Solusi Tuntas Mengolah Sampah

Sumber:Pikiran Rakyat - 22 Desember 2005
Kategori:Sampah Luar Jakarta
JENIS dan jumlah sampah kota di Indonesia sangat tipikal, didominasi oleh jenis sampah organik dalam jumlah yang cukup besar. Diperkirakan dalam dua dekade ini komposisi tersebut masih akan berkisar pada persentase 60-75% sampah organik dengan timbunan sampah 0,50-0,67 kg/orang/hari dan kepadatan 200 kg/m3. Hal ini terjadi karena pola hidup dan kehidupan sehari-hari masyarakat kita masih akan tetap berbasis pada produk dan kegiatan pertanian. Justru kenyataan inilah yang seharusnya dijadikan antisipasi strategi pengolahan sampah secara tuntas di Indonesia baik di pedesaan maupun di perkotaan.

Kebanyakan pilihan teknik olah sampah yang diperbincangkan selama ini tanpa mempertimbangkan perbedaan sifat alam dan budaya masyarakat setempat asal teknik-teknik tersebut dikembangkan. Kenyataan menunjukkan, hampir semua teknik pengolahan sampah yang diterapkan tidak diapresiasi dengan baik oleh rakyat maupun pemerintahan karena dianggap tidak menjawab tantangan permasalahan yang muncul atau tidak sesuai dengan kenyataan yang ada di Indonesia. Namun sayang, upaya mencari kembali pemecahannya tidak pernah dilakukan secara terbuka dengan melibatkan semua pihak yang terkait, seolah-olah masalah itu hanya sekadar tugas PD atau Dinas Kebersihan. Kenyataan yang berlarut-larut inilah yang kemudian membangun budaya tidak peduli terhadap sampah, yang akhirnya rakyat dan pemerintahan kita tidak berdaya lagi menghadapi permasalahan sampahnya.

Ambil contoh pilihan teknis pengolahan sampah seperti sanitary landfill yang selalu saja akhirnya hanya menjadi sekadar open dumping di mana sampah hanya dikumpulkan - diangkut - dibuang tidak diapa-apakan lagi, kejadian seperti ini masih saja terus berulang seperti tidak pernah mau berubah. Teknik ini seringkali dianggap tidak sesuai dengan kenyataan khas alam kita yang bercurah hujan banyak dan bertanah asal rempah gunung berapi yang mudah luruh. Namun yang paling dirasakan tetapi tidak diungkapkan, tampaknya semua pihak merasa sangat sayang mengalokasikan luas lahan atau ongkos yang dianggap mahal hanya untuk mengolah sampah.

Demikianlah jadinya kalau pemecahan permasalahan sampah kota hanya dipandang sebagai masalah sektoral saja atau sekadar menekan mata anggarannya. Sasaran pencapaian layanan belum menjadi komitmen utama. Sangat kebetulan masalah-masalah lainnya pun ditangani secara sektoral juga sehingga pendekatan yang tidak sistematik, tidak menyeluruh, dan tidak tuntas untuk penanganan sampah tidak pernah dipermasalahkan.

Secara kronologis keilmuan, kesadaran tentang cara pandang terhadap lingkungan terjadi pada akhir dekade tahun 1960-an karena berkembangnya metode pendekatan sistem pada awal dekade tersebut. Para pakar sadar bahwa masalah lingkungan harus dihadapi sebagai permasalahan sistem bukan sebagai masalah di luar sistem, bukan dipelajari sebagai dampak terhadap lingkungannya, namun terhadap sistem secara keseluruhan. Istilah keterkaitan ekosistem yang akan menjelaskan duduk permasalahan sampah dalam keutuhan sistem merupakan langkah awal yang harus dilakukan sebelum menetapkan teknik pengolahan yang akan diberdayakan dan dibudayakan.

Lebih lanjut pemahaman di atas didukung oleh munculnya kesadaran akan keterbatasan sumber daya dalam akibat terjadinya krisis minyak dunia pada pertengahan dekade tahun 1970-an. Penanganan yang berkaitan dengan sumber daya alam tidak dapat diukur sebatas pertambahan nilainya saja namun harus mampu membangun manfaat yang relevan dan berkesinambungan. Keterkaitan ekosistem dalam arti manfaat inilah kemudian yang harus dicari pada setiap rancangan pemecahan permasalahan lingkungan seperti masalah sampah, penggalian bahan tambang, penebangan pohon, dan hilangnya sumber daya air sehingga tidak usah heran bila ada pemecahan permasalahan secara tuntas justru terjadi pada solusi yang diambil di luar sektor garapan bukan pada sektor permasalahannya, seperti kalau sungai sakit yang harus disembuhkan adalah hutannya dulu bukan dikutak-katik sungainya.

Cara pandang di atas tentunya berlaku pula dalam sektor pertanian dan sektor persampahan. Cara pandang pertanian yang telah berubah untuk lebih memfungsikan tanah sebagai pabrik alamiah yang dapat memproduksi nutrisi sendiri bagi tanaman akan mendorong kita untuk mampu melengkapkan komponen-komponen pabrik alamiah ini dalam tanah. Struktur tanah sebagai bioreaktor harus dibangun agar kontak air dan udara di dalam tanah dapat terjadi dan mikroorganisme yang hidup di antaranya dapat menjadi para pekerja alamiah yang paling produktif. Ternyata komponen utama pabrik alamiah ini adalah kompos, yaitu biomassa yang telah diubah menjadi bentuk dan unsur yang sangat diperlukan untuk membentuk struktur tanah dan mengondisikan kerja mikroba di dalam tanah.

