|
Pulau kecil dan terpencil sering menghadapi masalah klasik, yakni kesulitan air bersih. Sama halnya dengan Pulau Solor di Flores Timur, Nusa Tenggara Timur. Pulau itu tidak memiliki sumber mata air, yang mampu menyuplai air baku ke tiga kecamatan di Solor. Ketergantungan pada air sumur sangat tinggi. Satu desa memiliki 1-2 sumur dengan air terasa tawar sudah sangat membantu warga setempat. Air menjadi salah satu kebutuhan yang paling sulit diperoleh dibanding kebutuhan lain. ”Warga desa bergotong royong menggali tiga sumur air dengan jarak sekitar 10 meter dari bibir pantai, dengan kedalaman masing-masing 15 meter. Namun, dari tiga sumur ini, hanya satu sumur yang menghasilkan air tawar untuk kebutuhan air baku. Dua sumur lain menghasilkan air asin,” kata Sekretaris Desa Kalike Aimatan, Moses Hayon, di Kalike Aimatan, Kecamatan Solor Selatan, Flores Timur, Kamis (14/6). Kalike Aimatan merupakan salah satu dari 27 desa yang tersebar di tiga kecamatan di Pulau Solor yang mengalami kesulitan air bersih. Sebanyak 178 keluarga di Desa Kalike Aimatan setiap hari bergantung pada satu sumur tua yang terletak di bibir Pantai Wato Tena. Desa itu berada di kemiringan 35 derajat. Sumur berada sekitar 10 meter dari bibir pantai. Warga dari pagi sampai sore hari berjubel mengambil air sumur itu menggunakan ember dan jeriken. Luas desa itu sekitar 2 hektar. Memikul satu ember air seberat 20 kg butuh waktu sampai 30 menit perjalanan, terutama untuk rumah penduduk yang terletak paling utara desa itu. ”Pernah ada rencana menaikkan air sumur ke tengah permukiman, tetapi ada kekhawatiran ketika air tawar habis disedot habis, air laut akan mengisi bagian dasar sumur yang kosong. Pendapat ini membuat rencana penarikan air itu pun batal sampai hari ini,” kata Moses. Warga dilarang mandi atau mencuci di sumur tersebut. Ada kekhawatiran membangun kamar mandi atau kamar cuci di sekitar sumur akan disalahgunakan oleh kaum muda. Perjalanan 2,5 kilometer Pemandangan serupa terlihat di Desa Wulublolong, Solor Timur. Dari pukul 05.00 hingga pukul 20.00, warga desa itu antre mengambil air di sumur tersebut. Orangtua, anak sekolah, dan remaja terlibat mengambil air tersebut. Mereka harus menempuh perjalanan 2,5 km untuk mendapatkan air sumur yang berada di bibir pantai itu. Letak desa itu pun berada di kemiringan sekitar 30 derajat. Proses mendatangkan air ke rumah warga lebih sulit karena melewati jalan setapak sehingga tidak bisa menggunakan sepeda motor. Kepala Desa Wulublolong, Belawa Rebon, mengatakan, di Pulau Solor hanya ada satu sungai, yakni Waitikong di Desa Lemanu, tetapi hanya mampu mencukupi kebutuhan tiga desa, yakni Kalike, Lemanu, dan Kenere. Masih ada sungai di Rita Ebang, tetapi tidak mencukupi kebutuhan air baku di seluruh Solor. Memasuki puncak kemarau (Agustus-November), debit air berkurang sehingga hanya Desa Lemanu dan Kenere yang kebagian air itu. Hampir semua desa di Pulau Solor mengalami kesulitan air bersih serupa. Bahkan, beberapa desa tidak memiliki sumur air tawar, kecuali air asin seperti di Lamakera dan Menanga. Di sana tidak ada sumber air juga. Beberapa kepala keluarga di Lamakera dan Menanga mengambil air dengan perahu motor dari Pulau Adonara. Perjalanan ditempuh sekitar 30 menit. Namun, selama terjadi gelombang tinggi dan angin kencang, mereka terpaksa mengambil air dari desa tetangga. Pengamatan di sejumlah desa di pulau itu, tak ada upaya warga untuk memanfaatkan air hujan, seperti membangun bak penampung air hutan, yang bersumber dari atap rumah atau lainnya. Mereka semata-mata bergantung pada sumur. Padahal, air hujan itu dapat dimanfaatkan untuk mencuci dan menyiram tanaman setempat, termasuk untuk mandi. Hendrik Niron, guru SDN Kalike, mengatakan, pembangunan embung pun tak membantu mengatasi masalah. Tahun 2010, pemerintah provinsi pernah membangun sebuah embung dengan kapasitas air baku sekitar 2 juta meter kubik, tetapi air itu tak bertahan lama. Air meresap dengan sendirinya sampai habis sebelum memasuki musim kemarau. Ny Mery Hayon, warga Kalike Aimatan, mengharapkan pemerintah membantu warga menaikkan air dari bibir pantai menuju permukiman warga. Satu desa memiliki 3-4 empat titik pipa air sudah sangat membantu meringankan beban keluarga. Pekerjaan mengambil air dengan jarak 500 meter-3 km sangat membebani warga. Jika masalah air sudah ditangani, warga bisa berkonsentrasi pada pekerjaan lain. Angka putus sekolah (bolos sekolah) siswa dapat ditekan dan pekerjaan mengolah lahan lebih efektif. Mengangkat air ke rumah merupakan salah satu pekerjaan sangat urgen dan tidak boleh diabaikan setiap keluarga. Memasuki musim kemarau, beberapa desa di Pulau Solor sering dilanda diare akibat warga kesulitan air. Dari tiga pulau di ujung timur Pulau Flores, Solor merupakan yang paling miskin sumber air. Pulau ini kering, tandus, dan gersang seperti Pulau Timor, Rote Ndao, dan Sabu Raijua. (KORNELIS KEWA AMA) Post Date : 03 Juli 2012 |