|
KRISIS air kini menjadi momok mengerikan yang melanda sebagian besar negara-negara di dunia, termasuk Indonesia. Sebab, masalah air dapat menimbulkan persolan sosial yang multidimensional. Secara mikro, krisis air mengakibatkan masyarakat gelisah karena air memiliki fungsi penting dalam urusan dapur, seperti: minum, memasak, dan mandi. Sementara secara makro, krisis air dapat menimbulkan sungai dan waduk mengering sehingga ribuan hektare lahan pertanian ikut kering, bahkan ratusan hektar di antaranya gagal panen. Krisis listrik pun terjadi dan masyarakat petani harus menanggung kerugian tidak sedikit. Dampaknya, ketahanan pangan nasional lambat laun akan oleng. Harga-harga bahan pokok akan membumbung akibat pasokan bahan baku yang semakin tipis. Karena itu, krisis air hari ini harus dilihat sebagai persoalan serius. Ungkapan bahwa “air sebagai sumber kehidupan" harus benar-benar didengar dan direnungkan. Masalah Global Memang, krisis air telah menjadi masalah global. Jika dikalkulasi, satu dari empat orang di dunia kini kekurangan air minum. Bahkan diperkirakan 2/3 penduduk dunia akan kekurangan air pada 2050. Pada abad ke-21 kini pun, air diprediksi akan menjadi masalah besar dunia karena krisis air terus meningkat. Tidak heran jika saat peringatan Hari Air Sedunia kemarin, Food and Agriculture Organization (FAO) mengangkat tema “Air dan Ketahanan Pangan". Sebenarnya, FAO sudah lama mengingatkan akan terjadinya krisis air global. Bahkan 20 tahun lalu, FAO pernah meneliti: ada 500 juta orang kekurangan air. Negara-negara yang diprediksi bakal kekurangan air adalah Timur Tengah, Afrika Utama, Timur, dan Selatan. Contoh: negara-negara Timur Tengah seperti Sudan, Somalia, dan Etiopia misalnya saat ini sudah mengalami krisis air cukup akut. Negara-negara itu bahkan harus menjadi pengimpor pangan terbesar di dunia. Selain itu, Amerika Serikat sebagai negara superpower pun kelimpungan dalam menghadapi masalah air. Terhitung sudah sekitar 50 tahun terakhir negara Paman Sam itu menghadapi krisis air serius. Indonesia sendiri yang tercatat sebagai negara terkaya nomor empat--setelah Brasil, Rusia, dan Kanada--dalam sumber daya air terbarui juga keteteran mengatasi krisis air. Kini kekeringan justru terus melanda di wilayah-wilayah Indonesia seperti: di Pasuruan, Jawa Timur; di Kabupaten Magelang, Jawa Tengah; Kabupaten Kupang, Nusa Tenggara Timur; dan Karangan, Bali. Kementerian Pertanian, misalnya, mencatat, luas lahan yang dilanda kekeringan kini sudah mencapai 82.742 hektare. Lahan padi yang gagal panen 1.573 hektare atau setara dengan 8.179,6 ton gabah kering giling (Media Indonesia, 5/9/2012). Lebih dari itu, krisis air waduk saat ini juga cukup memprihatinkan. Akibatnya, tiga pembangkit listrik tenaga air (PLTA) tidak beroperasi. Ketiga pembangkit listrik itu yakni PLTA Sempor, PLTA Pajengkolan, dan PLTA Wadaslintang. Masalah krisis air di Indonesia bukan hal yang baru terjadi. Perhitungan neraca air tahun 2000, misalnya, pernah menyebutkan, ketersediaan air permukaan di Indonesia saat ini hanya mencukupi sekitar 23 persen dari kebutuhan penduduk. Mulai tahun 1995, di Pulau Jawa dan Bali kondisi air juga sudah mengalami defisit. Bahkan, menurut Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), saat musim kemarau di Pulau Jawa, terjadi defisit air sekitar 130 ribu juta meter kubik per tahun. Pengaruh perubahan iklim global dan penggunaan lahan secara serampangan telah menimbulkan tren debit air sungai menurun. Selama 30 tahun terakhir, debit air sungai-sungai di Indonesia cenderung mengecil secara bermakna. Contoh, rata-rata tahunan debit air Bengawan Solo turun hingga 44,18 meter kubik per detik, Sungai Serayu berkurang 45,76 meter kubik per detik, dan Sungai Cisadane 45,10 meter kubik per detik (Media Indonesia, 2/9/2012). Tentu, fakta di atas bisa menjadi alarm bahwa krisis air menjadi masalah serius. Solusi Sebagai negara yang memiliki dua musim, Indonesia seharusnya bersyukur karena memiliki peluang dan kesempatan lebih mudah dalam mengatasi krisis air dibanding negara-negara lain di Eropa. Ketika kemarau datang, misalnya, pemerintah memiliki waktu relatif panjang untuk membuat kebijakan penanggulangan banjir secara berkelanjutan. Begitu pula ketika musim hujan datang, masalah kemarau panjang yang selalu mengakibatkan krisis air tiap tahun seharusnya bisa diantisipasi lebih awal. Sebab, yang lazim terjadi, pemerintah seolah bak pemadam kebakaran: baru bereaksi ketika banjir datang atau krisis air tiba. Langkah-langkah preventif berjangka panjang kurang maksimal dilakukan. Padahal, secara praktis, pemerintah bisa melakukan beberapa hal penting untuk menanggulangi bahkan mencegah terjadinya krisis air jauh-jauh hari. Pertama, melalui Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional yang memiliki satelit pengontrol cuaca dan Badan Tenaga Nuklir Nasional yang memiliki pendeteksi sumber air tanah, pemerintah sebenarnya bisa mendeteksi lebih dini wilayah-wilayah mana di Indonesia yang rawan krisis air (kekeringan) sehingga bisa segera membuat kebijakan untuk menanggulanginya secara sistematis, terarah, dan berkelanjutan. Kedua, pentingnya membangun sinergi antara Pemerintah Daerah (Pemda) dan Pemerintah Pusat. Sebab, selama ini Pemerintah Daerah terlihat acuh dalam merespons masalah krisis air di daerahnya sendiri, bahkan kerap hanya menunggu komando dari pusat. Mereka beralasan, pendapatan di daerah kecil dan tidak mencukupi. Padahal, pemda juga memiliki tanggung jawab penuh atas kesejahteraan daerahnya. Seharusnya Pemda setempat cekatan dan tanggap, tidak hanya menunggu sinyal dari pusat. Kesadaran seperti itu penting supaya penanggulangan krisis air tidak kedodoran seperti sekarang. Ketiga, sosialisasi pentingnya ekonomi hijau. Yang dimaksud ekonomi hijau dalam hal ini adalah pembangunan ekonomi ramah lingkungan. Jika Indonesia ingin terbebas dari banjir dan krisis air, program ini mutlak dilakukan oleh setiap pemda dalam upaya mengembangkan wilayahnya. Barangkali kita perlu belajar dari Wali Kota Bandung, Dada Rosada. Melalui program “tiada hari tanpa menanam pohon", Pemkot Bandung mengajak warganya senantiasa menjaga dan melestarikan lingkungan. Bahkan, di Kota Bandung ada peraturan: setiap penebangan pohon--meski untuk pembangunan industri--harus mendapatkan izin dari Pemkot. Ini tentu sangat inspiratif. Ali Rif‘an Peneliti di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Post Date : 11 September 2012 |