Dengan demikian, teknik pertanian yang sangat perlu dikuasai para petani dan harus didukung oleh pemerintahan adalah teknik pengomposan. Petani harus dapat mengembalikan kompos ke dalam tanah garapannya sesuai dengan banyaknya produk pertanian yang dipanen dan dijual dari lahan tersebut. Kegiatan tersebut haus dapat membangun kembali siklus biomassa yang paling alamiah dari unsur hara dalam tanah, menjadi tanaman dan produk tanaman, lalu menjadi sampah biomassa, dan menjadi unsur hara lagi di dalam tanah sehingga olah tanah yang diperlukan adalah menjaga agar fungsi tanah sebagai pabrik alam dapat berlangsung sebagaimana mestinya.

Sampah kota adalah konsentrasi biomassa yang terutama berasal dari produk pertanian juga. Bila bahan tersebut dapat terpisah dengan baik sebagai sampah hayati yang bersih dari bahan plastik, gelas, kaleng dan bahan anorganik lainnya, maka bahan ini sudah akan merupakan bahan utama pembuatan kompos yang sangat diperlukan lahan pertanian. Para petani atau para pengompos yang akan membantu petani akan serta-merta mengambil bahan ini untuk dikomposkan di lahan pertaniannya bila mereka benar-benar mengetahui dan menikmati keuntungan yang dapat diperoleh dari hadirnya kembali siklus biomassa alamiah di lahan pertaniannya, baik di sawah maupun di kebun. Pemerintahan kota tinggal mampu membiasakan penduduknya untuk dapat memisahkan sampah secara saksama menjadi sampah organik bakal kompos dan sampah non-organik bakal bahan daur ulang di rumahnya masing-masing.

Kemudian dikumpulkan di tempat-tempat pengumpulan sementara (TPS) yang berbeda pula, sehingga ada TPS khusus sampah organik untuk bahan kompos dan TPS khusus sampah non-organik bakal bahan daur ulang dengan perbandingan 4:1 sesuai dengan jumlah dan komposisi sampah di wilayah masing-masing. Di TPS khusus sampah bakal kompos dapat ditempatkan mesin perajang sampah sehingga akan lebih memudahkan pengangkutan sampah lebih lanjut ke lahan pertanian. Sehingga petani atau pengompos yang sudah gandrung biomassa untuk bahan komposnya akan serta-merta mengambil sampah organik dari TPS organik, terutama bagi daerah pertanian di seputar kota.

Lahan pertanian dan sawah di seputar Kota Bandung misalnya memiliki luasan yang sangat berarti dan layak dipertahankan keberadaannya karena memang sesuai dengan karakteristik alam serta budaya setempat, dan yang lebih penting lagi karena Kota Bandung untuk kepentingan ekosistem dan iklim mikronya akan memerlukan agar lahan ini tetap sebagai sawah atau lahan pertanian. Kalau saja satu hektare lahan pertanian atau sawah memerlukan tambahan biomassa sebanyak 10 ton untuk setiap musim tanamnya di luar biomassa yang dihasilkannya sendiri seperti sekam dan jerami, maka sampah kota yang dapat diserap adalah setara 200 kg sampah organik setiap harinya. Berarti timbunan sampah organik Kota Bandung 3.000 ton/hari cukup diserap oleh luas sawah 5.000 ha di seputar Bandung.

Olah sawah dengan paradigma baru pertanian seperti dijelaskan di atas akan menggunakan kompos yang memadai untuk membuat struktur tanah menjadi lebih gembur sehingga pasokan udara ke dalam tanah menjadi lebih baik, mendorong mekanisme siklus organisme dalam tanah lebih kaya, menjamin pasokan nutrisi dan pengendalian hama tanaman yang lebih baik, serta penggunaan air pun menjadi sangat hemat karena tidak berlebihan. Produksi padinya dapat mencapai 12-14 ton per hektare atau 2-3 kali lebih banyak dari biasanya, dengan biaya operasi yang jauh lebih ringan serta harga dan mutu padi yang dihasilkan lebih tinggi. Dengan demikian bertani secara organik dengan menggunakan kompos sebagai bahan utama olah lahan bukan lagi sekadar pilihan, namun merupakan keharusan yang kalau dilaksanakan bukan saja meningkatkan nilai dari produksi pertanian, namun sekaligus membuat kota mampu menangani masalah sampahnya.

Demikianlah bahasan di atas dimaksudkan untuk dapat memberikan gambaran bahwa sebenarnya masalah pengolahan sampah kota dapat dirancang secara tuntas dengan sepenuhnya memperhatikan kriteria keterkaitan ekosistem dan keterkaitan manfaat, yang mampu menjamin kesinambungan unjuk kerja lahan pertanian dan kualitas kebersihan kota yang dapat diandalkan. Langkah segera yang harus dilakukan adalah mengubah perilaku penanganan sampah sehari-hari di rumah-rumah agar dapat memilah dengan saksama sampah organik bakal kompos dari sampah non-organik bakal bahan daur ulang, lalu dikumpulkan di tempat penampungan sementaranya masing-masing juga secara terpisah. Serta di pihak lain mengubah perilaku pertanian agar lebih memperhatikan keberlangsungsan siklus biomassa di lahan pertaniannya. Tugas pemimpin dan pemerintahan terutama bagaimana dapat memotivasi dan memfasilitasi agar hal tersebut bisa terwujud.Oleh Dr. Ir. MUBIAR PURWASASMITAPenulis, Dosen ITB, Ketua Dewan Pakar Dewan Pemerhati Kehutanan dan Lingkungan Tatar Sunda.

Post Date : 22 Desember 2005