Dia bukan insinyur, tetapi kemauannya yang kuat untuk mendapatkan air bersih bagi warga kampung membuat Supeno pantang putus asa. Hasilnya? Warga dua desa di Kecamatan Banyakan, Kabupaten Kediri, Jawa Timur, bisa menikmati air bersih. Dia sendiri mendapat penghargaan Kalpataru.
Menurut sejumlah warga, berkat hasil karyanya itu, ribuan orang kini bisa menikmati manfaat aliran air bersih yang tersedia setiap saat. Alhasil, dua dusun, yakni Bulakdawung di Desa Barang dan Sumberbendo di Desa Tiron, yang tadinya gersang dan tandus, kini berubah hijau.
Jalur pipa air itu adalah karya Supeno. Pangkalnya adalah pertemuan empat mata air alami yang membentuk telaga berukuran 20 meter x 25 meter dengan kedalaman tak kurang dari 4 meter. Telaga itu terletak di kawasan Hutan Rawu Rawu, Dusun Bulakdawung, Kecamatan Banyakan, Kediri.
Lewat saluran pipa yang dibuat Supeno bersama warga sekitar, air telaga tersebut dapat mengairi Dusun Bulakdawung dan Dusun Sumberbendo. Aliran air itu tak berhenti sampai di situ, tetapi, oleh Supeno, jangkauannya semakin diperluas.
Dalam catatan dia, ada 506 rumah di Dusun Sumberbendo dan 148 rumah di Dusun Bulakdawung yang menikmati fasilitas air bersih. Selain untuk keperluan pertanian, aliran air bersih tersebut kini diandalkan oleh warga untuk keperluan memasak dan minum.
Jarak dari mata air ke Dusun Bulakdawung sekitar 1,5 kilometer, sedangkan ke Dusun Sumberbendo sekitar 3,5 kilometer. "Tetapi, itu baru sampai ke perbatasan desa. Untuk sampai ke rumah-rumah penduduk sekitar 1 kilometer lagi," papar Supeno.
Kisah Supeno adalah kisah perjuangan manusia menghadapi kerasnya kondisi alam. Sejumlah warga di desa itu bercerita, sebelum ide pemipaan air yang digagas Supeno terwujud, keadaan desa mereka amat mengenaskan karena praktis tanpa suplai air bersih yang memadai.
Panijo (50) dan Nasikin (90), warga, membenarkan tentang kondisi desa mereka dahulu. "Wah, waktu itu susah betul. Karena itulah setelah ada aliran air ini kami sangat terbantu," tutur Panijo.
Inisiatif sendiri
Supeno mengawali perjuangannya mengairi desa pada tahun 1989. "Awalnya karena inisiatif sendiri. Tak ada yang menyuruh dan tak ada yang kasih upah. Kenapa saya lakukan? Kalau tidak dilakukan, bagaimana, wong desa kami ini paling jelek sedunia," ujar anak bungsu dari enam bersaudara ini.
Sejauh ingatan Supeno, sebelum jalur pipa itu dibuat, warga kawasan yang tandus itu praktis hanya mengandalkan kucuran air yang dialirkan di Kali Jajil, setiap pekan sekali. Selain itu, penduduk juga mengandalkan tandon dari air hujan yang terbatas untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.
Ketika Supeno mengutarakan gagasannya untuk mengalirkan air telaga ke desa mereka, warga pun spontan menyambutnya. Untuk membuat jalur pipa, Supeno dibantu sekitar 20 warga yang bekerja secara bergantian setiap hari. Oleh karena itu, proyek tersebut baru bisa diselesaikan dalam waktu hampir dua tahun.
"Jangan bilang ini proyek. Proyek apa? Ini bukan proyek kok, lha tidak ada uangnya," kata Supeno.
Dengan jumlah tenaga dan peralatan seadanya, Supeno memimpin pekerjaan itu, di antaranya mengepras bukit di sana-sini. Untuk menaruh sebuah pipa, sebuah terowongan dengan kedalaman 18 meter dan panjang 164 meter harus digali dengan menembus bukit.
