|
Suara dari kampung adalah suara kehidupan. Suara-suara itu senantiasa berebut ruang untuk didengarkan. Namun, ruang publik selalu disempitkan dan riwayat sehari-hari seperti basi di ruang-ruang perundingan, di mana kehidupan menjadi pertaruhan. Waktu saya kecil, Pulau Tebua Tarawa masih penuh ditumbuhi pohon kelapa. Tapi, kini kelapa telah hilang dan pulau itu telah terendam air laut, kata Fiu Alisara, wakil dari masyarakat Kepulauan Samoa, Pasifik Pulau-pulau di Pasifik rata-rata tingginya hanya sekitar dua meter dari permukaan laut (dpl), misalnya Tuvalu yang berketinggian 1,83 meter dpl. Sementara itu, badai makin sering terjadi dengan ketinggian sering kali lebih dari dua meter. Pulau-pulau kami mulai tenggelam. Air tanah tercampur air asin, terumbu karang tempat kami mencari ikan telah memutih dan mati. Sekitar 178.000 penduduk di Samoa kini terancam hidupnya. Apakah ini adil, sementara yang mengeluarkan emisi adalah negara-negara maju, yang tak mengalami dampak separah kami? Kami memiliki hak yang sama untuk hidup dengan warga negara mana pun di muka Bumi, kata Fiu. Fiu mengeluhkan pemerintahnya, yang hanya melihat ancaman itu dalam kerangka perdagangan karbon. Tak ada tindakan berarti, tetapi pemerintah berlomba-lomba membuat program baru untuk meraih dana, kata dia. Halaman rumah Suara Fiu terdengar di antara gerimis yang membasahi gubuk bambu beratap rumbia di Kampung Forum Masyarakat Sipil (CSF). Lokasinya tak jauh, hanya sekitar 10 menit jalan kaki dari The Westin Resort di Nusa Dua, tempat para juru runding dari berbagai negara mulai bersidang dalam konferensi tentang perubahan iklim. Namun, suasananya sungguh berbeda. Jika di The Westin Resort dibutuhkan pendingin berkapasitas 5 PK setiap 100 meter dari 5.000 meter luas area konferensi, di Kampung CSF pembicaraan berlangsung di ruang terbuka. Panas dan lembab. Namun, tempat itu merupakan oase bagi kelompok masyarakat sipil yang tak memiliki akses ke ruang sidang. Di tempat itu mereka berbagi pengalaman dengan saudara-saudaranya dari negara lain yang mengalami dampak kebijakan pembangunan yang diperparah oleh perubahan iklim. Dampak itu sudah sampai di depan halaman rumah mereka. Masyarakat kami selama beribu-ribu tahun bisa mengelola hutan. Tetapi, dengan masuknya perusahaan-perusahaan besar yang membawa teknologi maju, hutan kami habis hanya dalam 50 tahun, kata Alfred Ilenre dari Delta Niger, Nigeria. Alfred mengisahkan masyarakatnya yang kian terpuruk dalam kemiskinan akut. Hutan kami dihancurkan untuk menopang gaya hidup dari sedikit orang, tetapi ketika iklim berubah, kenapa kami sekarang yang disuruh menanggungnya? kata Alfred. Alfred juga berbicara tentang gaya hidup modern yang boros bahan bakar dan keserakahan perusahaan-perusahaan besar dalam mengekstraksi sumber daya alam di kampungnya. Kami diajarkan untuk mengambil sedikit mungkin dari alam. Tapi, gaya hidup modern terlalu serakah dan mau menghabiskan apa pun yang ada dalam perut Bumi, kata Alfred. Diskriminatif Dampak perubahan iklim memang sangat diskriminatif. Laporan Pembangunan Manusia (HDR) 2007 mencatat, jejak kaki (baca: emisi CO2 yang dihasilkan dari gaya hidup) penduduk Inggris yang sekitar 60 juta jauh lebih dalam di atmosfer dibandingkan dengan jejak kaki penduduk Mesir, Nigeria, Pakistan, dan Vietnam, yang seluruhnya berjumlah 472 juta orang. Jejak kaki di atmosfer dari 19 juta orang di New York jauh lebih dalam dibandingkan dengan jejak kaki 766 juta orang di 50 negara kurang berkembang. Namun, orang miskin dan termiskin di negara berkembang yang harus menanggung dampaknya. Felicita dari Meksiko memaparkan persekutuan pemerintah negaranya dengan perusahaan-perusahaan besar dalam mengekstraksi hutan dan lingkungan. Orang-orang dari negara maju dan sejumlah pengusaha lokal datang ke kampung, menyulap hutan menjadi ladang jagung dan tebu, yang sebagian besar digunakan oleh industri biofuel. Mereka terusir dari kampung sendiri. Sementara itu, iklim semakin sering mengirimkan banjir dan badai. Sedikit orang yang ingin menikmati kemewahan dengan menghancurkan bumi. Tapi, orang-orang asli seperti kami yang terkena dampak paling besar. Ini ketidakadilan yang nyata, kata dia. Kisah serupa disampaikan wakil masyarakat lokal dari Indonesia. Mohammad Erwanik dari Perigi Talang Nangkan, Ogan Komering Hilir, Sumatera Selatan, memaparkan ekstraksi perkebunan sawit yang telah membuat masyarakatnya kian terpinggirkan. Perkebunan kelapa sawit telah menutup akses masyarakat kami untuk mencari penghidupan dari hutan, kata Erwanik. Alex Sanggenafa dari Seruai, Papua, mengisahkan tanah-tanah di Papua yang dikapling-kapling oleh perusahaan tambang dan pengusaha HPH. Ini membuat rakyat Papua miskin di tanahnya sendiri yang kaya. Semut pun bisa menggigit ketika diinjak gajah. Elliza Kiesya, Kepala Adat (Kewang) dari Kepulauan Haruku, Maluku Utara, menceritakan perlawanan masyarakatnya terhadap perusahaan tambang yang mengeksplorasi kampungnya sejak 1999. Pulau kami begitu kecil, apakah harus ditambang? Mau dipindahkan ke mana warga kami? gugat Elliza. Suara dari rumah bambu, suara kehidupan, menguap diterbangkan angin sebelum menyentuh meja perundingan. Selalu demikian berulang.... Ahmad Arif dan Maria Hartiningsih Post Date : 05 Desember 2007 |