|
Dadi (52) berdiri tak jauh dari sumur di belakang rumahnya yang ditutupi seng, Selasa (3/7) pagi. Sudah lebih dari sepekan terakhir sumur itu tak lagi mengeluarkan air. Ia kini hanya bisa bergantung pada aliran irigasi dari Sungai Ciliwung untuk mencuci dan mandi, serta air isi ulang untuk minum dan memasak. Dua hari sekali ia harus membeli air isi ulang Rp 4.000 per galon untuk minum tujuh orang. Biasanya, air sumur yang cukup bersih juga digunakan untuk memasak dan minum. Bagi Dadi, mengeluarkan uang Rp 4.000 per dua hari cukup membebani. Anak-anaknya masih belum bekerja, istrinya juga tak bekerja. Dia hanya bekerja sebagai buruh serabutan dengan upah sekitar Rp 250.000 per minggu. Itu pun jika sedang ada panggilan kerja tiap hari untuknya. Kadang-kadang jika uang di dompetnya menipis, ia bergerilya mendatangi rumah-rumah tetangganya di RT 5 RW 9 Kelurahan Katulampa, Bogor Timur, Kota Bogor. ”Hanya satu dua orang saja yang sumurnya masih ada airnya. Sisanya sama seperti sumur saya. Kering,” tutur Dadi. Di kampung itu, kata Dadi, ada sekitar 100 keluarga yang bermukim. Mereka kini mengandalkan air Sungai Ciliwung untuk mandi. Jarak kampung itu hanya sepelemparan batu dari aliran irigasi Sungai Ciliwung. Alhasil, pagi dan sore hari, puluhan bahkan ratusan warga di kampungnya memadati tepian jalur air irigasi Sungai Ciliwung. Menurut dia, tahun ini kekeringan terasa lebih berat karena baru tiga pekan tidak turun hujan, sumur-sumur di kampungnya sudah mengering. Sementara musim kemarau masih jauh dari usai. ”Biasanya, saat kemarau, sumur memang kering, tapi sepertinya semakin lama semakin parah. Sumur-sumur akhirnya harus kami perdalam. Awalnya, sumur saya 15 meter, sekarang sudah 18 meter,” tutur Asih (50), tetangga Dadi. Sumur serapan Yanuar (23) termasuk warga yang masih beruntung. Sumur di rumahnya masih mengalirkan sedikit air, tidak seperti milik tetangganya yang kering kerontang. Seusai mengisi air satu bak, ia harus menunggu satu jam hingga air kembali mengalir. Akhirnya, beberapa tetangganya juga meminta air. ”Kami beruntung karena ada dua sumur resapan di depan rumah. Mungkin ini yang membuat sumur di rumah kami masih mengeluarkan air. Dulu pernah dapat bantuan sumur serapan, tapi lupa dari mana,” kata Yanuar. Kondisi yang tidak jauh berbeda juga terlihat di aliran utama Sungai Ciliwung maupun saluran irigasi Ciliwung. Menurut Endin, penjaga Bendung Katulampa, ketinggian air di saluran utama Sungai Ciliwung hanya sekitar 10 sentimeter, sedangkan di saluran irigasi hanya sekitar 30 sentimeter. ”Kalau kering sama sekali untuk irigasi belum pernah, tetapi biasanya bertahan di 40-50 sentimeter,” kata Endin. Tangkapan air rusak Hapsoro, Koordinator Komunitas Peduli Ciliwung Kota Bogor, menduga sumur-sumur kering itu disebabkan semakin rusaknya daerah tangkapan air di sekitar aliran Ciliwung, yakni di kawasan Puncak, Kabupaten Bogor, maupun di daerah Hambalang di Babakan Madang. Lahan-lahan terbuka yang seharusnya bisa menyerap air ke dalam tanah beralih menjadi bangunan-bangunan. ”Akhirnya serapan air di daerah tangkapan dari hutan hanya cukup untuk aliran Ciliwung saja, tidak lagi mencukupi untuk mengisi sumur dan sumber air di daerah tengah dan hilir,” tutur Hapsoro. (Antony Lee) Post Date : 04 Juli 2012 |