Siswa Sekolah Dasar Petamburan 05 pagi, Jakarta, mengikuti simulasi membuat lubang biopori di halaman sekolahnya, beberapa waktu lalu. Ini merupakan kegiatan mengajak anak peduli lingkungan.
Banjir sudah menjadi permakluman bagi bocah-bocah SDN 05, 06, 07, dan 08 Petamburan, Jakarta Pusat. Hampir setiap kali hujan lebat, halaman sekolah dan gedung SDN 07 Petamburan tergenang air. Murid-murid pun dipulangkan cepat. Kalau banjir terjadi pagi, sekolah hari itu hampir pasti libur.
”Air di halaman sekolah bisa sampai selutut kalau hujan lebat,” ucap Febi, siswa kelas III SDN 08 Petamburan.
SDN 07 dan SDN 08 berada di satu gedung, SDN 07 terletak di bawah, dan SD 08 di lantai dua. Gedung itu terletak lebih rendah dibandingkan dengan gedung SDN 05 dan SDN 06 yang terletak di satu kompleks.
Bila genangan terjadi, siswa SDN 07 yang pertama mengalami dan SDN 08 terkena imbasnya. Tapi, anak-anak SDN 05 dan SDN 06 bakal kesulitan keluar-masuk sekolah karena Jalan Petamburan II di depan sekolah ini juga ikut tergenang.
Lokasi tanah kompleks SDN ini terletak lebih rendah dibandingkan dengan Kanal Timur. Hingga kini, belum ada terobosan atas penanganan banjir yang cukup mencolok. Maka, siswa dan guru di sekolah itu selalu khawatir bila hujan lebat turun.
”Tahun 1998, 2002, dan 2007, banjir sampai tiga meter dan hampir menyentuh anak tangga terakhir di gedung SDN 07 dan SDN 08. Banyak dokumen yang rusak karena banjir datang saat libur sehingga tidak ada orang yang menyelamatkan dokumen,” papar Suwardi, guru SDN 08 Petamburan.
Banjir memang kian dahsyat dari waktu ke waktu. Tingkat keparahan banjir berbanding lurus dengan pesatnya pembangunan gedung atau rumah yang membuat tanah terbuka kian susut. ”Dulu, masih banyak tanah kosong di sekitar sekolah. Sekarang sudah penuh rumah,” kata Suwardi.
Keresahan akan banjir dirasakan hampir seluruh warga Jakarta. Bila hujan lebat turun seperti yang terjadi akhir pekan dan Rabu (6/10) lalu, genangan muncul di banyak jalan dan permukiman di Jakarta. Buntutnya selalu bisa ditebak, orang mengungsikan barang ke tempat yang aman, perjalanan terhambat, dan akhirnya terjadi kemacetan.
Drainase
Pengamat perkotaan Yayat Supriyatna menilai banjir yang kian parah ini disebabkan juga drainase Jakarta tidak banyak berubah. Sebagian besar bahkan masih ”warisan” Belanda. Padahal, pertambahan penduduk teramat pesat. Bila tahun 1950-an jumlah penduduk Jakarta sekitar 1,5 juta jiwa, saat ini sudah mencapai 9,5 juta jiwa dan diprediksi sampai 11 juta jiwa pada tahun 2020.
Pertambahan penduduk berdampak pada limbah yang dibuang, pertambahan jumlah bangunan rumah dan tempat usaha, serta penyedotan air tanah besar-besaran. Salah satu dampak yang paling mudah terlihat adalah banjir yang kian parah. Padahal, air yang melimpah saat hujan bisa diolah.
Selain itu, dosen Program Studi Teknik Lingkungan Universitas Indonesia, Firdaus Ali, mencatat sejumlah 70 persen air masih dibuang ke selokan, belum diolah maksimal. Padahal, kota yang baik seharusnya bisa mengolah air limbah sebelum dibuang ke saluran air atau laut.
Walaupun sudah ada Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) DKI Jakarta, acuan itu agaknya sulit digunakan. Yayat melihat RTRW saat ini cocok untuk 20 tahun yang lalu. Padahal dibutuhkan terobosan yang cukup berani untuk menata Jakarta.
Deputi Gubernur DKI Jakarta Bidang Tata Ruang Ahmad Hariadi mengakui draf RTRW 2010-2030 belum dibuat maksimal. Karena itu, masukan dari warga masih dibutuhkan. (ART)
Post Date : 08 Oktober 2010
|