Kini, rimbunan pohon dan semak telah menutupi salah satu jalur pipa yang paling sulit itu. Setelah melewati jalur 164 meter tadi, jalinan pipa menyembul di atas permukaan tanah yang disangga dengan konstruksi beton seadanya. Tujuan akhir jaringan pipa tadi adalah mempertemukan aliran air yang berasal dari empat titik mata air.
"Sungguh mengagumkan. Semula (pipa) itu berada di dalam tanah, tahu-tahu muncul di atas tanah. Dan, semua itu dilakukan dengan tangan dan peralatan seadanya," ungkap Wendy Wouters (27), supervisor bagi 23 mahasiswa Inholland University Belanda untuk kegiatan bertajuk Community Outreach Program 2007 yang diadakan Universitas Kristen (UK) Petra Surabaya di sekitar wilayah itu.
Dengan konstruksi seadanya seperti itu, pertemuan empat titik mata air tadi kemudian dibuatkan bendungan oleh Supeno. Pada tahun 1997, tanggul sederhana itu diperkuat dengan bantuan pemerintah daerah setempat. Namun, sayangnya jalur pipa airnya tidak dibantu.
Sebuah bak penampungan yang dinamai Penampungan Bulakdawung dibuat dengan konstruksi sederhana, sebelum air dialirkan ke dua desa yang berada di bagian bawah.
Berkat karyanya yang dianggap bermanfaat bagi penyediaan air bersih untuk warga desa setempat itu, pada tahun 2000 Supeno mendapatkan penghargaan Kalpataru. Sejumlah uang hadiah dari penghargaan itu dia wujudkan menjadi bangunan balai desa di tempat kelahirannya, Dusun Bulakdawung.
Disempurnakan
Selang enam tahun kemudian, sebuah organisasi nonpemerintah asal Belanda, Simavi, tertarik dengan karya Supeno. Simavi merupakan lembaga swadaya masyarakat (LSM) yang punya perhatian dalam peningkatan kesehatan masyarakat melalui penyediaan akses terhadap air minum yang aman.
Menyaksikan hasil karya Supeno dan warga Dusun Bulakdawung, para rekan Wouters dari Belanda juga dibikin takjub. Maka, disempurnakanlah jalur pipa karya Supeno tersebut.
Kolam penampungan sederhana, yang hanya dibuat satu unit oleh Supeno, dibagi menjadi dua kolam oleh Simavi. LSM asal Belanda ini masuk ke desa tersebut atas kerja sama dengan UK Petra, lewat kegiatan Community Outreach Program 2006.
Simavi juga melakukan peremajaan atas sejumlah pipa, serta bangunan serupa mandi cuci kakus (MCK) yang dibuat di samping kolam penampungan Bulakdawung.
"Karena mata airnya berlimpah, maka kolam penampungan memang harus dipisah," ujar Supeno soal dua kolam penampungan yang masing-masing dibuat untuk melayani dua dusun.
Kini, pengelolaan jalur pipa air itu diserahkan kepada Himpunan Petani Masyarakat Air Minum. Sebagaimana lazimnya budaya agraris yang penuh dengan ritual, keberadaan jaringan pipa air yang telah "menyelamatkan" warga desa setempat itu pun disyukuri setiap tahun.
Acara selamatan untuk mensyukuri berkah atas lancarnya aliran air yang mengucur ke dua dusun itu dilakukan di sekitar lokasi mata air, setiap Kamis Legi, Juni. "Pada saat acara syukuran itu biasanya dipentaskan tari Tledek," tutur Supeno.
Supeno hanya berpendidikan formal sampai kelas II sekolah rakyat (sekarang sekolah dasar). Tetapi, ia satu-satunya yang mengecap pendidikan di antara lima saudaranya sekandung.
"Pada zaman itu bagaimana mau sekolah? Untuk makanan dan baju saja kami tidak ada," ujar Supeno.
Sekalipun dengan pendidikan yang terbatas, ia telah menghasilkan sesuatu yang berguna bagi banyak orang.INGKI RINALDI
Post Date : 10 September 2007
|