|
SUATU pagi di tepian Nerang River, Gold Coast, Australia. Puluhan orang berjalan kaki untuk menghirup sejuknya udara kota kecil di belahan timur Negeri Kanguru itu. Nerang river yang berkelok-kelok dengan airnya yang jernih bagaikan lukisan alam yang mempercantik kota Gold Coast. Tidak ada sampah menumpuk di pinggir sungai dan tidak ada bau comberan seperti kebanyakan sungai di Jakarta. SEPANJANG Nerang River banyak berdiri rumah pribadi maupun rumah yang disewakan untuk tempat penginapan. Tepian sungai itu memang menjadi salah satu tempat favorit bagi warga Gold Coast untuk mendirikan rumah. Sesuai dengan konsep penataan kota di tepian air (waterfront city), letak rumah di Nerang River semua diposisikan menghadap ke sungai. Tidak ada satu rumah pun yang berdiri membelakangi sungai. Kalau toh mau dikombinasikan, biasanya warga Gold Coast membangun rumah dengan dua beranda atau teras, yang satu menghadap ke jalan dan satu lagi ke sungai. Dalam tata ruang kota di bebeberapa negara maju, sungai dianggap sebagai "halaman depan" sebuah rumah. Dengan konsep semacam itu, setiap pemilik rumah seperti diwajibkan untuk memperlakukan sungai secara terhormat. Dengan penegakan hukum yang kuat, sungai tidak lagi digunakan sebagai tempat pembuangan sampah. Pendek kata, sungai bukan merupakan bagian yang harus "disembunyikan" dari sebuah penataan kota. Sebaliknya di Jakarta, banyak sungai ataupun anak sungai yang tiba-tiba "menghilang" karena tertutup oleh bangunan gedung tinggi. Warga juga banyak menutup permukaan sungai dengan beton kemudian mendirikan rumah diatasnya. Anak-anak sungai akhirnya berubah menjadi got-got kecil atau bahkan mampet sama sekali. Di Gold Coast atau negara lain seperti di Singapura, sungai tetap dijaga keutuhannya. Dengan peraturan yang ketat, bantaran sungai tidak bisa diokupasi oleh orang-orang yang memiliki kepentingan. Sepanjang bantaran sungai banyak yang dijadikan jalur hijau. Untuk melestarikan keutuhan sungai, dibuatlah pedestrian atau jalan yang bisa diakses semua orang. Di Singapura, sungai yang membelah kota singa itu menjadi aset utama pariwisata kota. Melalui sungai, wisatawan diajak untuk melihat kecantikan kota Singapura, mulai dari bangunan modern hingga bangunan di jaman kolonial. Jembatan yang dibangun dengan arsitektur memesona semakin memperindah perjalanan wisata di atas sungai. SEBAGIAN orang di Jakarta berandai-andai bisa memiliki sungai yang bersih dan terawat seperti di negara lain. Lengkap dengan jalur hijau yang dikembangkan sebagai taman kota, kawasan sungai diharapkan bisa menjadi penyejuk udara Jakarta yang panas dan sudah tercemar. "Enak kan, kalau kita lagi sumpek bisa duduk-duduk di bawah pohon di pinggir sungai," kata Edi Said (42), karyawan di sebuah perusahaan. Namun kenyataannya, 13 sungai yang membelah kota Jakarta sama sekali tidak dianggap sebagai bagian penting dari sebuah kota. Kondisi sungai jauh dari kesan bersih dan sehat. Tanpa penegakan hukum yang ketat, sungai akhirnya digunakan sebagai tempat untuk membuang sampah dan kotoran. Semakin banyaknya industri dan rumah tangga yang membuang limbahnya ke sungai membuat beban yang ditanggung sungai sungguh berat. Bertambah banyaknya bahan pencemar yang masuk ke sungai membuat kualitas sungai makin menurun. Padahal, warga Jakarta menggunakan sungai sebagai sumber air minum karena kondisi air tanah sudah semakin kritis. Menurut hasil penelitian Badan Pengelola Lingkungan Hidup