|
SEMARANG - Kandungan sulfida dalam air sumur warga Kampung Jayenggaten Kelurahan Kembangsari, Semarang Tengah, terbukti melebihi baku mutu. Dalam Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes) No 416/ Menkes/PER/IX/1990, batas maksimum sulfida yang diizinkan hanya 0,05 mg/liter. Namun hasil pengujian Badan Pengendalian Dampak Lingkungan (Bapedalda) Kota Semarang diketahui kandungan sulfida dalam air sumur warga Jayenggaten 0,0627 mg/liter. Menurut Kepala Bidang Pemantauan dan Pemulihan Bapedalda Nurweni SH, sampel air itu diambil dari rumah Abdul Hadi, salah satu warga, pada 30 Januari. Hasil pengujian dituangkan dalam laporan bernomor 660.3.70/ II/2006. Dari 16 parameter yang diuji, hanya parameter sulfida yang melebihi baku mutu. Ditemukan pula kandungan kalsium 20 mg/liter dan magnesium 6,81 mg/liter. Namun kedua zat kimia itu tidak masuk dalam parameter Permenkes. ''Kalau prediksi kami benar, ada kemungkinan septic tank yang hanya berjarak lima meter dari sumur itu mengalami malafungsi. Septic tank warga berdekatan dengan lokasi proyek Gumaya,'' jelas Nurweni ketika ditanya tentang kemungkinan penyebab tingginya kandungan sulfida. Kegiatan pemasangan tiang pancang menimbulkan getaran yang cukup hebat. Ada kemungkinan getaran itu mengakibatkan tembok rumah dan septic tank retak-retak sehingga air limbah septic tank merembes ke sumur warga. ''Namun hal itu masih dugaan. Kami segera menemui manajer proyek untuk mengecek kebenarannya,'' imbuhnya. Kandungan sulfida yang melebihi baku mutu dikhawatirkan dapat mengganggu kesehatan. Sulfida juga mengakibatkan bau busuk pada air. Nurweni juga mengungkapkan, dalam jumlah besar zat kimia itu dapat mengganggu pencernaan. Namun dia tidak melihat air sumur itu digunakan untuk minum. ''Pada saat kunjungan ke Jayenggaten, saya melihat ada depo air. Kemungkinan air sumur hanya digunakan untuk mandi dan MCK,'' tegasnya. Dihubungi secara terpisah, Manajer Proyek Hotel Gumaya Ir RA Herry Purwanto tetap menyangkal pencemaran berasal dari proyek yang dia kerjakan. Menurutnya, kandungan sulfida sangat mungkin berasal dari septic tank mereka sendiri. Pasalnya, jarak antara sumur dan septic tank sangat dekat, yakni cuma sekitar dua meter. Padahal idealnya minimal 10 meter. ''Lebih-lebih air sumur warga juga tidak berasal dari mata air, tapi dari resapan. Kalau memang itu akibat proyek Gumaya, kenapa baru sekarang dipersoalkan. Kok tidak dari dulu. Kami tahu, sebelum proyek dijalankan, air sumur di sana memang sudah seperti itu,'' paparnya. Di tempat terpisah, pakar lingkungan Undip Prof Dr Sudharto PH MES PhD mengatakan, Pemkot bisa mencabut izin mendirikan bangunan (IMB) Hotel Gumaya. "Kalau pihak pengelola hotel tidak mematuhi ketentuan perundangan, pemerintah berhak mencabut IMB-nya," paparnya. Pencabutan IMB tersebut, lanjutnya, dimaksudkan agar kerusakan lingkungan tidak bertambah parah. Menurut Pembantu Rektor I Undip itu, pemberian IMB sejak awal memang bermasalah. Adanya pemerintah untuk mengkaji ulang IMB Hotel Gumaya, berarti pemerintah telah mengetahui telah terjadi kesalahan. Sesuai dengan Pasal 25 UU No 23 Tahun 1997, Gubernur berwenang melakukan paksaan pemerintahan terhadap penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan untuk mencegah dan mengakhiri terjadinya pelanggaran. Wewenang itu dapat diserahkan kepada bupati/wali kota/kepala daerah tingkat II dengan peraturan daerah tingkat I. Karena itu, dia menganggap pencabutan IMB hotel itu dinilai layak apabila pengusaha terbukti menyebabkan pencemaran dan kerusakan. "Pengusaha pun harus memberikan ganti rugi, memulihkan lingkungan yang tercemar, dan memperbaiki penyebab pencemaran itu agar tidak terulang," tandasnya. (H5,H6,sjs-37n) Post Date : 21 Februari 2006 |