Singapura Sukses Gunakan Insinerator untuk Kelola Sampah

Sumber:Kompas - 10 Januari 2005
Kategori:Sampah Jakarta
Untuk mengurusi sampah warganya, Pemerintah Singapura berhasil menerapkan teknologi insinerator. Teknologi pembakaran sampah itu ternyata sama sekali tidak menimbulkan masalah pencemaran udara. Kuncinya hanya satu: teknologi itu benar-benar diterapkan sesuai dengan spesifikasi dan persyaratannya. Tidak seperti di Jakarta, pembuatan insinerator yang dianggarkan miliaran rupiah itu hanya berupa tungku pembakaran yang bisa dibuat di tukang-tukang las. Hasilnya, asap mengepul ke mana-mana. Puluhan insinerator yang sudah dibeli dengan uang rakyat pun akhirnya terbengkalai.

MENTERI Singapura yang membidangi informasi, komunikasi, dan budaya yang juga merangkap sebagai Menteri Kesehatan, Baladji Sadasivan, mengungkapkan, selain dengan teknologi, negaranya berhasil mengelola sampah dengan baik karena ada penegakan hukum yang kuat.

Berikut petikan wawancara dengan Menteri Baladji di sela-sela pertemuan Asian Network of Major Cities 21 (AMNC) di Jakarta beberapa waktu lalu.

Apa sih teknologi yang digunakan Singapura untuk mengelola sampah?

Singapura menggunakan insinerator (pembakar sampah). Setiap hari sampah-sampah rumah tangga dikumpulkan beberapa perusahaan swasta. Sampah-sampah diangkut dengan truk bak tertutup.

Setiap rumah tangga wajib membayar biaya retribusi setiap bulan. Sampah-sampah itu kemudian dibawa ke insinerator untuk dibakar.

Pemerintah Jakarta tidak mau menggunakan lagi insinerator karena dianggap mencemari udara. Pada kenyataannya, hasil pembakaran insinerator di Jakarta memang menghasilkan asap hitam. Kenapa di Singapura insinerator dianggap aman?

Tidak ada asap hitam jika teknologi insinerator benar-benar dijalankan dengan baik. Semua asap yang keluar dari insinerator tidak boleh mengotori udara. Setiap asap yang keluar dari alat tersebut dipantau dengan alat ukur antipolutan. Kalau ada asap hitam yang keluar, berarti insinerator itu harus diperbaiki atau diganti.

Pembakaran sampah dengan insinerator dianggap efektif oleh Pemerintah Singapura. Teknologi ini mengurangi volume sampah hingga 10 persen. Insinerator menghasilkan dua macam limbah, yaitu debu dan sampah yang tidak habis terbakar. Sisa sampah yang tidak habis terbakar didaur ulang dan digunakan kembali.

Sedangkan debu yang sudah dikumpulkan dan tidak bisa digunakan kembali ditimbun di tempat penimbunan yang berada di tengah laut. Tempat penimbunan itu berada di kawasan Jurong. Tempat penimbunan itu nantinya akan menjadi daratan yang akan digunakan untuk berbagai keperluan. Tempat penimbunan itu disiapkan untuk pengelolaan sampah selama 50 tahun ke depan.

Apakah Singapura pernah melakukan open dumping (membuang sampah di tempat terbuka) seperti di Jakarta?

Saya tidak tahu apakah Singapura pernah melakukannya. Tetapi yang jelas sekarang kami tidak memakai cara open dumping lagi. Cara itu sangat membahayakan kesehatan dan mengganggu lingkungan.

Kapan pertama kali digunakan insinerator?

Saya tidak tahu tepatnya kapan. Sepanjang ingatan saya mungkin lima atau sepuluh tahun yang lalu Singapura sudah tidak memiliki open landfill (penimbunan terbuka).

Selain kesulitan mengelola sampah, Jakarta juga kewalahan dengan masalah sampah di sungai. Bagaimana cara Singapura membersihkan sampah di sungai?

