|
Masih segar dalam ingatan kita betapa banjir bandang lima tahunan pada Februari lalu sempat melumpuhkan Jakarta selama beberapa pekan. Kawasan yang kebanjiran sekitar 70% luas total wilayah DKI, dua kali lipat dari banjir bandang 2002. Akibatnya,jumlah korban jiwa,rumah yang terendam, kerusakan prasarana dan sarana, kerugian sosial-ekonomi, gangguan jiwa, dan lainnya lebih parah ketimbang tahun 2002.Banjir memang merupakan fenomena alam (sunatullah) yang bisa terjadi di negara mana pun di dunia.Yang membedakan kita dengan bangsa-bangsa lain dalam hal banjir adalah sikap kita yang tidak pernah mau belajar dari pengalaman,tidak ikhlas, dan tidak pernah tuntas dalam menyelesaikan permasalahan, termasuk banjir yang sebenarnya relatif mudah karena sifatnya yang periodik atau bisa diantisipasi sebelum kejadian. Atas dasar pemahaman teknis tentang banjir dan iman kita kepada Allah, maka akar permasalahan banjir Jakarta ditengarai bersumber pada: (1) buruknya sistem drainase; (2) tersumbatnya sungai-sungai dan saluran-saluran pembuang ke laut; (3) terlalu kecil dan terus menyusutnya daerah resapan air; (4) rusaknya fungsi hidrologis DAS yang mengaliri Jakarta; (5) tidak diimplementasikannya tata ruang wilayah Jakarta dan Bogor-Puncak-Cianjur (Bopunjur) secara benar dan konsisten; (6) penurunan permukaan tanah dan peningkatan paras laut akibat pemanasan global; (7) rendahnya etos kerja birokrasi pemerintahan; (8) budaya mayoritas pengusaha yang hanya mengejar keuntungan, tanpa peduli dengan kepentingan sosial, lingkungan, dan bangsanya (rent-seeking behaviour); (9) sebagian besar masyarakat belum taat hukum, tidak disiplin, kurang peduli sosial dan lingkungan; dan (10) langkanya pemimpin yang ikhlas, cerdas, tegas, dan dapat diteladani. Solusi Teknis Penanganan masalah banjir Jakarta secara tuntas hanya dapat terwujud melalui program pengendalian secara terpadu berbasis DAS dari hulu sampai hilir. Mengatasi banjir di daerah hilir (wilayah DKI) tanpa membenahi daerah hulu (Bopunjur) akan sia-sia belaka. Buruknya kondisi penggunaan lahan di daerah hulu yang tecermin dari minimnya kawasan lindung dan ruang terbuka hijau serta semakin sempit dan tersumbatnya Sungai Ciliwung, mengakibatkan limpahan air banjir dari hulu akan selalu lebih besar ketimbang daya tampung badan sungai. Sehubungan dengan besarnya volume air ketika musim hujan, maka untuk daerah hilir kita mesti menerapkan kombinasi tiga konsep pengelolaan tata air secara simultan dan terpadu. Pertama mengendalikan aliran air dari daerah hulu (banjir kiriman) ke sungai dan membatasi volume air masuk ke wilayah kota. Untuk itu, pembangunan saluran kolektor untuk menampung limpahan air yang dialirkan melalui sisi timur kota yang dikenal dengan Banjir Kanal Timur (BKT) harus segera dirampungkan. Pada saat yang sama,Banjir Kanal Barat (BKB) untuk menampung limpahan air yang dialirkan lewat sisi barat kota harus ditinggikan dan direhabilitasi karena banyak yang rusak, mengalami penyempitan, dan penyumbatan. BKB dan BKT diperkirakan mampu menampung limpahan air dari 40% wilayah DKI. Selanjutnya, air dari kedua kanal tersebut harus dengan cepat dialirkan ke laut menggunakan sistem polder dan pompa. Kedua, mengupayakan air hujan yang berlimpah sebanyak mungkin diresapkan kembali (disimpan) ke dalam tanah untuk memperbesar cadangan air tanah, yang sangat dibutuhkan saat kemarau. Untuk itu, kita harus memperbaiki dan memperluas daerah