Daerah (BPLHD), kualitas sungai di Jakarta sudah menurun dari golongan I menjadi golongan III. Itu artinya air sungai di Jakarta tidak layak lagi digunakan sebagai air minum. Selain dipenuhi lumpur dan limbah kimia, air sungai juga banyak dicemari limbah domestik sehingga menyebabkan air sungai sering tercium berbau busuk. Jika diberdayakan, 13 sungai di Jakarta sebenarnya bisa memilik manfaat besar bagi warga kota Jakarta maupun Pemprov DKI. Warga bisa memanfaatkan sungai sebagai tempat rekreasi atau sebagai kegiatan lainnya yang menghibur. Membangun tempat makan yang murah meriah di tepi sungai sudah dilakukan di Surabaya. Di Yogyakarta, sebuah kafe besar bernama Gajah Wong juga memanfaatkan pemandangan sungai untuk menarik minat pembeli. Demi kepentingan bisnis, penggalan sungai yang tadinya kotor itu bisa "disulap" menjadi bersih dengan beragam cara. Asal punya kemauan, Pemprov DKI sebenarnya bisa menghimpun kekuatan denganpemerintah daerah lain untuk sama-sama menjaga kelestarian sungai. Baru-baru ini, Pemprov DKI bersama dengan Pemerintah Provinsi Jawa Barat, Pemerintah Kota Bogor dan Depok menandatangani perjanjian kerjasama untuk merawat sungai Ciliwung. Sungai Ciliwung melewati wilayah Jawa Barat dan DKI Jakarta. Namun sayangnya, perjanjian kerja sama di tingkat atas itu seperti berjalan sendiri tanpa melibatkan masyarakat. Padahal masyarakat banyak menjadi pelaku utama pencemaran sungai. Kerja sama juga hanya dilakukan untuk memantau kondisi Sungai Ciliwung tanpa ada tindakan konkret untuk menata atau menjaga kebersihan sungai. BURUKNYA penataan di kawasan bantaran berdampak buruk terhadap kebersihan dan keindahan sungai di Jakarta. Warga yang tinggal di bantaran kemudian menggunakan sungai untuk membuang sampah dan limbah air kotor. Rencana untuk memindahkan warga bantaran sungai ke tempat lain, seperti Tangerang dan Bekasi juga pernah dilakukan. Tetapi warga tegas menolak karena jauh dari tempat tinggal. Meski sering tidak diakui sebagai warga Jakarta, banyak warga di bantaran sungai yang tetap diwajibkan membayar Pajak Bumi dan Bangunan. Mereka juga diberi fasilitas listrik dan air bersih. Akibatnya, ketika hendak ditertibkan, mereka menolak. Solusi paling masuk akal untuk menata kawasan bantaran yang sudah terlanjur kumuh adalah dengan membangun rumah susun di tepi sungai. Pembangunan rusun di tepi sungai wajib dilakukan karena warga yang sudah puluhan tahun tinggal di tempat tersebut banyak yang bekerja tak jauh dari tempat mereka tinggal. Pemprov DKI sudah berkali-kali pula melontarkan akan membangun rusun tepi sungai bersama Departemen Pemukiman dan Prasarana Wilayah (Depkimpraswil). Namun upaya itu ditolak warga di beberapa tempat. Di daerah Bidara Cina yang sering kebanjiran akibat luapan Sungai ciliwung, pembangunan rusun yang dilontarkan dua tahun lalu terhenti karena ditolak warga. Banyak warga di bantaran sungai enggan pindah ke rusun. Mereka takut disuruh membeli rusun dengan harga mahal. Padahal selama ini, mereka bisa tinggal di bantaran sungai meneruskan moyangnya. Mantan Menteri Perumahan Rakyat, Siswono Yudohusodo, mengungkapkan, memindahkan warga ke rusun sulit dilakukan jika pemerintah tidak memberi kemudahan kepada warga. Warga bantaran yang rata-rata berpenghasilan rendah tidak bisa memiliki rusun dengan cara membeli tetapi dengan cara menyewa dengan harga murah. Kalau perlu terapkan sewa harian. (LUSIANA INDRIASARI) Post Date : 30 September 2004 |