Sistem Pemusnahan Sampah oleh Masyarakat

Sumber:Suara Pembaruan - 13 April 2005
Kategori:Sampah Jakarta
SISTEM pemusnahan sampah akan ampuh jika melibatkan berbagai kalangan yang terkait, melalui koordinasi yang serius. Dengan demikian, TPA tidak lagi sekadar tempat penumpukan akhir, melainkan menjadi tempat yang tidak membebani lingkungan sekitar.

Beberapa pakar berpendapat, penanganan sampah di kota-kota besar tidak semudah membalikkan telapak tangan. Perlu program kerja jangka pendek, menengah, dan panjang. Setiap program mempunyai target tertentu, mulai dari meningkatkan kesadaran warga, penjadwalan membuang sampah, hingga akhirnya penggunaan teknologi tepat guna.

Eddy Jusuf, peneliti jasad renik, yang pernah meneliti sistem pemusnahan sampah, mengatakan, penanganan sampah akan lebih mudah, dan sudah seharusnya melibatkan, setiap orang yang notabene adalah produsen sampah.

Sesuai dengan konsepnya tentang penanganan sampah yang pernah diajukan kepada Pemprov DKI Jakarta, Eddy, membagi sampah dalam tiga bentuk, yakni sampah dapur (sisa makanan) dan organik lainnya, bagian sampah yang sulit dimusnahkan, dan barang-barang pecah-belah dan kertas.

Ia mencontohkan, di Cina, setiap bagian wilayah kota, misalnya per kabupaten, memberi jadwal kepada setiap rumah tangga. Dua minggu pertama setiap bulan, penduduk wajib membuang hanya sampah dapur dan organik lainnya.

Pada setiap satu minggu berikutnya dijadwalkan membuang bagian sampah yang sulit dimusnahkan seperti ban bekas atau kayu-kayu serta besi rongsokan. Kemudian, membuang barang-barang pecah-belah dan kertas. Dengan demikian, sampah sudah disaring dan bahkan sudah diserap para pemulung sejak dari tingkat rumah tangga.

Sampah-sampah itu kemudian diangkut dari setiap rumah tangga menuju tempat penimbunan sementara yang berbeda, sesuai jenis sampah. Barang bekas seperti besi, kayu, kertas, umumnya mempunyai nilai ekonomi dan diambil pemulung. Namun, barang-barang yang sulit diuraikan bakteri dan tidak bisa dijadikan pupuk kompos, dapat diatasi dengan menyediakan TPA yang memiliki incinerator. TPA itu masih dapat ditempatkan di pinggiran kota.

Begitu pula dengan bahan-bahan yang bisa dijadikan pupuk disediakan TPA sendiri. Sisanya, berupa sampah organik dikirim ke TPA yang menggunakan teknik sanitary landfill.

Pada dasarnya, teknik penanganan sampah itu merupakan cara penimbunan sampah yang dipadatkan di dalam kubangan besar. Tumpukan sampah padat itu akan mengalami penguraian secara alami (oleh bakteri). Meski padat, tumpukan itu dibuat sedemikian sehingga memiliki celah sebagai pori-pori, yang tidak lain adalah saluran pipa-pipa besi. Jaringan pori-pori pipa besi itu bermuara pada dua saluran buangan, yakni untuk bentuk gas dan air rembesan (air lindi, leachate).

Buangan air rembesan terlebih dahulu dinetralkan sebelum dibuang ke sungai. Sementara, pada cerobong buangan gas dibuat sedemikian rupa sehingga setiap ada gas yang dihasilkan akan melewati proses pembakaran. Dengan demikian, air rembesan sampah tidak mengotori air tanah (grown water). Dan, gas yang dihasilkan juga tidak berbau busuk

Setelah penuh, sebuah kubangan sanitary landfill ditimbun tanah dan dipadatkan lagi. Pada bagian atas lokasi itu dihijaukan dengan menanam berbagi jenis pohon atau tanaman yang bisa dinikmati masyarakat sekitarnya.

Hutan Kota

Umur pakai sebuah kubangan itu rata-rata dua tahun. Ada juga yang sampai lima tahun. Kubangan yang baru biasanya berdekatan dengan kubangan sebelumnya, sehingga, tanah galian di lokasi yang satu bisa digunakan untuk kubangan sebelumnya yang sudah penuh. Diperkirakan, setelah tiga kali berpindah lokasi yang masing-masing berumur pakai lima tahun, berarti lokasi pertama, sudah berumur 15 tahun sejak ditutup, dapat digunakan kembali.

Bila sistem pemusnahan sampah itu berjalan, incinerator yang digunakan tidak memiliki beban kerja berlebih sehingga dapat digunakan dalam waktu lama, pembuatan kompos lebih mudah karena bahannya sudah dipisahkan dari anorganik, dan penanganan sanitary landfill pun lebih mudah.

Bila proses pemusnahan sampah itu dapat diterapkan di Jakarta yang menghasilkan 13 ribu ton sampah per hari, diperkirakan hanya sekitar 20 persen sampah yang masuk ke TPA sanitary landfill. Besar persentase itu memang masih perlu dihitung lebih teliti, tetapi hampir semua kota di negara-negara yang menerapkan sistem itu hanya mengirim kurang dari 50 persen sampahnya ke TPA yang bersangkutan. Karenanya diperlukan tinjauan untuk mengukur jumlah dan kebiasaan penduduk di satu kota, sehingga dapat diperkirakan seberapa luas lahan yang diperlukan untuk lokasi TPA.

Keinginan penanganan sampah secara terkoordinasi dengan menggunakan sanitary landfill itu, menurut Eddy yang sehari-harinya bertugas di bagian Biologi Molekuler, Pusat Penelitian Bioteknologi, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), sebenarnya sudah ada dalam Rencana Tata Ruang Pemerintah Provinsi DKI tahun 1978. Rancangan itu mengalokasikan hutan kota sebagai lahan TPA. Namun, tidak jelas kenapa rencana itu tidak jalan dan hutan kota pun kini tak ada lagi. Bahkan, batas Kota Jakarta dan kota-kota di sekitarnya pun tidak lagi berbentuk hutan lindung.

Kini Jakarta tidak lagi memiliki hutan kota untuk sistem pemusnahan itu. Namun, bila keluhan tentang sampah dan akibat lain yang ditimbulkannya seperti banjir dan bau busuk bisa menimbulkan kesadaran untuk menangani sampah sejak di tingkat rumah tangga, dan kemudian didukung keseriusan pemerintah untuk menanganinya, penentuan lokasi TPA tidak lagi menimbulkan keluhan masyarakat di sekitarnya. Pembaruan/Adi Marsiela*

Post Date : 13 April 2005