Tidak ada cara lain untuk menjaga sungai-sungai kita kecuali memberi sanksi. Sanksi tegas bisa membuat sungai-sungai di Singapura tetap terjaga kebersihannya. Tidak ada orang di Singapura yang berani membuang sampah ke sungai. Siapa pun yang membuang sampah ke sungai akan dihukum berdasarkan undang-undang yang ada. Undang-undang itu membuat seluruh masyarakat Singapura berpartisipasi menjaga kebersihan sungai.

Kebersihan sungai merupakan tanggung jawab seluruh masyarakat Singapura. Jadi kalau ada orang yang membuang sampah ke sungai, semua orang marah dan berani menegur.

SINGAPURA bukan hanya sebuah pulau, tetapi dikelilingi 63 pulau-pulau di sekitarnya. Pulau utamanya memiliki area seluas 682 kilometer persegi. Meski usianya lebih muda dari Kota Jakarta, Singapura mampu berkembang dengan pesat.

Hanya dalam kurun waktu 150 tahun Singapura telah berkembang menjadi pusat bagi perdagangan dan industri. Meskipun memegang label sebagai kota industri, negara itu tetap mampu menjaga lingkungannya dengan baik.

Selain masalah sampah, Baladji juga menjelaskan soal penyakit menular yang berbahaya di Singapura yang belum sepenuhnya mampu diatasi, yaitu penyakit demam berdarah dengue (DBD).

Penyakit yang pernah mewabah di Jakarta tahun 2004 lalu itu telah menewaskan puluhan orang dan menyebabkan ribuan orang dirawat di rumah sakit. Sebagai menteri Kesehatan, Baladji menjelaskan, banyaknya penyakit menular yang masuk ke Singapura disebabkan karena negara itu menjadi pusat mobilitas manusia. Berikut pembicaraan dengan Baladji soal kesehatan di Singapura.

Apakah di Singapura masih ada demam berdarah? Di Indonesia penyakit ini sering menjadi wabah dan mematikan banyak orang.

Penyakit itu ada di semua negara yang terletak di khatulistiwa, termasuk di Singapura. Sampai sekarang kami juga terus berupaya menekan angka penyebaran penyakit itu.

Cara yang kami terapkan adalah dengan menerjunkan semacam tim inspeksi. Tim inspeksi itu bertugas mengecek apakah ada jentik-jentik nyamuk di rumah-rumah. Kalau rumah tersebut ada jentiknya, kita akan kenakan denda. Cara itu efektif untuk memutus mata rantai perkembangbiakan nyamuk.

Di Jakarta atau Indonesia pada umumnya, pemerintah selalu terlambat memberi peringatan kepada warganya. Padahal, munculnya demam berdarah sudah bisa diprediksi karena muncul pada setiap pergantian musim.

Saya tidak tahu situasi Jakarta. Tetapi yang jelas, di Singapura kami memiliki tim inspeksi untuk memeriksa perkembangbiakan nyamuk. Namun jangan lupa, persoalan penyakit menular ini tidak bisa menjadi tanggung jawab pemerintah semata. Warga juga harus ikut bertanggung jawab menjaga kebersihan lingkungan masing-masing.

Penyemprotan nyamuk (fogging) memang bisa mematikan nyamuk. Tetapi kurang efektif untuk memutus mata rantai perkembangbiakan nyamuk.

Wabah SARS dan flu burung telah menjatuhkan dunia pariwisata dan industri dari tahun 2002 hingga 2004. Kota-kota besar di Asia, seperti Bangkok, Beijing, Jakarta, Seoul, Singapura, dan Tokyo sepakat menanggulangi infeksi penyakit menular karena kota-kota besar memiliki populasi yang tinggi sehingga mudah tertular wabah.

Dalam forum AMNC 21, ke-12 kota besar di Asia menyepakati membentuk jaringan informasi dan komunikasi antaranggota AMNC. Hal ini harus dilakukan mengingat metode penanggulangan penyakit menular di setiap kota di Asia berbeda-beda.

