|
BAGAIMANA susahnya hidup di dekat tempat pembuangan sampah? Jika ingin tahu jawabannya, temui saja warga RT 06 RW 04, Kelurahan Kapuk, Cengkareng, Jakarta Barat, yang sejak delapan tahun terakhir hidup di samping tempat pembuangan sampah tidak resmi. Di sini bukan hal yang aneh jika ada warga yang paru-parunya kena flek (diselimuti kabut). Yang aneh justru jika ada warga sini yang paru-parunya sehat 100 persen, kata Yati, warga RT 06 RW 04. Mungkin karena terlalu sering mendengar atau melihat orang yang paru-parunya kena flek, Yati hanya menjawab datar saat ditanya apakah ada anggota keluarganya kena penyakit itu. Dari tiga anak saya, dua di antaranya sudah pernah kena flek paru-paru. Satunya lagi, yang bungsu, sudah lima bulan ini berobat jalan. Padahal, umurnya baru tiga tahun, kata Yati tentang nasib Putri, si bungsu. Hal senada disampaikan Ana (30), warga RT 06 lain. Januari lalu dokter bilang paru-paru saya sudah berlubang. Setelah tahu di mana saya tinggal, dia menyatakan penyakit saya disebabkan tumpukan sampah di dekat rumah, katanya. Untuk mengobati lubang di paru-parunya, sampai sekarang Ana harus rutin minum obat dan pergi ke dokter. Saya tidak mau seperti tetangga saya yang beberapa waktu lalu meninggal karena paru-parunya bermasalah, kata Ana. Tekad itu muncul karena seingat Ana, setidaknya sudah ada tiga warga RT 06 yang meninggal karena paru-parunya bermasalah, yaitu dua balita pada tahun 2001 dan seorang dewasa di awal tahun 2005. Amat masuk akal jika ada warga sini yang meninggal karena penyakit paru-paru. Soalnya, udara di sini sangat tidak sehat. Apalagi kalau tumpukan sampah itu dibakar, tidak hanya baunya, abunya bahkan sampai masuk rumah, kata Ana sambil menunjuk tumpukan sampah yang berjarak sekitar 50 meter dari rumahnya. Tumpukan sampah yang dimaksud Ana itu tingginya hingga sekitar lima meter dan menempati lahan seluas empat hektar. Sudah sejak bertahun-tahun lalu kami minta sampah-sampah itu disingkirkan. Namun, bukannya disingkirkan, setiap hari justru ditambah, keluh Ana. Keadaan ini, lanjut Ana, hampir membuatnya frustrasi. Jika ingat sampah, kepala saya langsung pusing. Teman pernah minta saya untuk pindah dari sini. Akan tetapi, dari mana saya punya uang untuk pindah, keluh Ana yang bekerja sebagai karyawan sebuah perusahaan swasta. Slamet, Ketua RT 06 RW 04 Kelurahan Kapuk, menuturkan, sejarah tumpukan sampah di daerahnya dimulai dengan berdirinya pabrik perabot rumah tangga dari plastik di kawasan itu 14 tahun lalu. Keberadaan pabrik itu membuat rumah milik 45 keluarga di RT 06 selalu tergenang air karena permukaan tanahnya lebih rendah sekitar dua meter dari lantai dasar pabrik dan tidak ada saluran untuk membuang air yang ada di RT 06. Untuk mengatasi genangan, warga RT 06 lalu minta daerahnya ditinggikan dengan cara ditimbun sampah. Supaya tidak bau, setiap truk yang membuang sampah di daerah kami harus segera menutup sampahnya dengan bongkahan bangunan. Jika tidak membawa bongkahan, mereka wajib membayar Rp 75.000 untuk tiap truknya guna membeli bongkahan, jelas Slamet. Setelah enam tahun penimbunan sampah ini berjalan, lanjut Slamet, genangan air di daerahnya mulai hilang karena tanah sudah tinggi. Namun, truk-truk itu tetap datang membuang sampah di daerah kami, keluh Slamet. Melihat hal ini, kenang Slamet, warga lalu protes dan truk-truk tidak lagi datang membuang sampah di RT 06. Namun, ironisnya, truk-truk itu ganti membuang sampah pada lahan kosong di RT 08 RW 01, Kelurahan Kapuk, yang berada persis di sebelah RT 06. Lebih parah lagi, sampah-sampah yang dibuang di RT 08 itu tidak lagi ditutup dengan bongkahan sehingga selain berbau, juga banyak yang berterbangan kalau ditiup angin. Ketua RT 08 RW 01 Mulyadi mengaku sudah berkali-kali melaporkan keberadaan TPA liar itu. Namun sampai sekarang belum ada tanggapan. Saya tidak punya cukup kemampuan untuk menutup TPA itu, tukasnya sambil menambahkan, setiap hari ada 10 truk yang membuang sampah di tempat itu. Kepala Kelurahan Kapuk Mahrup Sanan juga mengaku tak dapat menutup tempat pembuangan akhir (TPA) sampah itu karena tidak tahu pemilik tanahnya. Saya dengar pemilik tanahnya tinggal di luar daerah, ucap Mahrup sembari menambahkan, ia sudah melaporkan keberadaan TPA liar itu hingga ke Pemerintah Kota Jakarta Barat. Namun, menurut dia, laporan itu belum juga ada tanggapan. Anehnya, ketika dikonfirmasi tentang masalah ini, Wali Kota Jakarta Barat Fadjar Panjaitan langsung meminta TPA liar itu segera ditutup. Paling lambat akhir bulan ini, jangan ada lagi sampah yang dibuang di sana, pintanya. Lho? (M Hernowo) Post Date : 23 Juni 2005 |