|
Pontianak, Kompas - Dampak musim kemarau yang berlangsung dalam beberapa pekan terakhir menyebabkan air di sebagian besar sungai-sungai di Kalimantan Barat menyusut secara drastis. Kedalaman air sungai yang semula sekitar tiga meter kini hanya tinggal satu meter, bahkan di beberapa sungai kecil bisa diseberangi warga dengan berjalan kaki. Berdasarkan pemantauan Kompas sampai Kamis, (24/6), sungai-sungai yang mengering antara lain Sungai Sekayam yang membelah Kabupaten Sanggau, Sungai Sosok dan Sungai Tayan yang membelah Kabupaten Landak, serta Sungai Kapuas yang melintasi Kota Pontianak. Menyusutnya beberapa sungai ini menyebabkan perusahaan daerah air minum (PDAM) setempat kesulitan mendapatkan air baku. Akibatnya, pasokan air bersih kepada pelanggan juga terganggu, seperti dialami PDAM Kabupaten Sanggau, Landak, dan Pontianak. Sejumlah warga yang kesulitan air bersih terpaksa membeli air seharga Rp 70.000 per tangki isi 4.000 liter. Warga lainnya terpaksa membeli eceran seharga Rp 1.000 per jeriken. Beberapa daerah yang kesulitan air di Pontianak, antara lain di Kelurahan Parit Tokaya, Pal Lima, Sungai Jawi Luar, dan Jeruju. Sementara di pinggiran Kota Pontianak, di antaranya Sungai Raya dan Rasau Jaya. Warga yang tak sanggup membeli air terpaksa mengambil air dari sungai pada malam hari, kemudian diendapkan sehingga bisa digunakan keesokan harinya. Warga lainnya pasrah dan memanfaatkan air sungai langsung untuk kebutuhan sehari-hari, terutama untuk mandi dan mencuci, meski air tersebut kotor. Kepala Bidang Humas dan Protokol Pemerintah Daerah Kabupaten Sanggau, Abang Saleh mengakui, air di beberapa sungai, terutama di Sungai Sekayam, kini semakin surut. Namun, Pemerintah Kabupaten Sanggau belum berencana untuk melakukan operasi bantuan air bersih untuk warga. Sawah kekeringan Dari Medan dilaporkan, sedikitnya 3.808 hektar sawah di Kecamatan Tanjung Beringin, Kabupaten Serdang Bedagai, Provinsi Sumatera Utara, selama puluhan tahun mengalami kekeringan karena krisis air. Dampaknya, areal pertanian yang jadi andalan masyarakat setempat menjadi tidak produktif karena tak bisa dimanfaatkan secara optimal dan mubazir. Untuk penggarapan lahan sepanjang musim tanam, selama ini petani hanya mengandalkan musim hujan yang turunnya tidak bisa ditebak. "Sudah puluhan tahun kami menunggu pemerintah membangun saluran irigasi, tetapi tidak pernah ada jawaban. Padahal, kalau ada irigasi, kami dapat panen dua kali setahun," tutur Saudah, warga Pematang Cermai ketika ditemui Kompas, Kamis. Camat Tanjung Beringin Nina Deliana menyebutkan, sawah yang tidak berpengairan di wilayahnya seluas 3.808 hektar. Areal tersebut terbentang di empat desa, yaitu Desa Pematang Terang 2.150 hektar, Pematang Cermai 628 hektar, Mangga Dua 565 hektar, dan Sukajadi 465 hektar. Ribuan hektar areal persawahan membentang sejak memasuki Desa Pematang Cermai sampai ke Pematang Terang. Demikian juga di Desa Mangga Dua dan Sukajadi di sepanjang Sungai Rampah, berseberangan dengan Desa Kramat Asam, Kecamatan Tanjung Beringin. Namun, tidak tampak aktivitas petani mengelola lahannya karena seluruh areal persawahan tersebut kering dan dipenuhi rumput setinggi pinggang. Rumput juga telah menutupi tegalan sawah yang minim perawatan sehingga batas di antara petak sawah menjadi tidak kentara. Ada beberapa petak sawah yang tampak ditanami kelapa dan kelapa sawit, tetapi jumlahnya terbatas sekali. Suryadi, warga lain, menuturkan, kesulitan petani mengairi sawahnya sudah berlangsung sedikitnya 20 tahun. Ia menyebutkan, areal persawahan itu dicetak tahun 1980-an. Menurut Suryadi, dia bisa memanen padi tiga-empat ton gabah dari sawah seluas satu hektar miliknya. Sementara Saudah hanya bisa memanen tiga ton gabah dari luas sawah yang sama dengan Suryadi. (ful/ham) Post Date : 25 Juni 2004 |