|
Pupuk kompos yang dihasilkan dari sampah organik dalam bentuk padat memang banyak. Yang jarang dijumpai orang barangkali adalah kompos cair. Padahal, seperti sifatnya, kompos cair ini lebih praktis digunakan, selain proses pembuatannya yang ternyata lebih mudah. Sampah merupakan problem yang hingga kini menjerat kota Jakarta. Jakarta Pusat, yang kelihatannya hebat, pusat pemerintahan, begitu menyangkut sampah, ternyata sami mawon dengan wilayah lain. Berpuluh-puluh tahun masyarakat yang tinggal di RW 08 Kelurahan Cempaka Baru, Jakarta Pusat, harus pasrah mencium bau busuk dari tumpukan sampah yang ditampung di sebuah lapangan di sekitar permukiman penduduk. Air lindi berwarna hitam yang dihasilkan dari tumpukan sampah menyebar ke mana-mana, menjijikkan. Belum lagi, lalat ukuran besar berwarna hijau beterbangan di mana-mana. Kalau mau lebih "horor", lihatlah dari dekat. Belatung mengerubuti tumpukan sampah menjadi pemandangan setiap hari di tempat itu. Itu dulu. Sekarang, sekitar setahun terakhir, kawasan ini benar-benar berubah menjadi bersih, bebas sampah dan tampak hijau. Setiap rumah penduduk memiliki satu tempat sampah. Halaman rumah ditanami tetumbuhan, mulai dari bunga, buah, sampai pohon peneduh. Tidak ada lagi sampah menumpuk. Lapangan yang dulunya menjadi tempat pembuangan sampah kini kembali kepada fungsi semula sebagai tempat interaksi warga. Anak-anak bisa berlarian dan bermain sepak bola di situ. Warga juga bisa mengelola sendiri sampah rumah tangganya, tanpa harus tergantung kepada petugas dari Dinas Kebersihan DKI Jakarta. Mereka bisa menghasilkan kompos cair dari sampah rumah tangga untuk dijadikan sebagai pupuk tanaman. Semua itu bisa terjadi tidak lepas dari jerih payah Sukamto Hadisuwito (57), warga RT 014 RW 08 Jalan Lumba-lumba. Dengan bekal pengetahuan yang diperolehnya ketika mengikuti pendidikan dan pelatihan yang diadakan Organization for Industrial Spiritual and Cultural Advancement (OISCA) selama dua tahun di Jepang, Sukamto menciptakan kompos cair dari sampah organik yang dihasilkan dari rumah tangga. Lelaki kelahiran Klaten, 27 November 1950 ini mulai mengolah sampah dari rumah tangganya sendiri. Keinginan mengajak masyarakat mengolah sampah rumah tangga sendiri sempat tertunda, sampai ia terpilih menjadi ketua RT, sekitar dua tahun lalu. "Waktu dipilih menjadi ketua RT, saya mengajukan satu syarat. Warga harus mau ikut serta menangani sampah. Itu saja sudah cukup bagi saya. Warga pun setuju," cerita Sukamto. Meski disetujui warga, ternyata mengubah kebiasaan membuang sampah sembarangan tidak mudah. Pada tahun pertama menjadi ketua RT, dengan susah payah dia membangun kepercayaan dan mengajak warganya peduli sampah. Ia mengefektifkan setiap pertemuan bulanan RT untuk sosialisasi bagaimana hidup bersih dan bebas sampah. Sampai akhirnya, warga mau mengubah kebiasaan lama. Bersama warga dan dibantu Unilever, sepetak tanah di pinggir lapangan dijadikan tempat pengolahan sampah dengan menggunakan sistem komposter untuk menghasilkan kompos cair. Tempat itu berhadapan langsung dengan rumah Sukamto. Kompos cair yang dihasilkan dari tempat sampah ini langsung digunakan untuk tanaman mangga yang sengaja ditanam di sekitar lapangan itu. Jerih payah Sukamto mendapat dukungan dari Lurah Cempaka Putih Suaeb Abdulgani. Pihak kelurahan berpartisipasi dengan mengadakan 250 tong sampah komposter yang dibagikan kepada warga setempat. Kompos cair Sukamto yang pernah menjadi guru ketika mengenyam pendidikan sampai semester lima di IKIP Solo ini mulai mengajarkan kepada warga membuat kompos cair. Dia juga menciptakan tong sampah komposter yang dibuatnya secara manual. Tong sampah ini dijual dengan harga Rp 115.000 per paket untuk ukuran 20 liter dan Rp 215.000 per paket (ukuran 60 liter). Bersama dengan teman-temannya di Pondok Karya Pembangunan di Cibubur, tempat dia menjadi pengajar setelah mengikuti pendidikan dari OISCA, dia menciptakan Biosca, zat cair bioaktifator yang membantu mempercepat proses pembusukan sampah sehingga menghasilkan kompos cair. Bagi dia, penggunaan pupuk cair lebih efektif. Selain bisa langsung disiram ke tanah, kompos cair bisa dicampur terlebih dulu dengan air. Pengumuman di radio Keikutsertaan Sukamto dalam pelatihan di Negeri Sakura dari tahun 1979 sampai 1981 berawal dari sebuah pengumuman di salah satu radio swasta, RPD, di Klaten, kota kelahirannya. Saat itu dia baru berhenti bekerja dari pabrik tekstil. Sukamto yang saat itu sudah menikah dan punya satu putri memberanikan diri untuk mendaftar. Dia merupakan salah satu dari tiga orang yang terbaik dipilih oleh OISCA. "Selama di Jepang, saya tidak pernah mengirim uang ke kampung karena uang saku 30.000 yen habis untuk makan dan beli buku. Istri dan anak terpaksa makan dari mertua saya," tutur Sukamto. Kini, hasil pelatihan itu telah membuahkan hasil. Yang dibutuhkan sebenarnya sekarang adalah lebih banyak Sukamto.PINGKAN ELITA DUNDUSekilas Tentang Sukamto Nama: Sukamto Hadisuwito Nama istri: Suyami Anak: Nurul Hidayati (28), Akhmad Arif (26), Zulaikhah Putri Lestari (18) Pendidikan: - SD negeri di Klaten, - SMP Negeri Sragen, - SMEA Negeri Solo, - IKIP di Solo (hanya sampai semester kelima) Post Date : 24 Maret 2007 |