|
PERJUANGAN Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) menolak Undang-Undang No 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air (SDA) kandas. Mahkamah Konstitusi (MK) telah mengetukkan palu menolak uji materi (judicial review) atas UU itu. Walhi merupakan salah satu dari tiga pemohon uji materi atas UU SDA. Mereka mewakili 16 lembaga dan 868 individu. Sejak UU SDA disahkan DPR, tahun lalu, gelombang penolakan terus mengalir. Penolakan itu semakin menemukan kekuatannya ketika sejumlah pihak mengajukan permohonan judicial review UU SDA itu ke MK. Belasan lembaga dan ratusan individu mengajukan permohonan uji materi terhadap undang-undang yang dinilai tidak berpihak kepada rakyat itu. Namun, gelombang penolakan itu terbendung ketika MK memutuskan menolak permohonan uji materi. Majelis hakim MK yang dipimpin Jimly Asshiddiqie berpendapat, Pasal 49 ayat 4 UU SDA tidak bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945. ''Berdasarkan pertimbangan tersebut, Mahkamah berpendapat permohonan pengajuan UU No 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air, baik formil maupun materiil, tidak dapat dikabulkan,'' tandas Jimly saat membacakan putusan, akhir bulan lalu. Gugatan yang diajukan 16 organisasi, termasuk di antaranya Walhi, Perhimpunan Bantuan Hukum Indonesia (PBHI), Urban Poor Consortium (UPC), Federasi Serikat Petani Indonesia, Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) dinilai MK sebagai hal yang tidak mendasar. MK berpendapat, UU SDA mengatur hal-hal yang pokok dalam pengelolaan sumber daya air. Meskipun UU SDA membuka peluang peran swasta untuk memiliki hak guna usaha air, MK menilai hal itu tidak akan mengakibatkan kebutuhan air jatuh ke tangan swasta. Mengenai hak guna pakai air dan hak guna usaha air dalam UU SDA, menurut MK, hak guna air pada pasal 7 ayat 1 tidak dimaksudkan memberi hak penguasaan atas sumber air, sungai, dan rawa-rawa. "Bukan pula hal itu merupakan hak kepemilikan atas air, melainkan terbatas pada hak untuk memperoleh dan memakai atau mengusahakan kuota air sesuai lokasi yang ditetapkan pemerintah," papar Jimly. MK menambahkan, di luar hak guna pakai air (HGPA), pengusahaan air harus tunduk pada penguasaan oleh negara. Pemanfaatan air di luar konsep HGPA harus melalui permohonan izin kepada pemerintah dengan memenuhi syarat-syarat tertentu. Konflik air Menanggapi hal itu, Menteri Pekerjaan Umum Djoko Kirmato mengatakan, UU SDA justru lebih memerhatikan konservasi dan menawarkan mekanisme penyelesaian yang adil atas konflik air. Oleh karena itu, pemerintah akan menyiapkan peraturan pemerintah menyangkut irigasi, konservasi, dan alokasi air. Saat pencanangan Hari Air Sedunia, 28 April lalu, Djoko menegaskan, tidak ada alasan bagi kalangan LSM untuk menolak UU SDA. Menanggapi UU SDA yang memberi peluang privatisasi air, Djoko mengatakan, "Tidak ada itu pengelolaan air diserahkan sepenuhnya ke pihak swasta. Yang ada swasta boleh berpartisipasi dalam mengelola sumber daya air. Kalau khawatir sumber daya air akan dikuasai, pasal mana yang dimaksud." Dalam peluncuran buku Pelibatan Publik Dalam Pengambilan Keputusan, Catatan Pengalaman Pembangunan Prasarana SDA, koordinator tim advokasi kebijakan publik LP3ES (Lembaga Penelitian, Pendidikan dan Penerangan Ekonomi dan Sosial) Erfan Maryono mengatakan, UU No 7 tentang SDA telah mengamanatkan konsultasi publik. ''Kendati tidak secara eksplisit, tetapi UU SDA membuka peluang keputusan sebuah rencana pembangunan, khususnya di bidang sumber daya air. Artinya, masyarakat mempunyai kesempatan untuk menolak, mengubah, atau menerima atas sebuah rencana pembangunan sesuai dengan situasi dan kondisi daerahnya,'' jelas Erfan. Pasal 34 ayat 4 UU SDA menyatakan, pelaksanaan pengembangan sumber daya air sebagaimana dimaksud ayat 2 dilakukan melalui konsultasi publik, melalui tahapan survei, investigasi, dan perencanaan serta berdasarkan pada kelayakan teknis, lingkungan hidup, dan ekonomi. Pasal lain yang melibatkan konsultasi publik juga tertuang dalam pasal 47 ayat 4 dan penjelasan pasal 11 ayat 3 UU No 7 Tahun 2004 tentang SDA. Erfan menilai, jika pembangunan prasarana SDA tidak dilakukan konsultasi publik, proyek itu dianggap mengabaikan atau melanggar UU SDA. Dia juga berharap, masyarakat mengajukan laporan pengaduan atau gugatan kepada pemerintah daerah atau pemerintah pusat jika terdapat proyek yang dibangun tanpa konsultasi publik terlebih dahulu. Deri Dahuri/E-1 Post Date : 06 Agustus 2005 |