|
BARU masuk tahun 2004, masuk pula sumpah serapah sebagian warga yang merasa terganggu sampah buangan segala kotoran orang DKI Jakarta. Soal sumpah menyumpah sampah, bukan mainan akhir tahun 2003. Soal ini sudah muncul dengan nada dan irama yang sama sejak tahun 2001. Tepatnya pada tanggal 11-15 Desember 2001, Pemerintah Kota Bekasi pernah menolak segala macam sampah buangan asal Jakarta. Ribuan ton sampah bau dan kotor tidak dibolehkan lagi disampahkan, di tempat pembuangan akhir sampah Bantar Gebang. Orang Jakarta katanya setiap hari nyampah sampai 6.250 ton, atau volumenya sampai sekitar 25.000 meter kubik. Dari jumlah besar itu, jatah sampah sekitar 4.000 ton setiap hari dibuang di TPA Bantar Gebang yang luasnya 108 hektar dan meliputi tiga desa, yakni Sumur Batu, Cikiwul, dan Ciketing Udik. Namanya juga sampah yang barang buangan, tentu kehadirannya bagi pemukim sekitaranya amat mengganggu. Udara bau busuk dengan lalat-lalat yang mengancam kesehatan manusia, tentunya bukan soal enak. Meski begitu, berton-ton barang sisa buangan manusia, perumahan dan industri itu, ternyata membawa dampak positif bagi pemulung yang hidup dari sampah untuk usaha daur ulang. Sejak saat itu, setiap menjelang tutup tahun, boleh dikata Pemkot Bekasi selalu mengeluarkan ancaman tidak akan menerima lagi buangan sampah dari Jakarta. Korban pertama ancaman tutup tahun 2001, justru Kepala Dinas Kebersihan DKI yang kontan dipentalkan karena dianggap kurang pas kerjanya. Sejak itulah, Pemkot dan DPRD Bekasi makin peka dan makin itungan. Pokoknya Pemprov DKI harus memenuhi segala janjinya untuk keluarkan dana membangun ini dan itu. Tentu dengan dalih demi kesehatan lingkungan dan pemulihan lingkungan hidup sekitaran alam Bantar Gebang. AKHIR tahun 2003, drama penolakan sampah DKI terjadi lagi. Kali ini dilakoni warga sekitaran TPA Bantar Gebang pas saat jarum jam menunjukkan pukul 00.00 di awal tahun 2004. Pasalnya masih isu yang dulu-dulu, soal kekesalan warga terhadap Wali Kota Bekasi dan Gubernur DKI. " hanya penderitaan yang kami rasakan. Pemkot tidak mendengarkan aspirasi warga, malah membuat kesepakatan dengan DKI, ya terpaksa kami melakukan penghadangan. Pokoknya truk sampah tidak boleh masuk." Rupanya warga sekitaran TPA itu sudah merasa kekenyangan dikibulin. Bahkan DPRD Bekasi pun dituduh, hanya mengatasnamakan warga demi kepentingan dan keuntungannya saja. Sementara itu, kata wakil warga, orang desa dari sekitaran TPA hanya dapat polusi dan bau, sama sekali tidak mengecapkan sedikit pun manfaat dana kompensasi. Juga janji TPA akan dikelola pemkot dengan membangun pabrik pupuk serta mengerjakan warga lokal sebagai karyawan, sementara ini hanya dianggap "hanya janji tinggal janji". Soal penghadangan warga dan "penutupan" TPA, pasti bikin jajaran Pemprov DKI kebingungan. Soalnya bos-bos pemprov kini lagi asyik-asyiknya mau menyelesaikan soal "three in one", plus peluncuran busway yang belum setengah jalan, kini sudah dihadang soal sampah yang barang kotoran. Kalau "3 in 1" dan busway diduga bikin tambah macet pemakai jalan raya, masalah sampah bakal "memacetkan" urusan kesehatan dan kebersihan lingkungan se-Ibu Kota. Kalau sampai Jakarta tidak boleh buang sampah ke Bantar Gebang. Mulai hari Kamis (1/1) akan ada sampah 4.000.000 kg berceceran, menumpuk dan menggunung hingga timbulkan udara bau pembawa penyakit yang mengancam kesehatan 10 jutaan warga Ibu Kota. Kalau sampai begini, di awal minggu tahun 2004, pasti akan ada puluhan atau ratusan ribu warga kota ketiban musibah sampah. Kota kotor berbau tidak sehat, kemacetan besar-besaran plus ancaman banjir, ditambah ancaman bandit dan teror kekerasan, pantaslah kalau warga Jakarta suka bersumpah serapah gara-gara sampah. (BD) Post Date : 03 Januari 2004 |