Seorang ibu rumah tangga berhasil memberdayakan warga desanya berkat air bersih. Jumlah anak putus sekolah turun drastis. Mendobrak tradisi yang ada.
"Saya takut sekali pada saat itu. Saya bisa dikutuk leluhur!" kata Sisilia Mbimbus, 41 tahun. Apa yang dilakukan Sisilia sehingga bisa membuat para leluhur murka? Sisilia dapat dinilai "berdosa" melanggar adat istiadat kalau berani-berani menjadi Ketua Organisasi Pengelola Air Minum (OPA).
Maklum, adat istiadat Dusun Pasat, Desa Pong Majok, Kecamatan Lembor, Kabupaten Manggarai Barat, Nusa Tenggara Timur, tempat tinggal Sisilia, melarang kaum wanita ikut mengurus dusun. Segala sesuatunya, termasuk jabatan Ketua OPA, biasanya diemban kaum lelaki. Itu pun tidak sembarang lelaki. Kalau bukan seorang tua gendang (kepala suku), haruslah seorang tua golo (kepala pemerintahan, misalnya minimal ketua RW.
Awalnya, Sisilia segera menolak jabatan itu. Tetapi ternyata justru para tetua dusun sendiri yang mendesaknya. Karena menyangkut kasus istimewa bin khusus, suatu upacara adat khusus diadakan di rumah gendang. "Ini upacara adat untuk permisi pada leluhur agar tidak dikutuk," kata Sisilia.
Tak pelak lagi, Sisilia memang warga istimewa bagi Dusun Pasat. Ia menjadi motor penggerak bagi pemberdayaan warga desa. Betapa tidak, Dusun Pasat boleh dibilang kurang beruntung dibandingkan dengan desa-desa sekitarnya. Kondisi tanahnya kering kerontang. Warga Pasat harus berjalan beberapa kilometer untuk mandi, mencuci, atau untuk urusan kakus. Untuk pertanian, warga desa hanya mengandalkan perkebunan jagung.
Padahal, desa-desa lainnya di Kecamatan Lembor terkenal sebagai lumbung padi untuk kawasan Manggarai Barat. Kemiskinan pun menyergap Dusun Pasat. Warganya lebih banyak menjadi buruh tani di desa tetangga. Tak hanya miskin, Dusun Pasat pun seringkali terserang wabah penyakit karena lingkungan yang tak bersih.
Kondisi inilah yang membuat Sisilia sangat prihatin. Tetapi, apa yang dapat dilakukan seorang ibu rumah tangga yang hanya sempat mengecap pendidikan kelas II sekolah dasar? Sisilia ternyata memulai perjuangannya dari hal yang tampaknya sepele saja: menyediakan air bersih bagi warga Pasat.
Setelah meminta bantuan di sana-sini, Sisilia akhirnya mendapat uluran tangan dari Yakines, sebuah lembaga swadaya masyarakat, pada 2005. Setahun kemudian, bersama warga Pasat, Yakines membangun instalasi air bersih yang mata airnya berasal dari desa tetangga. Pipa air bersih yang dibangun mencapai panjang 4 kilometer.
Warga Pasat menghimpun dana mencapai Rp 4 juta ketika itu, untuk membeli air dari desa tetangga. "Ibu Sisilia lumayan berhasil memimpin warga desa membangun dan memelihara instalasi pengelolaan air bersih," kata Gabriela Uran dari Yakines, yang selalu mendampingi warga.
Begitu air bersih mengalir ke Pasat, kehidupan warga pun perlahan mulai berubah. Yang paling menggembirakan, anak-anak warga Pasat mulai rajin pergi ke sekolah. Jumlah anak yang putus sekolah berkurang drastis. "Sejak adanya pengelolaan air bersih, angka drop out sekolah lebih sedikit," tutur Sisilia.
Lho, apa hubungannya dengan air bersih? Ternyata banyak anak yang akhirnya putus sekolah karena harus "berjuang" mandi pagi lebih dulu. Betapa tidak, mereka terpaksa berjalan kaki 2 kilometer untuk mendapatkan air bersih. Waktu dan tenaga banyak tersita dan akhirnya mereka malas bersekolah.
"Sekarang setiap pagi saya memukul gong agar semua anak mandi dan pergi ke sekolah. Sudah banyak anak Pasat yang juga melanjutkan pendidikan yang lebih tinggi," kata Sisilia sambil tersenyum. Tak hanya itu. Sisilia juga mengadakan gebrakan bersih lingkungan.
Selama ini, warga Pasat tak punya jamban keluarga karena tak ada air. Jika punya hajat, mereka membuangnya di alam bebas. Kini, setelah air bersih mengalir, 65 kepala keluarga diwajibkan membuat jamban. "Demi kesehatan, saya wajibkan masyarakat membuat jamban. Puji syukur, sejak 2007 hingga sekarang, semua warga Pasat sudah memanfaatkan jamban," ujar Sisilia.
Program lainnya, Sisilia juga mendorong warga bergotong royong membangun dan memperbaiki rumah yang dianggap jauh dari syarat kesehatan. "Kebanyakan pria Pasat adalah tukang batu dan tukang kayu. Selama ini hanya bekerja membangun rumah orang lain untuk upah. Jadi, mereka bergotong royong membangun rumah warga yang layak huni dan sehat," katanya.
Selain untuk bersih-bersih, Sisilia juga mulai mengarahkan warganya untuk bercocok tanam. "Daripada tiap tahun banyak warga yang menjadi buruh panen di desa tetangga, lebih baik mandiri, bisa belanja dan beli beras. Ini akan lebih terhormat," Sisilia menambahkan. Kini banyak hasil sayuran, terutama kacang panjang, di Ruteng dan Labuhan Bajo di kabupaten yang berasal dari Pasat.
Untuk menjaga kesinambungan jaringan air bersih itu, Sisilia minta warganya beriuran Rp 2.000 per keluarga. Iuran ini langsung dipegang Bendahara OPA yang diawasi langsung oleh tua gendang. Setiap dua bulan, selalu dicek jumlah pengeluaran dan saldonya. "Dana itu utamanya untuk biaya pemeliharaan jaringan pipa air bersih. Selain itu, juga dapat dipinjamkan kepada anggota untuk membeli benang atau kain tenun. Hasilnya dijual ke pasar," kata Sisilia.
Karena berbagai prestasi itulah, istri Thomas Langgut ini terpilih lagi menjadi Ketua OPA untuk tahun ini. "Saya dipilih lagi secara aklamasi. Dan saya menerimanya dengan lapang dada. Namun tetap didahului dengan upacara adat pada leluhur di rumah gendang," katanya.
Upacara itu dilakukan di rumah gendang. Seekor babi disembelih untuk minta restu leluhur. Seperti biasa, para tetua adat sepenuhnya memberikan dukungan. "Dusun Pasat mengalami kemajuan pesat di tangan Sisilia," kata Hendrikus Rubin, Kepala Desa Pong Majok.
Tua Gendang, Darius Gaur, juga menyatakan dukungannya. "Sisilia adalah seorang srikandi yang memecahkan mitos. Menjadi seorang pemimpin di kampung memang melangkahi kaum pria. Dari sisi adat memang dilarang. Tetapi sudah kami lakukan upacara adat, permisi pada leluhur," tutur Darius.
Tak pelak lagi, Sisilia adalah srikandi yang memang harus disegani, bahkan oleh pria terkuat mana pun. Nur Hidayat, dan Antonius Un Taolin (Flores)
Post Date : 21 April 2010
|