SAMPAH di Kota Jakarta saat ini memang sudah overload. Artinya sampah yang diproduksi oleh masyarakat atau industri saat ini sudah tidak mampu diatasi dengan cara konvensional berupa pengangkutan secara manual. Bahkan penggunaan teknologi tinggi dalam mengelola sampah hanya akan membantu sedikit bukan menyelesaikan masalah.
Demikian dikatakan oleh, Ketua Forum Hutan Kota Provinsi DKI Jakarta, Tarsoen Waryono, ketika dihubungi Jurnal Nasional di Jakarta, Selasa (23/8). Dia mengapresiasi Pemerintah Kota Jakarta yang saat ini sedang giat-giatnya mengembangkan pengolahan sampah di dalam kota. Yaitu dengan mengoperasikan ITF (Intermediate Treatment Facility) berupa penerapan teknologi Mechanical Biological Treatment (MBT), di Cakung Cilincing.
Hanya saja harus disinkronkan dengan budaya membuang sampah. Bila tidak maka hal itu tetap tidak akan menyelesaikan permasalahan sampah di Kota Jakarta. "Teknologi baru ini merupakan suatu kombinasi dengan menggunakan cara-cara biologi maupun dengan sedikit teknik teknologi tinggi. Akan tetapi, yang jadi permasalahan saat ini, sampah yang ada di DKI Jakarta ini bukan murni sampah organik," kata Tarsoen.
Menurut dia, sebanyak 65 persen sampah di DKI Jakarta adalah sampah plastik. Padahal sampah plastik ini adalah sampah yang sangat sulit untuk dilakukan treatment dengan cara apa pun juga. Apakah itu akan dijadikan kompos, kertas, atau didaur ulang. Sampah plastik tersebut menjadi suatu kendala yang besar sekali.
Padahal dalam konsep MBT, mestinya sampah itu bisa dimanfaatkan bukan hanya costly tapi juga menjadi benefit. Akan tetapi benefit ini juga harus didapatkan dengan cost yang cukup besar juga. Yaitu dengan cara memilah sampah plastik yang harus dibuang dan baru bisa diproses.
Jadi bagaimana jalan keluar untuk mengatasinya? Menurut Tarsoen, budaya masyarakat dalam membuang sampah harus juga ikut dibangun. Masyarakat harus diberi kesadaran mengenai pentingnya memilah-milah sampah yang akan dibuang ke pusat pengolahan sampah.
Perlu ada yang menyadarkan masyarakat seperti Badan Lingkungan Hidup atau Dinas kebersihan. Padahal kalau dilihat, masyarakat dengan membayar Rp5.000-Rp10.000 mereka merasa sudah bebas dari tanggungan. Padahal untuk mengatasi sampah atau limbah bukan hanya sekadar membayar tetapi kesadaran. Ini harganya jauh lebih mahal dibandingkan dengan membayar retribusi sampah.
"Jadi menurut saya, pemerintah harus tegas kepada pabrik plastik untuk ditutup atau dikurangi. Plastik diganti dengan kertas. Kertas yang murah itu bisa dibuat dari sekat padi atau batang padi. Itu ada di Padalarang yang digunakan untuk mengemas," ujarnya.
Menurutnya, peningkatan sampah di DKI Jakarta, dari rata-rata 1,2 kg pada tahun 2000 sekarang meningkat hampir 3 kg per orang. Jadi sudah meningkat lebih dari 70 persen. Berapa sebenarnya yang harus diangkut, itu tidak terlihat apakah pengangkutan sampah itu meningkat atau menurun.
"Kontributor terbesar sampah di DKI Jakarta adalah rumah tangga. Berdasarkan data penelitian UI, tahun 2010-2011, sebanyak 65 persen sampah plastik berasal dari rumah tangga dan 35 persen adalah sampah daun, kertas dan lainnya," katanya.
Sementara itu, Ketua Pusat Kajian Persampahan Indonesia (PKPI), Sodiq Suhardiyanto menjelaskan, program pembangunan ITF ini merupakan sebuah program Jakarta untuk menuju Waste to Energy.
Menurutnya program Mechanical Biological Treatment (MBT) adalah suatu teknologi modern yang ramah lingkungan. Sementara itu proses kerjanya, sampah dari sumber (DKI Jakarta) diangkut oleh Dinas Kebersihan menuju ITF, ditimbang dan dicatat tonasenya. Sampah tersebut ditangani dan diberi praperlakuan dengan peralatan bergerak seperti wheel loader dan separator.
Tahapan pertama, komponen non-organik seperti plastik, logam dan lain-lain dipisahkan untuk daur ulang dan digunakan kembali sebagai RDF. Kemudian, sampah organik diolah di separator, fraksi keluar disaring untuk daur ulang, sedangkan fraksi "bersih" dicampur dengan bahan struktur (cabang kayu dan limbah kebun kasar). Sekitar 2 kg bahan struktur untuk 10 kg limbah. Bahan yang sudah tercampur akan dilanjutkan ke proses penguraian.
"Pada tahap selanjutnya, sampah organik dimasukkan dalam modul proses. Kemudian sampah dibasahi sehingga terhidrolisis. Air lindi hasil hidrolisis tersebut akan dialirkan ke tangki reaktor. Kondisi dalam tangki reaktor diatur sehingga terjadi gasifikasi air lindi. Proses gasifikasi tersebut menghasilkan biogas yang selanjutnya dialirkan ke gas engine untuk dikonversi menjadi listrik," katanya.
Sementara itu, padatan yang tersisa dari hidrolisis dalam modul proses akan diberi aerasi. Dengan demikian, akan terjadi degradasi aerobik (pengomposan) di dalam modul proses. Padatan organik yang telah terdegradasi (kompos) akan dipindahkan ke kotak pematangan setelah mencapai tingkat kematangan tertentu. Vien Dimyati
Post Date : 24 Agustus 2011
|