|
KUNINGAN--Sejumlah mata air di Kabupaten Kuningan, Jawa Barat, terancam punah. Ini terjadi sebagai dampak dari tingginya kerusakan hutan akibat penebangan liar dan pembangunan infrastruktur di sekitar lokasi mata air. Kepala Dinas Lingkungan Hidup dan Kebersihan Pemerintah Kabupaten Kuningan, Yoyo Sunaryo, mengatakan ada beberapa faktor penyebab terancamnya kelestarian sumber mata air itu. Di antaranya, adanya pencemaran limbah industri, dibangunnya gedung dan bangunan di daerah resapan air, adanya lokasi galian C (pasir), serta maraknya penebangan hutan. Yoyo menjelaskan, ancaman kerusakan sumber mata air akibat pencemaran limbah, seperti di sumber mata air Sungai Cikentru. Menurut dia, di sepanjang aliran sungai itu, berdiri lima pabrik tahu yang tidak dilengkapi dengan instalasi pembuangan air limbah (ipal). Pencemaran limbah juga terjadi di sumber mata air Cijolang. Hal tersebut disebabkan lima pabrik tapioka yang berdiri di sepanjang alur mata air, langsung membuang limbahnya tanpa diolah terlebih dahulu. ''Para pemilik pabrik enggan memasang Ipal, karena harganya memang mahal, yakni sekitar Rp 25 juta untuk satu ipal,'' papar Yoyo, Selasa (13/9). Dijelaskan, pencemaran sumber mata air bukan hanya disebabkan oleh limbah industri saja. Di sumber mata air Cigugur, menurut dia, airnya telah dicemari oleh kotoran (feses) dari ternak yang dipelihara di peternakan-peternakan yang ada di sekitar lokasi mata air. Kebanyakan lokasi peternakan itu dibangun di atas daerah resapan air. Akibatnya, kotoran dari ternak akan masuk ke dalam resapan dan mencemari air yang nantinya akan dikonsumsi oleh masyarakat. ''Masyarakat yang mengkonsumsi air dari mata air itu, bisa terjangkiti berbagai penyakit saluran pencernaan akibat bakteri salmonella yang terdapat dalam kotoran ternak,'' ujar Yoyo. Yoyo menerangkan, terancamnya sumber mata air di Cigugur, juga disebabkan semakin banyaknya bangunan di sekitar lokasi sumber mata air. Disebutkan, selain perumahan, di sekitar sumber mata air itu juga terdapat sebuah rumah sakit, yakni Rumah Sakit Sekarmulya. Berdasarkan UU No 23 tahun 1996 tentang Pengawasan Kawasan Setempat dan Keppres No 10 tahun 1996, disebutkan bahwa dalam radius 200 meter dari sumber mata air, seharusnya tidak boleh ada bangunan. Hal itu untuk menjaga daerah resapan air. Faktor lainnya, adalah akibat adanya galian pasir, terjadi di sumber mata air di kawasan Gegerhalang. Dari lahan seluas 376 hektare, kata Yoyo, sebanyak 80 persennya kini digunakan sebagai lokasi penambangan pasir. ''Maraknya penebangan hutan, juga turut mengancam kelestarian sumber mata air di Kuningan,'' ujarnya. Pasalnya, rusaknya hutan akan menurunkan jumlah debit air di daerah-daerah resapan air. Menurut Yoyo, kondisi tersebut jelas akan menurunkan jumlah pasokan air bukan hanya di Kuningan, melainkan juga daerah lainnya yang selama ini menggantungkan sumber mata airnya dari Kabupaten Kuningan, seperti Cirebon dan Majalengka. Karena itu, ancaman terhadap kelestarian sumber mata air harus segera diatasi. Salah satu upaya yang bisa dilakukan adalah dengan menanam pohon ficus (kelompok tanaman yang mampu menyimpan air dalam jumlah banyak) di daerah-daerah resapan air. Krisis air Sementara itu sebagian besar waduk di Jateng kini mengalami kritis, karena debit airnya jauh di bawah batas debit normal dan hampir kering. Data Dinas Pengelolaan Sumber Daya Air Jateng menyebutkan, dari 38 jumlah waduk yang ada di Jateng, empat waduk telah mengalami kekeringan dan 26 waduk lainnya dalam kondisi kritis (mendekati kering). ''Sampai saat ini hanya delapan waduk saja yang mempunyai volume dan debit air yang normal,'' ujar Kepala Sub Dinas Operasi dan Pemeliharaan Dinas Pengelolaan Sumber Daya Air Pemrov Jateng, Hartono, Selasa (13/9).( lis/owo ) Post Date : 14 September 2005 |