resapan air berupa taman, hutan kota, serta wujud ruang terbuka hijau lainnya. Danaudanau baru juga perlu dibangun, sembari merevitalisasi puluhan danau dan situ yang kondisinya sudah parah akibat pembangunan perumahan, mal-mal, perkantoran, dan lainnya secara tak terkendali. Kini, saatnya pemerintah mewajibkan pembangunan satu sumur resapan untuk setiap rumah. Selain itu, Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) DKI Jakarta 2000-2010 yang membolehkan konversi ruang terbuka hijau dan daerah resapan air menjadi kawasan industri, mal-mal, dan peruntukan pembangunan lain harus tahun ini juga diperbaiki agar secara eksplisit menetapkan 30% dari luas wilayah DKI dialokasikan untuk daerah resapan air, daerah hijau, dan fungsi lindung lainnya. Selain memperluas daerah resapan air, gagasan membangun penampungan air bawah tanah berskala besar (deep tunnel reservoir) seperti di Chicago dan Singapura yang dapat menyimpan sekitar 200 juta m3 air dan bertahan sampai 125 tahun patut pula dipertimbangkan. Prinsipnya,penampungan air bawah tanah ini adalah semacam bendungan bawah tanah untuk menyimpan seluruh limpahan air banjir dan limbah cair dari sanitasi lingkungan kota Jakarta. Selanjutnya, air ini bisa diolah dan dimanfaatkan sebagai cadangan air baku. Ketiga,memperlancar aliran air dari permukaan tanah yang terbuka ke saluran-saluran drainase,sungai-sungai, dan akhirnya ke laut. Ke depan,seluruh warga Jakarta tidak boleh lagi mendirikan bangunan di sepanjang sempadan sungai dan kanal-kanal, serta tidak lagi membuang sampah sembarangan. Lebih dari itu, karena sistem drainase Jakarta sebagian besar merupakan warisan Belanda yang sudah tidak sesuai lagi dengan kondisi sekarang, sudah saatnya kita menata ulang sistem drainase sesuai dengan kondisi saat ini serta dinamika kependudukan, pembangunan, dan alam di masa mendatang. Selain pendekatan konservasi seperti di atas, mencegah banjir kiriman dari hulu perlu dibarengi dengan pendekatan fisik ramah lingkungan, yakni dengan membangun waduk-waduk dan kolam-kolam penampung (retarding basins) di kanan-kiri Sungai Ciliwung, mulai dari Ciawi sampai sebelum masuk wilayah DKI. Prinsip kerja pendekatan ini adalah menghadang aliran air dari hulu saat banjir, kemudian mengalirkannya ke dalam retarding basins, sebelum masuk ke wilayah yang hendak diselamatkan (Jakarta). Pendekatan Spiritual Semua solusi teknis di atas memerlukan sikap kepedulian dan semangat berbagi (care and share) antarsesama warga, pemimpin, aparat pemerintah, DPR,pengusaha,dan komponen bangsa lain.Sikap peduli dan semangat berbagi semacam ini hanya mungkin tumbuh dan berkembang dalam jiwa seorang yang memiliki keimanan bahwa kehidupan dunia ini hanya sementara, sedangkan kehidupan yang abadi (sebenarnya) adalah akhirat. Bila kita ingin hidup bahagia dunia dan akhirat, kita harus beriman kepada Allah SWT dan menebar kebaikan serta mencegah yang munkar, termasuk sikap care and share terhadap sesama. Akhirnya, mari kita sikapi bencana banjir secara proporsional dengan melakukan introspeksi dan taubatan nasuha atas segala dosa, maksiat,korupsi, malas, tidak peduli dengan sesama, hanya ingin cari popularitas,dan kesalahan lain.Pada saat yang sama, segera bangkit dari perilaku saling menyalahkan dan selalu memiliki kesediaan untuk memperbaiki kerusakan-kerusakan.(Prof Dr Ir Rokhmin Dahuri,MS Guru Besar Manajemen Pembangunan Pesisir dan Lautan IPB) Post Date : 15 November 2007 |