|
Peristiwa bentrok antara warga Bojong dan aparat kepolisian perkara tempat pengolahan sampah terpadu meninggalkan luka mendalam. Bukan hanya secara fisik tujuh warga terkena tembak, tetapi juga secara psikis warga menjadi takut tinggal di rumah sendiri karena trauma dikejar aparat kepolisian. Polisi pun menjadi gamang karena tindakannya yang berlebihan banyak menuai kritik. Pada pihak lain, pemrakarsa proyek dan pemerintah dipandang melakukan tindakan memaksa karena tak melibatkan masyarakat dalam pengambilan keputusan yang berdampak pada kehidupan mereka. Mengapa masyarakat begitu gigih menolak tempat pengolahan sampah terpadu (TPST)? Sikap resisten masyarakat terhadap fasilitas pembuangan sampah dalam empat tahun terakhir ini makin meningkat. Tahun 1999 masyarakat mulai protes atas keberadaan Tempat Pembuangan Akhir Sampah (TPA) Bantar Gebang, Bekasi, yang telah mulai beroperasi sejak tahun 1992. Sistem sanitary landfill sebagaimana dijanjikan tidak dilaksanakan dengan baik. Dengan alasan keterbatasan tanah uruk, yang dilakukan hanyalah open dumping. Keresahan yang sama juga muncul di Keputih, Sukolilo, Surabaya, di mana masyarakat memblokir jalan masuk ke TPA. Penolakan ini dipicu oleh buruknya pengelolaan TPA. Memang hampir di semua kota, dinas kebersihan setempat mengklaim bahwa TPA-nya dikelola dengan sanitary landfill meskipun pada kenyataannya hanyalah open dumping. Alhasil pengelolaan sampah di hampir semua kota di Indonesia hanyalah mengangkut dan membuang. Akibatnya, daerah sekitar TPA penuh dengan ceceran sampah, lalat, bau, kumuh, dan kemungkinan terkena kontaminasi air tanah (leachate). Jalan menuju TPA yang dilalui truk-truk sampah dirasakan tak nyaman karena debu, bising, getaran, dan ceceran sampah. Permukiman yang dilewati sarana pengangkutan sampah serta daerah sekitar TPA menjadi daerah yang tidak nyaman. It is not a good place to live. Dampak ikutan dari ketidaknyamanan lingkungan tersebut memicu terjadinya penurunan nilai properti. Tanah dan rumah di sekitar TPA tidak saleable atau tidak madolke untuk dijual karena orang pada umumnya enggan untuk tinggal di sekitar TPA. Dampak-dampak negatif yang demikian inilah yang memicu masyarakat menolak rencana lokasi dan keberadaan TPA. Di negara-negara maju, seperti Amerika Serikat dan Kanada, fenomena penolakan keberadaan fasilitas pembuangan sampah telah muncul sejak awal tahun 1980-an yang disebut sebagai not in my back yard (NIMBY) syndrome. Artinya, jangan menempatkan fasilitas sampah di sekitar permukiman saya. Sikap masyarakat yang kemudian mewujud dalam bentuk amukan massa sebagaimana kita lihat di Bojong sebenarnya merupakan buah dari pandangan masyarakat akan dampak yang muncul sebagai akibat adanya proyek TPST. Dalam teori tentang dampak sosial sebagaimana dikemukakan oleh Homenuck (1988) terdapat dua tipe dampak sosial. Pertama, dampak standar, yakni dampak yang sifatnya umum, tangible, dan mudah diukur. Misalnya, bising, getaran, terbukanya lapangan kerja dan lapangan usaha, serta terjadinya kenaikan biaya hidup. Tipe dampak yang kedua adalah dampak sosial yang bersifat intangible atau perceived impact. Dampak ini muncul sebagai akibat dari adanya pandangan (persepsi) masyarakat tentang dampak yang akan terjadi. Misalnya, pandangan masyarakat di sekitar calon lokasi PLTN bahwa proyek tersebut akan menimbulkan sebaran limbah radioaktif jika terjadi kebocoran seperti peristiwa di Chernobyl atau di Jepang baru-baru ini. Pandangan ini menumbuhkan perasaan takut, waswas, dan stres. Perasaan yang demikian ini mewujud dalam bentuk sikap penolakan yang ujungnya bisa menjadi aksi perlawanan fisik. Contoh lain adalah ketika masyarakat di sekitar calon lokasi Waduk Nipah, Madura, yang melakukan pagar betis sebagai bentuk penolakan masyarakat terhadap rencana pembangunan waduk. Dalam pandangan masyarakat Nipah, proyek waduk adalah gambaran tentang kesedihan dan kesengsaraan seperti yang terjadi di Kedungombo di mana warga masyarakat harus melepaskan rumah dan sawahnya dengan ganti rugi yang tidak sepadan. Dari contoh-contoh di atas tidaklah mengherankan kita menyaksikan sikap masyarakat di Sukolilo, Surabaya, Bantar Gebang di Bekasi, dan juga masyarakat Marunda yang menolak relokasi TPA Cilincing. TPST memang bukan open dumping sebagaimana kita lihat di Bantar Gebang, Keputih, Sukolilo di Surabaya atau Jatibarang di Semarang. Namun, masyarakat sudah telanjur tak percaya pada ketidakmampuan teknologi dalam mengelola sampah. Kalau open dumping selama ini selalu dibungkus dengan istilah sanitary landfill, lalu apakah ada jaminan teknologi insinerator di TPST tidak akan berdampak buruk pada lingkungan sekitar? Lokasi pengolahan sampah di mana masyarakat adalah potret tempat yang buram dan kumuh. Bagaimana menyikapi? Penolakan masyarakat direspons dengan sikap emosional oleh para pejabat pemerintah. Dalam wawancara di televisi, Gubernur DKI Sutiyoso dengan nada marah menyesalkan