|
Jangan bilang semoga kering atau mudah-mudahan tidak banjir. Jangan harap itu karena DKI Jakarta dan sekitarannya, mau tidak mau akan kebanjiran atau tergenang air. Sudah terbukti setiap hujan deras 1-2 jam atau lebih, beberapa tempat pasti tergenang-genang air. Beberapa daerah langganan banjir pun, warganya sudah siap dan terbiasa minggat sejenak, menunggu air surut dan kembali masuk rumah beceknya. Kota yang langganan kebanjiran ini, padahal sudah berpengalaman betapa buruk nestapanya sergapan banjir air itu. Sebab, selain bikin jalanan becek, perumahan terendam air keruh, perkampungan terkepung aliran genangan air besar, jalan-jalan pun di mana-mana macet, ujung-ujungnya kehidupan rutin warga kagak normal. Malah sesurutnya banjir, masalah gangguan kebersihan dan terutama kesehatan lingkungan pun kian butut, karena berbuntut munculnya penyakit menular, termasuk wabah gara-gara air kencing tikus. Banjir bukan ancaman lagi. Genangan besar air di kota yang sekitar 40 persen tanah datarnya, memang daerah langganan banjir sejak zaman dulunya punya dulu. Kota yang berkembang di atas tanah bekas rawa-rawa, serta dialiri 13 sungai yang bermuara di Teluk Jakarta ini, sudah tercatat sebagai kota tidak bebas banjir. Makanya, pemerintah kolonial Belanda tahu betul penyakit dari sononya Batavia, hingga sudah berupaya menyelamatkan ibu kota tanah jajahannya ini. Misalnya, Belanda pernah mengadakan penggalian kanal sodetan agar air bisa mengalir sampai jauh dan tidak bikin genangan lokal. Salah satu upaya besar tuan-tuan kolonial itu, mengadakan serius Perbaikan Tata Air Ibu Kota Batavia pada tahun 1920. Van Breen selaku pimpinan proyek ini, selama 10-an tahun membuat kanal besar dari Manggarai sampai Penjernihan, lalu kanal membelok ke utara melewati kawasan Grogol dan Angke, lalu bablasin airnya lewat Muara Karang. Proyek Van Breen yang terkenal dengan sebutan Banjir Kanal Barat (BKB) ini kesaktiannya hanya mampu bertahan 40-an tahun. Sebab, selewat itu Jakarta tidak pernah tidak kerendem genangan air. Malah di beberapa lokasi sudah langganan, misalnya di sekitaran Kampung Malayu, kalau musim ujan ya kelebu alias terbenam di musim penghujan. Untung bukan buntung Dari pengalaman catatan banjir besar tahun 1621, 1654, 1918, 1979, 1996, dan 2002 kemarin, Pemprov DKI Jakarta dari zaman ke zaman memang selalu memasukkan program pencegahan dan penanggulangan banjir tahunannya. Sisa kanal BKB bikinan Van Breen selalu diperbaiki dan dikembangkan lebih sempurna. Namun, aliran air yang berprinsip bergerak ke ruang lebih rendah terus saja memekar dan menyergap lokasi di bawahnya, lalu berkumpul menjadi genangan alias banjir. Dari pemikiran pakar Pemprov DKI, sebetulnya sudah lama tergagas untuk membuat banjir kanal baru di kawasan timur, berprinsip mirip BKB bikinan Belanda. Sebab, pengalaman banjir besar 2002, sungguh bikin buruk kinerja Pemprov DKI yang mengelola kota di lahan seluas 650 kilometer persegi ini. Untuk tahun ini, menurut Gubernur Sutiyoso beberapa waktu lalu, Dinas Pekerjaan Umum DKI sudah diperintahkan berupaya untuk menanggulangi banjir jangka pendek, juga jangka panjang. Makanya, tidak aneh menjelang musim banjir tiba, DPU DKI pun tergopoh-gopoh melaksanakan proyek keruk-keruk sungai, perbaikan ini-itu dan penambahan pompa air, pengadaan karung pasir dan memobilisasi ribuan personel, untuk nyambut datangnya banjir. Sayangnya kerja gede ini, konon duitnya cekak. Makanya pejabat DPU selalu kira-kira bilang: Dengan persiapan sekarang, DPU cukup mampu mengurangi dampaknya banjir. Juga asal volume hujan tidak terlalu besar dan berkepanjangan. Asal ingat juga, DPU hanya mampu mengurangi dampak, bukan membebaskan Jakarta dari banjir. Sedangkan untuk program jangka panjang demi pengurangan dampak banjir, Pemprov DKI sejak 10 Juli 2003, di zaman Presiden Megawati Soekarnoputri, sudah mencanangkan Proyek Banjir Kanal Timur (BKT). Dengan biaya sekitar Rp 4,124 triliun, untuk biaya pembebasan tanah dan pembangunan fisik, proyek ini akan menggali kanal sepanjang 23,5 kilometer dengan lebar 100-300 meter. Proyek BKT yang berdasarkan pola Master Plan for Drainage and Flood Control of Jakarta 1072-1973 ini, agar mencegat limpasan air Sungai Cipinang, Sunter, Buaran, dan Cakung, lalu menampung dalam kanal lebar dan dalam, hingga air pun mengalir ke laut bukan bleberan menjadi genangan air di Jakarta. BKT mulai beraksi demi mengurangi ancaman banjir. Sebagian tanah mulai dibebaskan untuk dijadikan kanal. Sayang seribu kali sayang, proyek BKT ini terimbas banjir persoalan, khususnya soal pembebasan tanah warga termasuk tanah orang dalam yang bekerja sama dengan calo-calo tanah. Banyak warga maunya dapat uang ganti untung, sementara pejabat DKI maunya bayar pake duit harga ganti rugi. Naik turunnya harga ganti pembebasan, sesuai dengan nilai jual obyek pajak (NJOP). Katanya, sejauh ini sudah terbebaskan dengan duit senilai NJOP, sekitar 48 persen dari total 175 hektar lahan yang terkena BKT. Sisanya masih bertele-tele, karena warga dengan segala macam penasihat dan bekingannya, maunya pakai harga pasaran bebas. Warga pemilik tanah ogah tanahnya dibeli dengan harga NJOP. Jika sampai batas waktu pembebasan tahun 2007 Pemprov DKI terpaksa gunakan Perpres No 36/2005 melalui penitipan uang pembebasan melalui pengadilan, begitu kira-kira ujar Wali Kota Jakarta Timur beberapa waktu lalu. Sekarang hujan tumpah dikit aja, air pun tergenang, Jakarta pun dibilang banjir. Sedangkan upaya dan usaha nyata Pemprov DKI cuma keduk-keduk sungai atau menyiapkan 184 pompa air. Padahal, kalau banjir di mana-mana, air sedotan mesin itu mau dibuang ke mana lagi. Sementara proyek BKT yang bukan hanya mengatasi banjir, tapi juga konservasi air dan demi pengembangan wilayah timur-utara Jakarta, kini masih kebanjiran soal, khususnya soal uang ganti rugi. Padahal zaman sekarang, banyak orang maunya dapat duit ganti untung. Kagak mau rezekinya buntung! RUDY BADIL Wartawan,Jakarta Post Date : 16 Desember 2005 |