|
Sekayu, Kompas - Permukiman ribuan warga Kabupaten Musi Banyuasin, Sumatera Selatan, sudah satu bulan ini digenangi air. Genangan yang terjadi akibat meluapnya Sungai Musi juga mengakibatkan para warga tidak dapat lagi mengolah lahan pertanian. Seiring datangnya musim banjir rutin tahunan tersebut, sebagian warga pun kembali ke pekerjaan mereka sebagai pencari ikan. Menurut pengamatan pada Sabtu dan Minggu (9/1), pekarangan rumah warga di sejumlah desa di Kecamatan Lais, Sekayu, dan Babat Toman digenangi air. Banjir akibat meluapnya Sungai Musi itu tidak sampai memasuki rumah karena tempat tinggal warga umumnya berupa rumah panggung. Untuk memasuki rumah, warga umumnya membuat jembatan kayu dari teras atau pintu depan hingga ke jalan atau lahan yang tidak tergenang. Sejumlah warga yang ditemui menyebutkan, dalam kurun waktu sebulan ini Sungai Musi meluap, permukaan air kadang naik kadang turun. Namun, tetap saja air selalu menggenangi bagian bawah rumah panggung dan pekarangan rumah mereka. Ketinggian air di sebagian rumah warga bahkan ada yang telah sejajar dengan lantai rumah panggung. "Tadi malam air naik lagi. Lihat sendiri, air sudah hampir masuk ke rumah. Kasur untuk tidur terpaksa ditinggikan dengan menggunakan dipan dari papan," kata Ny Saadah, warga Desa Lumpatan, Kecamatan Sekayu, sekitar 118 kilometer barat laut Palembang, ketika ditemui pada Minggu petang. Genangan air di sekitar rumahnya sudah setinggi lantai di bagian pintu depan. Kondisi tersebut mengakibatkan bagian dalam rumah Saadah terasa lembab. Sementara untuk masuk dan keluar rumah, Saadah dan keluarganya telah membangun jembatan kecil dari kayu, yang menghubungkan pintu rumah ke jalan yang tidak tergenang. Jembatan kecil terbuat dari papan umumnya dibuat warga di desa-desa yang kebanjiran, seperti di Desa Rantau Panjang, Kecamatan Babat Toman; Kelurahan Soak Baru, Desa Lumpatan, dan Kelurahan Sukarami, Kecamatan Sekayu; serta Desa Bailangu dan Desa Epil, Kecamatan Lais. Selain jembatan kayu, warga lain umumnya menggunakan perahu-perahu kayu kecil untuk melakukan kegiatan sehari- hari. Pada hari-hari pasang Sungai Musi ini, hilir mudik perahu kecil di sekitar permukiman warga menjadi pemandangan tersendiri. Warga umumnya menggunakan perahu tersebut untuk mengangkut berbagai jenis barang, termasuk kebutuhan sehari-hari. "Kalau sepanjang hari basah- basahan di dalam air, kami bisa cepat terserang penyakit. Kami sudah terbiasa kebanjiran berbulan-bulan saat musim hujan tiba, dan sampai sekarang belum ada upaya penanggulangan banjir rutin ini," ucap seorang warga Desa Epil. Ribuan warga di sejumlah desa di Musi Banyuasin sendiri merasa banjir di permukiman mereka merupakan bagian dari hidup mereka setiap tahun, dan itu sudah berlangsung turun- temurun. Oleh karena itu, warga telah menyiapkan diri menghadapi luapan Sungai Musi, baik dengan membangun rumah panggung, membuat perahu kecil, maupun membangun jembatan-jembatan kecil ke rumah. Pada musim hujan akhir tahun 2003 hingga awal tahun 2004, banjir akibat meluapnya Sungai Musi juga menerjang puluhan desa di Musi Banyuasin. Saat itu sebanyak 33 desa di sejumlah kecamatan terendam air. Banjir tahun lalu yang lebih besar dari saat ini menyebabkan hancurnya lahan pertanian. Banjir saat itu juga mengakibatkan kerusakan di jalan provinsi yang menghubungkan antara Sekayu hingga Muara Beliti, Kabupaten Musi Rawas. Data tentang banyaknya desa yang kebanjiran tahun ini, hingga Senin belum diketahui pasti. Kepala Bagian Hubungan Masyarakat Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Musi Banyuasin Indita Purnama menyatakan belum memiliki data tentang jumlah desa yang tergenang akibat banjir rutin tahunan tersebut. Mata pencaharian Meskipun telah dianggap biasa terjadi setiap musim hujan tiba, menurut Muhammad (65), seorang warga Soak Baru, menyatakan, banjir rutin tersebut makin menjadi sejak sekitar 30 tahun ini. Genangan air berlangsung lebih lama dibandingkan ketika dia masih muda dulu sehingga bagi petani waktu mengolah ladang pun makin sempit. "Sejak hutan di bagian hulu Sungai Musi makin banyak dibabat dan kini berkurang banyak, banjir berlangsung semakin lama dan luas. Akibatnya, kami kehilangan pula mata pencaharian. Ladang hanya bisa kami oleh selama beberapa bulan, dan sekitar lima bulan sampai enam bulan kami terpaksa hanya bisa mencari ikan di rawa, saluran air, serta sungai sebagai mata pencaharian. Mencari ikan seperti sudah menjadi mata pencaharian pokok," ucap Muhammad. Akan tetapi, mencari ikan yang banyak dilakukan warga Musi Banyuasin saat musim hujan tidaklah selalu memberi keuntungan bagi sebagian besar dari mereka. Endang, seorang warga Desa Bailangu, Lais, menyatakan bahwa penghasilan dari mencari ikan tidaklah banyak. "Kalau musim hujan rezeki susah. Meskipun kami mendapat uang dari ikan yang dijual, hasilnya tidak seberapa. Ikan seluang yang saya dapat ini kalau dijual ke tengkulak yang datang, harganya cuma Rp 1.500 per kilogram. Dalam satu hari paling-paling saya mendapat lima kilogram ikan seluang," katanya. Ladang tempat Endang dan ribuan petani lain di Musi Banyuasin, pada musim hujan dan Musi meluap, umumnya kebanjiran. Mereka pun terpaksa menunggu air di ladang mengering agar dapat mengolah ladang untuk menanam padi atau palawija. "Bulan lima nanti mungkin kami bisa menanam palawija, seperti kacang panjang atau cabe. Itu pun harus dilakukan segera dan dapat dipanen bulan Agustus. Kalau terlambat, tanaman bisa keburu kebanjiran saat musim hujan tahun depan keburu tiba," ucap Endang. Pada saat banjir tahun ini mulai menerjang bulan Desember 2004, sebagian tanaman penduduk juga terkena akibatnya. Sebagian kebun jeruk dan pisang, misalnya, daun-daunnya mulai menguning. Saat ini kebun-kebun kacang panjang yang terendam air, seperti yang terlihat di di Kelurahan Sukarami dan Desa Rantau Panjang, umumnya telah mati serta daun dan batangnya telah mengering.(MUL) Post Date : 11 Januari 2005 |