Sudahkah Anda Peduli pada Sampah?

Sumber:Suara Pembaruan - 11 April 2005
Kategori:Sampah Jakarta
Kalau pertanyaan itu diajukan ke warga Jakarta dan sekitarnya, jawabnya tentu tak sama. Tetapi dari berbagai jawaban itu, semua sepakat dan setuju, hidup bersih adalah dambaan mereka. Kesamaan wawasan inilah yang seharusnya bisa menyatukan warga dan pejabat kota untuk menciptakan kota yang bersih dan sehat. Tetapi apa yang terjadi kini?

Saya sangat sedih melihat bangsa ini. Kebersamaan sudah tidak terlihat lagi. Kesantunan sudah jauh tercabut dari akar budaya kita," ujar Dr Richard Mengko, Staf Ahli Menristek, kepada Pembaruan, Jumat (8/4) di Jakarta. Ia dimintai komentarnya tentang maraknya protes warga atas kehadiran Tempat Pembuangan Sampah Akhir (TPA) Bantargebang, Bekasi.

Keprihatinan Mengko memang cukup beralasan. Setiap perbedaan yang terjadi dibiarkan menganga lebar, bahkan ada yang sengaja terus melebar-lebarkannya. Bukan malah disikapi sebagai kekayaan wacana berpikir sehingga perbedaan itu bisa diakomodasi menjadi jalan tengah yang saling menguntungkan.

Begitu juga dalam menangani soal sampah. Mulai dari si pembuang sampah di tingkat rumah tangga, petugas kebersihan, dan pejabat kota, masing-masing punya arogansi.

Ibarat sebuah orkestra, semua memainkan alat musiknya sekencang-kencangnya, tanpa mau peduli lagi mengikuti gerakan dari sang dirijen. Suaranya memekakkan telinga, jauh dari alunan musik yang menghibur.

Semboyan "Bersama Kita Bisa" yang selalu diusung Soesilo Bambang Yudhoyono (SBY) sebelum menjadi Presiden RI, sejatinya bisa menjadi obat mujarab untuk mengatasi berbagai persoalan bangsa. Sayangnya, kata-kata itu baru sebatas slogan.

Sebagai presiden, SBY sebenarnya punya otoritas lebih leluasa agar simbol mulia itu benar-benar dirasakan bangsa. Tetapi entah kenapa, slogan itu kian meredup di saat masyarakat menaruh kepercayaan penuh kepadanya.

Kapan Bangkit?

Kalau begini terus kapan Indonesia mampu bangkit dari keterpurukan multi dimensi? "Jadi, kalau bangsa ini mau terlepas dari berbagai lilitan itu maka mulailah dari memelihara dan menjaga kebersamaan," saran Mengko yang juga menjadi dosen di Institut Teknologi Bandung (ITB).

Kata-kata itu memang tampak sepele dan ringan. Namun, sangat bertele-tele dan berat untuk mewujudkannya. Betapa tidak, hampir setiap kebijakan yang diambil pemerintah -- betapapun bagus isinya --selalu disertai dengan aneka protes.

Cercaan dan makian bertebaran di mana-mana. Bahkan, terkadang sikap anarkis pun dipertontonkan oleh sekelompok warga untuk memprotes kebijakan tersebut.

Pemerintah kota dan daerah pun sama saja. Sebelum kebijakan diterapkan, tidak dilandasi oleh pemikiran yang kuat dan matang. Banyak pemikir-pemikir andal dari berbagai disiplin ilmu tak dilibatkan.

Kondisi itu diperparah lagi dengan tak ada sosialisasi dan komunikasi yang intensif antara pejabat dan warganya. Di tingkat aparat pelaksana pun tak jauh beda. Mereka bersikap harga mati, tinggal menjalankan perintah atasannya.

Semua fenomena itu pada akhirnya harus ditebus dengan sangat mahal. Bangunan dan peralatan TPA yang dibangun susah payah dengan duit rakyat yang kian melarat tiba-tiba hancur seketika oleh emosi sesaat.

