|
Mempawah, Kompas - Hujan lebat yang turun selama dua hari mengakibatkan Sungai Segedong di Kabupaten Pontianak dan Sungai Singkawang di Kota Singkawang, Kalimantan Barat, meluap. Sejumlah rumah dan jalan di Kecamatan Segedong dan Kecamatan Singkawang Barat terendam air setinggi 0,75-1 meter. Syamsuddin, TNI yang menjadi bintara penghubung di Kecamatan Segedong, Rabu (10/12), mengatakan, ratusan rumah di 10 dusun di Desa Peniti Besar dan Peniti Dalam Dua terendam air sejak pagi. Banjir juga merendam SD Negeri Pangguk di Peniti Besar. ”Jalan darat menuju dua desa itu terputus. Warga yang hendak ke ibu kota kecamatan atau ke pasar harus menggunakan motor air lewat sungai. Puluhan hektar lahan pertanian terendam air,” kata Syamsuddin. Menurut Ketua Forum SAR Daerah Singkawang Yohanes Urip lewat telepon, hujan lebat sejak Senin pagi sampai Selasa malam mengakibatkan Sungai Singkawang meluap. Sedikitnya 19 rumah terendam air setinggi 70 sentimeter. ”Warga RT 12 RW 4 Kelurahan Pasiran dievakuasi ke gedung pertemuan Kecamatan Singkawang Barat. Umumnya ibu hamil, orang lanjut usia, dan anak-anak,” kata Yohanes. Satuan koordinasi pelaksana penanggulangan bencana alam telah memberi bantuan bahan makanan dan layanan kesehatan bagi pengungsi. Di Kabupaten Luwu Utara, Sulawesi Selatan, sedikitnya 20 desa di Kecamatan Sabbang, Baebunta, dan Malangke terendam luapan air Sungai Rongkong, Masamba, dan Baliase dalam dua pekan terakhir. Kepala Bagian Hubungan Masyarakat Pemerintah Kabupaten Luwu Utara Syahruddin, Rabu, mengatakan, pihaknya tengah mendata penduduk yang perlu diungsikan dan dipasok logistik. ”Banjir sudah rutin dalam 3-4 tahun terakhir. Warga sudah melakukan antisipasi persiapan logistik,” ujarnya. Selain merendam tiang-tiang rumah panggung penduduk, air setinggi 1,5-2 meter menenggelamkan sawah dan kebun warga. Ratusan hektar tanaman padi dipastikan gagal panen dan ribuan hektar tanaman kakao gagal berbuah awal tahun depan. Pemicu banjir diduga akibat maraknya penebangan liar di hutan bagian hulu sungai. Intensitas hujan yang cukup tinggi di Kabupaten Kulon Progo, Daerah Istimewa Yogyakarta, mencemaskan petani. Mereka khawatir aliran air akibat hujan mengundang hama keong mas yang bisa mematikan padi. Menurut Suyanto (35), petani Desa Tayuban, Panjatan, telur keong mas sudah muncul di sejumlah petak sawah. ”Setelah telur menetas, hama keong sulit dibasmi. Mereka menyebar dengan cepat dan kebal terhadap obat karena berlindung di balik cangkang,” katanya. Selama dua bulan, seekor keong menghasilkan 2.000-4.000 telur. Telur keong mas menetas usia 7-14 hari. Seekor keong muda dapat menghabiskan seluruh batang padi berusia 20 hari dalam semalam. Hasil riset Universitas Gadjah Mada bersama Balai Besar Penelitian Padi Jawa Tengah menunjukkan, enam ekor keong mas per satu meter persegi luas sawah menyebabkan kerusakan tanaman padi hingga 10,78 persen. Madden-Julian Curah hujan tinggi diperkirakan masih akan terjadi di sebagian besar wilayah pantai barat Sumatera, Pulau Jawa, dan Papua hingga akhir pekan ini. Salah satu pemicunya adalah Madden-Julian Oscillation (MJO). Eddy Hermawan, peneliti dari Bidang Pemodelan Iklim, Pusat Pemanfaatan Sains Atmosfer dan Iklim, Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional, mengatakan, hingga Selasa lalu aktivitas kumpulan awan kumulus nimbus besar masih terjadi di pantai barat Sumatera, barat laut Kalimantan, dan Jawa. ”Setelah 15 Desember, MJO akan melemah,” katanya. Berdasarkan data ramalan cuaca dari National Centers for Environmental Prediction, curah hujan di kawasan itu dapat mencapai 100-150 milimeter selama tujuh hari. Wilayah Jawa Barat dan DKI Jakarta paling tinggi intensitasnya, 150 mm. Hal ini berisiko tinggi mengakibatkan banjir besar, seperti terjadi di Bandung akhir pekan lalu. Eddy menjelaskan, MJO adalah osilasi atau pembentukan awan hujan besar yang terjadi dalam 30-60 hari sekali. Osilasi terjadi akibat perbedaan tekanan udara yang besar dari wilayah Samudra Pasifik bagian barat ke timur. Jika fenomena atmosfer ini diiringi aktivitas angin barat dan radiasi gelombang panjang di daratan, akan terjadi hujan dengan intensitas tinggi. Data dari Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika Stasiun Bandung, Selasa, menunjukkan, dalam sembilan hari terakhir intensitas curah hujan mencapai 200 mm. Pada musim hujan normal, tiap 10 hari, curah hujan rata-rata 50 mm. Di sisi lain, bencana banjir masih dianggap rutinitas alam oleh beberapa pemerintah daerah di Indonesia. Akibatnya, masalah banjir tidak kunjung selesai dan dikhawatirkan bertambah parah. Hal itu dikatakan Direktur Pengurangan Risiko Bencana Badan Nasional Penanggulangan Bencana Bernardus Wisnu Widjaja di Bandung, Rabu. Wisnu mengatakan, sejumlah pemerintah daerah belum memiliki budaya aman. Meski menyadari hidup berdampingan dengan banjir, penanganan kebencanaan cenderung hanya aktif bila ada kejadian. Pemerintah daerah dan masyarakat enggan mengeluarkan biaya dan tenaga untuk mitigasi bencana. Padahal, tanpa mitigasi bencana, dampak banjir bisa makin luas dan merugikan masyarakat. Menurut Wisnu, guna memunculkan budaya aman, perlu dilakukan komunikasi antardaerah rawan banjir. Diharapkan daerah dengan karakteristik yang sama, biaya dan tenaga yang harus dikeluarkan untuk mitigasi bisa dipikul bersama.(WHY/NAR/YOP/CHE/JON) Post Date : 11 Desember 2008 |