|
Samuel Ngongo Lewu (64), sejak remaja, sering meneteskan air mata ketika menyaksikan padang sabana dan pohon-pohon alam di sekitarnya lenyap sekejap dilalap api. Api membakar sabana dan isinya akibat tindakan negatif warga setempat. Ia tak punya kuasa melarangnya. Namun, dia tidak hanya berkeluh kesah dan menyerah. Dia pun bertindak nyata dengan menanami kawasan gersang di lingkungannya. Samuel menanam berbagai jenis pohon hingga pada akhirnya membuahkan sumber air baru dari kawasan yang tadinya gersang itu, tahun 1990-an ”Pekerjaan saya hanya bertani. Tetapi, juga senang menanam pohon. Dengan menanam pohon, saya sampai memperoleh penghargaan secara nasional,” kata Samuel yang akrab disapa Ama Pata di kampungnya di We’e Tuaka, pertengahan Maret. Dia mengungkapkan hal itu dengan perasaan bangga. Namun, kebanggaan Samuel yang paling utama adalah karena usaha penghijauan yang dilakukan ternyata menghasilkan sumber air baru. Sumber air baru itu pun menjadi oase dan membebaskan warga sekitar yang selama ini kesulitan mendapatkan air bersih. Kesulitan memperoleh air bersih sudah sejak lama dialami warga. Kampung tempat Samuel tinggal—We’e Tuaka—adalah salah satu anak kampung Desa Tenggaba, Kecamatan Wewewa Tengah, Kabupaten Sumba Barat Daya (SBD) di Pulau Sumba, Nusa Tenggara Timur. Jaraknya sekitar 32 km dari Tambolaka (kota Kabupaten SBD) atau lebih kurang 22 km sebelum Waikabubak di Kabupaten Sumba Barat. Jika bepergian dari Tambolaka atau Waikabubak, jaringan jalan beraspal hotmiks hanya sampai mulut persimpangan Tenggaba. Selanjutnya, kendaraan harus menyusuri jalan beraspal tipis, berlubang-lubang, dan sempit sejauh lebih kurang 10 km hingga We’e Tuaka. Keluarga Samuel sebenarnya memiliki dua rumah. Rumah utamanya di tepi jalan negara Tambolaka-Waikabubak, tepatnya di sekitar persimpangan Tenggaba. Satu rumah lainnya terletak di We’e Tuaka yang lebih dikenal sebagai rumah kebun. Rumah kedua ini bermakna khusus mendekatkan mereka dengan lahan usaha yang biasa ditanami padi dan jagung, termasuk 2 hektar sawah tadah hujan. Sejak belasan tahun lalu, Samuel bersama keluarganya lebih sering menetap di rumah kebunnya itu. ”Kalau di rumah kebun, jelas lebih banyak waktu bekerja di ladang, sawah, atau menanam pohon. Alasan lain, karena sumber air di sekitarnya mulai mengalir sepanjang tahun sejak 1990-an,” kenang ayah delapan anak tersebut. Menariknya, sumber air di We’e Tuaka itu tidak melulu hanya menjadi andalan Samuel dan keluarganya. Mata air tersebut sekaligus menjadi andalan sebagian warga empat desa, yakni Tenggaba dan Kanili di Kecamatan Wewewa Tengah. Dua desa tetangga lainnya adalah Totok dan We’e Nada dalam wilayah Kecamatan Loura. Warga merasakan pentingnya keberadaan sumber air itu. Karena itu, mereka merasa perlu menjaganya sedemikian rupa. Bahkan, belakangan ini warga membuat bak penampung air di sumber air tersebut. Tidak serta-merta Kehadiran sumber air We’e Tuaka tentu saja bukan harta berharga yang tiba-tiba datang begitu saja. Siapa pun di Tenggaba dan juga warga lain di desa-desa sekitarnya mengakui, sumber air tersebut merupakan buah karya Samuel. Dialah orang yang sejak lama secara tekun menghijaukan kawasan gersang di sekitarnya dengan berbagai jenis pohon. Awalnya, Samuel ”bermimpi” jika sawahnya yang seluas 2 hektar di We’e Tuaka suatu ketika terus digenangi air sampai puncak kemarau. Harapannya, dia bisa mengolah lahan sawahnya berproduksi atau bisa diolah 2-3 kali setahun. Dengan demikian, dia berharap pengasilannya dari sawah pun meningkat. Untuk mewujudkan mimpinya itu, Samuel giat menanami kawasan gersang di sekitarnya dengan pohon berbagai jenis, seperti kemiri, jati, mahoni, johar, dan meranti. Tanaman lainnya yang ditanam adalah berbagai kayu lokal, seperti lapale, ketaka, nga’a, manera, kasosa, mapedu, dan kedimbil. Samuel tidak hanya menanam jenis kayu biasa, tetapi juga berbagai jenis kayu mahal, seperti gaharu dan cendana. Usaha yang ditekuni sejak tahun 1970-an itu tersebar di We’e Tuaka, We’e Walu, dan Kawe Nggala, semuanya dalam wilayah Desa Tenggaba. ”Luas kawasan penghijauan yang saya tanam seluruhnya sekitar 15 hektar, termasuk di dalamnya khusus ditanami cendana 3 hektar dan gaharu 2 hektar,” kata Samuel mencoba merinci kawasan yang diolahnya. Perjuangannya yang tidak kenal lelah dan hasilnya yang bermanfaat bagi masyarakat sekitar telah membuat Samuel berhasil mengoleksi penghargaan resmi dari pemerintah tingkat kabupaten hingga pusat. Sebut saja, penghargaan berupa Kalpataru Kategori Perintis Lingkungan yang diterimanya langsung dari Presiden Susilo Bambang Yudhoyono di Jakarta, 12 Juni 2006. Walaupun telah meraih beberapa penghargaan tersebut, terutama Kalpataru, Samuel mengaku dirinya baru menyadari jika kegiatan yang ditekuninya sejak lama bukanlah pekerjaan sia-sia, apalagi hina. Dia kini merasakan apa yang dikerjakannya sungguh luhur dan mulia. ”Sungguh, saya tidak pernah bermimpi bisa naik pesawat sampai Jakarta. Apalagi, sampai bersalaman langsung dengan Bapak Presiden di Istana Negara, Jakarta. Ternyata ini semua berkat usaha menghijaukan kawasan gersang di Tenggaba,” kenangnya. Tentu saja kebanggaan paling dalam adalah Samuel secara tidak langsung telah menjadi sumber air bagi warga empat desa di Kecamatan Wewewa Tengah dan Loura. Mimpinya yang belum terwujud adalah sawahnya yang masih tadah hujan karena sumber air We’e Tuaka muncul di bagian hilirnya.... FRANS SARONG Post Date : 03 April 2012 |