Padahal, tindakan anarkis semacam itu tak ada satu pun pihak yang diuntungkan, semua sama-sama rugi. Akankah sikap arogansi seperti itu terus dipelihara? Lalu dari mana kita memulainya?

"Kembalikan ke akar budaya masyarakat. Tanpa hal itu akan sulit melakukan berbagai upaya dalam memerangi sampah," kata Letkol Kav Ahmad Saefudin, Dandim Kabupaten Bandung, kepada Pembaruan, baru-baru ini.

Budaya yang dimaksud, kata Ahmad, yang pernah menjadi komandan dalam mengevakuasi korban longsoran sampah di TPA Leuwigajah, Bandung, adalah semangat kebersamaan yang sebenarnya sudah dimiliki bangsa Indonesia jauh-jauh hari. Menangani sampah haruslah terintegrasi dan melibatkan beberapa pemerintah daerah atau kota dan semua elemen masyarakat.

Perjuangan kolektif inilah yang kini terasa semakin redup. Kalau saja desain kebersamaan itu sudah terbangun, kebijakan apa pun yang akan dicetuskan peme-rintah kota lebih mudah dilakukan dan mendapat du-kungan luas dari warganya.

Sebaliknya, jika tak ada kebersamaan, apa pun program yang bakal diterapkan -sekalipun bagus dan punya manfaat tinggi- akan sulit mendapat respon positif.

Berawal dari sinilah, inovasi teknologi akan lebih mudah diterima oleh masyarakat.

Bermutu Tinggi

Untuk sampah kertas misalnya, bisa didaur ulang menjadi kertas bermutu tinggi dengan harga jual yang tinggi pula. Caranya pun gampang. Sampah kertas dihancurkan di dalam air, bisa dengan manual atau mesin penghancur (blender).

Setelah diperas airnya, bubur kertas itu tinggal dijemur sinar matahari. Dengan sedikit tambahan lem dan pewarna, hanya dalam sekejap sudah bisa menjadi jenis kertas yang punya tekstur unik dan alami.

Begitu pula dengan sampah organik yang berupa antara lain sisa-sisa makanan, sayuran, buah-buahan, dan daun. Sampah-sampah tersebut cukup ditumpuk dan disiram air tiap hari.

Dalam beberapa minggu jadilah ia pupuk kompos yang siap dijual ke pasar. Pertanian masa kini cenderung menggunakan pupuk alam karena lebih menyehatkan tubuh manusia ketimbang pupuk kimiawi.

Di Cina, sampah organik malah sudah bisa diubah menjadi listrik. Listrik tersebut dihasilkan dari berputarnya turbin. Turbin bisa berputar karena adanya gas yang dikeluarkan sampah-sampah tersebut.

Untuk mengolah sampah plastik juga tidak sulit. Industri-industri skala rumah tangga sudah mampu mendaur ulang menjadi bijih plastik. Bijih-bijih tersebut lalu dijual ke industri untuk diubah menjadi aneka produk berbahan baku bijih tersebut.

Barang-barang pecah belah yang sudah dibuang juga bisa dimanfaatkan lagi untuk bahan baku aneka produk sejenis. Pengolahannya bisa dengan mesin-mesin berteknologi tinggi. Di sinilah, investor lebih banyak berperan.

Beragam inovasi teknologi yang telah dikemukakan itu dalam beberapa kasus sudah diterapkan sekelompok warga, tentu dalam skala terbatas. Karena itu untuk meluaskan model-model pendaur ulang aneka sampah itu, sekali lagi, butuh kebersa-maan.

Kota Kitakyusu, Jepang, layak dicontoh. Di sinilah kebersamaan terjalin mulai dari warga, petugas kebersihan, dan pejabat kotanya (baca juga Belajarlah Sampi ke Kitakyusu).

Mereka dengan disiplin tinggi bahu-membahu me-merangi sampah. Hasilnya, jadilah kota tersebut bersih, cantik, dan asri. Padahal, sebelumnya wajah kota tersebut tampak kotor dan jorok, tak jauh dari penampilan Jakarta masa kini. *

Pembaruan/Budiman

Post Date : 11 April 2005