|
Akibat musim kemarau, sungai dan mata air di Dukuh Luhur dan Paniis, Desa Neggala, Kecamatan Mandirancan, Kabupaten Kuningan, Jawa Barat (Jabar), mengalami penyusutan sedalam tiga meter. Ribuan warga terpaksa harus mengantre untuk mandi pagi dan sore serta keperluan rumah tangga. Pemantauan Media di lokasi kemarin, sumber mata air Paniis yang selama ini menjadi andalan mata air Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) untuk Kota dan Kabupaten Cirebon, kondisinya semakin kritis. Menurut Lumbri, 59, penduduk Blok Kliwon, Desa Nenggala, debit air di sungai itu sudah menyusut. Kalau pada empat bulan lalu masih setinggi tiga meter, sekarang ini hanya setinggi betis. Akibat menyusutnya sumber mata air itu, setiap pagi ratusan warga di Blok Kliwon Desa Nenggala terpaksa harus mengantre panjang. Kondisi ini sudah terjadi dalam satu bulan ini. Hal ini diakui oleh Lumbri. Namun, kata Lumbri, untuk menghindari mengantre panjang ia terpaksa mandi di pagi buta, bahkan malam gulita. Sebenarnya di desa ini terdapat PDAM. Namun, air itu untuk menyuplai Kota dan Kabupaten Cirebon. "Kami hanya boleh mendapatkan air PDAM kalau bersedia membayar Rp1.350 per kubik. Air PDAM Paniis itu hanya boleh untuk masjid. Kami terpaksa harus mengambil air dari mata air sungai Dukuh Luhur," kata Darmini, 42, warga setempat. Kepala Kantor Lingkungan Hidup (KLH) Kabupaten Cirebon Yadi Djunuryadi, kemarin, mengatakan kemarau tahun ini diperkirakan bisa lebih parah dibanding tahun sebelumnya. Kajian KLH, kemarau parah terjadi pada siklus sepuluh tahunan. Pada 1984, 1994, dan 2004 terjadi kekeringan dan musim kemarau yang cukup parah. Kondisi ini, kata Yadi, diperparah dengan ulah manusia yang merusak lingkungan. Sehingga mengganggu siklus alami seperti perputaran awan yang berasal dari air permukaan yang menguap dan kemudian menjadi hujan. Karena itu, ia meminta pemerintah memikirkan untuk mengeruk sungai dangkal dan menciptakan air laut menjadi air tawar agar bisa dikonsumsi masyarakat. Kondisi kekeringan juga terjadi di sejumlah daerah di Nusa Tenggara Barat (NTB) seperti Pulau Lombok dan Sumbawa. Kepala Dinas Permukiman dan Prasarana Wilayah (Kimpraswil) NTB Jalal mengatakan kemarau terjadi di sejumlah tempat, terutama di Lombok bagian Selatan yang sudah menjadi langganan setiap tahun. Sedangkan di Pulau Sumbawa, wilayah yang paling kritis adalah Moyo Hilir, Empang, Plampang (Kabupaten Sumbawa), Wera, Oi Toi (Kabupaten Bima), dan daerah Hu'u (Kabupaten Dompu). Dari Malang, Jawa Timur (Jatim) dilaporkan, petani di sana dilarang menanam padi pada musim kemarau (Juli, Agustus, dan September). Mereka hanya diperbolehkan menanam tanaman pertanian palawija. Ini terjadi akibat debit air sejumlah sumber mulai berkurang. "Kita ingatkan kepada para petani agar jangan menanam padi, karena ketersediaan air tidak cukup pada musim kering tahun ini," kata Kepala Dinas Pengairan Kabupaten Malang, Subandiyah Aziz. Rawan sembako Sementara itu dari Palangkaraya, Kalimantan Tengah (Kalteng), akibat debit air di sejumlah sungai menyusut, masyarakat pedalaman terancam rawan sembako. Ini terjadi akibat sejumlah kapal tidak bisa mengangkut sembako ke daerah pedalaman. Menurut Ketua DPRD Kalteng Rinco Norkim, kemarin, berdasarkan hasil kunjungan ke sejumlah aliran sungai, saat ini masyarakat di pedalaman di pinggiran sungai Rungan, Kahayan, dan Katingan seperti Desa Tumbang Miri, Tumbang Malahui, dan Tumbang Sanamang, harga sembako di sana sudah sangat tinggi dan langka. "Ini dikarenakan surutnya air sungai yang menghubungkan desa tersebut dengan ibu kota provinsi sehingga tidak bisa dilalui kapal barang sembako. Padahal jalur sungai adalah satu-satunya transportasi menuju desa pedalaman ini sehingga saat ini harga sembako di pedalaman sangatlah tinggi selain BBM." Dijelaskan Rinco, harga sembako seperti gula dan beras bisa naik tiga kali lipat. Untuk 1 kg gula dari Rp4.000 menjadi Rp10.000. Sedangkan beras dari Rp3.500 per kg menjadi Rp 7.000. Post Date : 25 Agustus 2004 |