Penyebarluasan informasi melalui jaringan kota-kota besar hendaknya membuat rincian, ketepatan, kecepatan, dan akurasi informasi tentang penyakit, kondisi lingkungan yang memadai untuk menghindari salah interpretasi dan kesalahan informasi.

MUNCULNYA persoalan lingkungan, dalam jangka pendek maupun panjang, tentu akan berdampak pada kesehatan manusia. Jakarta memang tidak bisa dibandingkan dengan Singapura dalam hal jumlah kepadatan penduduknya. Jumlah penduduk di Jakarta mencapai 11 juta lebih, sementara di Singapura jumlah penduduknya kurang dari 4 juta jiwa. Padahal, kedua kota itu memiliki luas wilayah yang hampir sama.

Untuk mengatasi persoalan lingkungan, seperti pengelolaan sampah misalnya, Jakarta memang harus belajar banyak dari Singapura. Seperti dikatakan Baladji, banyak teknologi yang bisa digunakan untuk mengelola sampah. Kita tinggal memilih mana yang tepat. Tetapi semua harus dijalankan sesuai persyaratan dan spesifikasinya.

Kenyataannya di Jakarta, tidak satu pun teknologi pengelolaan sampah dilaksanakan dengan baik. Sistem sanitary landfill tidak dijalankan sesuai persyaratan, termasuk di Tempat Pembuangan Akhir Bantar Gebang yang digunakan untuk membuang 6.000 meter kubik sampah per hari.

Sistem sanitary landfill seharusnya memenuhi desain teknis tertentu sehingga sampah yang dimasukkan ke tanah tidak mencemarkan tanah dan air tanah. Di sejumlah negara maju, sebelum dibuang ke TPA, sampah dipilah terlebih dahulu antara sampah organik dan non-organik, sampah yang mudah terdegradasi dan yang sulit mengalami degradasi.

Setelah dipilah, sampah seperti pecahan kaca, logam, dan plastik dibakar dulu sebelum ditimbun. Sampah yang mudah terdegradasi, seperti sisa makanan, digiling terlebih dulu sebelum ditimbun.

Lapisan tanah yang digunakan untuk menimbun sampah harus dilapisi bahan kedap air (geotekstil) dan diberi saluran air. Saluran air ini berfungsi mengalirkan air lindi (air dari hasil pembusukan sampah). Air lindi itu diproses di instalasi pengolahan air limbah (IPAL). Di dekat TPA harus ada sumur kontrol untuk mengontrol apakah air tanah di sekitar TPA sudah tercemar atau tidak.

Namun pada kenyataannya, semua teknologi yang harusnya terintegrasi itu tidak dijalankan secara benar. Pemasangan lapisan geotekstil sepertinya tidak benar-benar dilakukan karena air tanah di sekitar TPA banyak tercemar air lindi. Saluran dan IPAL pun tidak berfungsi dengan baik.

Hal ini menimbulkan bom waktu. Warga di sekitar TPA Bantar Gebang menjadi marah karena air tanahnya tercemar. Warga di lokasi baru yang akan digunakan untuk mengelola sampah Jakarta, seperti di Bojong, Jawa Barat, juga marah. Mereka tidak percaya pemerintah dan mitra swastanya mampu mengelola sampah dengan baik.

Beberapa perusahaan swasta yang benar-benar ingin mengolah sampah di Jakarta mengungkapkan keyakinannya. Sampah-sampah di Jakarta tidak akan berhasil dikelola dengan baik kalau mental aparat pemerintah provinsi hanya memalak di sana-sini. Seharusnya pemerintah provinsi tidak perlu meminta pembagian keuntungan yang terlalu besar kepada para pengusaha sampah tersebut karena ujung-ujungnya mereka akan kabur. (LUSIANA INDRIASARI)

Post Date : 10 Januari 2005