabisan bensin di tengah jalan? Bagaimana kalau ban bocor?

Jalanan darat di pedalaman, yang sebagian dirintis oleh perusahaan dan yang lain oleh warga masyarakat, ini disebut masyarakat setempat sebagai jalan "sakit". Kondisi geografis daerah yang berbatasan langsung dengan Pegunungan Muller ini berbukit-bukit terjal yang kadang menjulang tegak.

Jalan yang ada memintas naik turun bukit, menerobos hutan yang masih tersisa. Contohnya jalan darat dari Puruk Cahu ke Desa Tumbang Lahung, hanya sebagian bisa dilalui kendaraan roda empat, sebagian lagi hanya bisa dilalui kendaraan bermotor roda dua, itu pun harus dilengkapi dengan ban "traktor" dan jalan hanya bisa dilewati saat musim kemarau.

Perjalanan selama tiga jam naik turun bukit, menembus belantara, sungguh menyakitkan. Ongkos ojek? Rp 150.000 sekali jalan, Rp 200.000 bolak-balik. "Kalau terpaksa belanja naik motor ke Puruk Cahu, paling hanya bisa bawa beras tiga sak saja, mana kuat motor kalau lebih," kata Isai, warga Tumbang Lahung.

Selain itu, tidak semudah itu bagi warga untuk melalui jalan-jalan milik perusahaan. Di jalan perusahaan emas PT Indah Muro Kencana, misalnya, di gerbang masuk jalan itu sejumlah petugas keamanan dengan teliti akan mencatat nomor kendaraan, nama, menanyakan hendak ke mana, dari mana, dan tujuannya.

"Kami ini seperti belum merdeka, mau lewat daerah sendiri saja harus ditanya-tanya, padahal kami lebih dulu ada dari mereka," kata Rezeki Noor, tukang ojek yang mengantar Kompas dari Puruk Cahu ke Tumbang Lahung. Memang susah jadi warga pedalaman. (PRASETYO EKO P)

Post Date : 31 Agustus 2004