WARGA Kelurahan Oesao, Kecamatan Kupang Tengah, Kabupaten Kupang, Nusa Tenggara Timur (NTT), selama ini sering panik. Pasalnya, selama bertahun-tahun, mereka selalu mengalami krisis air.
Namun, Minggu (2/8) lalu, kepanikan mereka mulai mencair. Kucuran air dari pipa sepanjang 200 meter yang menghubungkan sumur bor dengan permukiman membuat mereka lega.
Mereka tentu saja senang, sebab setiap musim kemarau seperti sekarang ini, warga harus rebutan air bersih yang dijual menggunakan kereta dorong. Satu jeriken air kemasan 5 liter seharga Rp2.000. Ini hanya cukup untuk kebutuhan minum pada hari itu.
Jika tidak kebagian, mereka mengambil air ke kali terdekat sejauh 300 meter. Hal itu bukan lagi pemandangan yang aneh di wilayah berjarak sekitar 30 kilometer dari utara Kota Kupang tersebut.
Untuk mendapatkan air, banyak warga yang juga menggali sumur berukuran kecil sedalam sekitar 30 sentimeter di tepi kali. Air kali yang meresap ke dalam sumur itu dibawa pulang untuk kebutuhan minum dan masak. Adapun urusan mandi dan cuci bukan prioritas.
Ketenangan warga terusik bila puncak kemarau tiba. Umumnya puncak kemarau diikuti mengeringnya sungai sehingga warga harus mencari air ke kampung tetangga. Mereka melintasi tanah persawah an yang terbelah karena tidak ada air. Dalam situasi seperti itu tumbuhtumbuhan rumput pun meranggas, yang mengakibatkan ternak milik warga juga sulit mendapatkan pakan.
Akan tetapi, kini kesulitan mendapatkan air terobati setelah warga setempat, Heriben Kiuk, 45, mendanai pengeboran dua sumur air tepat di tengah kebun jagung miliknya. Pengeboran dimulai sepekan terakhir.
"Ini cita-cita saya untuk mengatasi krisis air di sini, apalagi saat ini wilayah Indonesia Timur mulai dilanda El Nino. Saya hanya ingin menjadikan sumber air semakin dekat ke permukiman," katanya kepada Media Indonesia.
Heriben mengeluarkan uang sebesar Rp3,5 juta untuk membeli pompa, pipa, selang, dan ongkos pengeboran. Hasilnya, sekitar 200 keluarga yang berdiam di dua rukun tetangga, kini tidak lagi kesulitan air bersih. Air yang dialirkan dari pipa masuk ke bak yang mampu menampung 200 liter air.
Di penampungan tersebut, warga boleh mengambil air secara gratis, tidak saja untuk minum, tapi juga mandi.
Setiap pekan, air dialirkan ke bak dua kali. Bahkan jika kurang, dia segera membeli lagi pipa untuk menjangkau warga lainnya yang juga sedang dilanda krisis air.
Dia memperkirakan dua sumber air itu mampu memenuhi kebutuhan air sekitar 500 keluarga yang bermukim di enam rukun tetangga (RT).
Di setiap RT dibangun satu bak penampung. Untuk keperluan yang satu ini warga yang mengambil air di bak penampungan bakal dikenai retribusi. "Retribusi akan dimanfaatkan mendanai operasional pompa."
Berkat Heriben, kebun sayur warga yang biasanya hanya ditanami di setiap akhir musim hujan, kini mulai diolah untuk ditanami jagung dan tanaman palawija. Dulu bila musim kemarau tiba, tanah tidak bisa diolah lagi karena tidak ada air.
Kemarau memang berdampak serius bagi pemenuhan pangan dan air. Gagal tanam dan gagal panen menjadi hal yang biasa. Karena itu, menurut Heriben, satu-satunya langkah untuk menghentikan krisis air ialah membuat sumur bor.
Kondisi di Oesao berbeda dengan daerah lainnya yang belum membuat sumur bor seperti warga di Kelurahan Baubau, Kecamatan Kupang Timur. Akibatnya, untuk mengantisipasi ancaman El Nino tahun ini, warga kembali mengambil air yang debitnya sangat terbatas di sumur. Bila air sumur habis, mereka kembali mencari air minum ke kampung tetangga. Palce Amalo
Post Date : 04 Agustus 2009
|