sikap masyarakat. Bahkan, dengan pernyataan tambahan bahwa amuk massa warga Bojong akan menghambat investasi di negeri ini. Respons senada juga pernah dilontarkan Gubernur Sutiyoso ketika masyarakat Marunda menolak daerahnya dipergunakan sebagai tempat relokasi TPA Cilincing. Sikap emosional tentu saja tidak akan bisa menyelesaikan masalah. Bahwa amuk massa yang melakukan perusakan bukanlah sikap yang terpuji agaknya semuanya setuju, tetapi benang kusut manajemen sampah harus diurai dengan pikiran jernih disertai dengan kearifan. Pemerintah juga akan kalang kabut kalau fasilitas pengelolaan sampah ditolak di mana-mana. Produksi sampah dari tahun ke tahun terus menunjukkan peningkatan seiring dengan bertambahnya jumlah penduduk dan perubahan perilaku warga yang makin banyak menghasilkan sampah. Di Jakarta, jumlah sampah yang harus dikelola setiap harinya mencapai 6.000 ton. Tiga TPA di Bantar Gebang, Kosambi, dan Cakung tidak lagi memadai untuk menampung volume sampah tersebut. Di Semarang, angka produksi sampah mencapai 1.000 ton atau 4.000 m per hari. TPA Jatibarang yang merupakan satu-satunya tempat pembuangan tak memadai lagi. Sementara itu, studi kelayakan untuk memilih alternatif lokasi sebagai pengganti telah dilakukan sejak tahun 1998, tetapi lokasi definitif sampai saat ini belum didapatkan. Kasus di Jakarta dan Semarang menunjukkan bahwa kendati pun setiap orang memproduksi sampah, tetapi tidak setiap orang bersedia ketempatan sampah. Semua orang mafhum kalau pengelolaannya harus dibenahi. Namun, sudah bukan zamannya lagi pemerintah memaksakan kehendak di mana masyarakat harus menerima apa saja yang menjadi kebijakannya. Fasilitas pengelolaan sampah apa pun bentuknya: TPA, sanitary landfill, atau insinerator sudah saatnya dibahas secara terbuka karena termasuk proyek yang sensitif. Pemrakarsa proyek dan pemerintah harus membuka seluas-luasnya peran serta masyarakat sejak tahapan awal dari proyek. Di negara-negara maju, proses peran serta itu dibuka dengan berbagai forum seperti open house dan public hearing di mana masyarakat dapat mengetahui tentang lokasi, jalur transportasi, proses pengolahan, dampak yang akan terjadi, dan mitigasi yang direncanakan. Proses ini harus dibuka dengan alokasi waktu yang cukup untuk memberikan kesempatan bagi masyarakat memahami tentang proyek dan memberikan masukan. Jika masyarakat menyetujui, pengoperasian kegiatan masih harus dilakukan dengan masa percobaan. Masyarakat juga ikut memantau dengan terlibat dalam komite pemantauan. Proses yang demikian memang memakan waktu lama dan kadang-kadang melelahkan, tetapi dalam jangka panjang akan lebih sustainable. Proyek tidak akan diganggu oleh masyarakat karena mereka akan merasa menjadi bagian dari proses. Masyarakat juga merasa tidak terusik karena diyakini proyek tidak menimbulkan dampak buruk pada mereka. Di era reformasi seperti ini, social acceptance (penerimaan sosial) dari sebuah proyek menjadi hal yang sangat penting, apalagi kalau pengoperasiannya di tengah-tengah permukiman penduduk. Belajar dari kasus Inti Indorayon Utama (IIU) di Porsea, Sumatera Utara, kendati pabrik kertas ini telah memproklamirkan diri hadir dengan paradigma baru setelah diprotes penduduk, toh mereka masih tidak percaya. Akibatnya, sampai sekarang belum bisa melaksanakan operasi. Upaya komprehensif Di samping memperbaiki pengelolaan sampah bagian hilir, pemerintah sebaiknya juga mencari terobosan-terobosan pengelolaan dari sumbernya atau dari hulu. Mata rantai hulu bisa berarti menumbuhkan perilaku masyarakat untuk tidak banyak memproduksi sampah, misalnya dengan pola insentif seperti yang dilakukan Singapura. Retribusi sampah bagi warga Singapura didasarkan atas volume sampah yang diproduksi setiap harinya. Makin besar volume, makin tinggi iuran yang harus mereka bayar. Pemerintah Singapura juga memberlakukan denda bagi pengunjung rumah makan yang menyisakan makanan pesanannya. Di AS dan Kanada, skema di hilir sudah lebih komprehensif. Bukan hanya dilakukan oleh pemerintah, tetapi juga oleh supermarket yang memberikan insentif satu sampai dua dollar AS bagi pengunjung yang membawa kantong belanjaan sendiri dari rumah. Langkah ini merupakan upaya mengurangi jumlah sampah (reduce). Upaya-upaya lain, seperti recycle, mendayagunakan sampah organik menjadi kompos, reuse (menggunakan sesuatu yang bisa dimanfaatkan lagi), dan replace (mengganti sesuatu sebagai alternatif yang lebih akrab lingkungan), perlu diprogramkan. Penanganan sampah secara komprehensif memang harus segera dimulai. Penggunaan teknologi di bagian hilir memang perlu, tetapi belum cukup. Apalagi kalau penerapan teknologi itu dilakukan dengan pendekatan birokratis, maka sindrom sampah akan terus tumbuh. Kalau itu terus terjadi, bukan hanya pemerintah yang kelabakan, kita sebagai warga masyarakat juga akan dibikin sewot! Sebab, sampah di sekitar kita akan tidak terurus. Dan cepat atau lambat akan tersebar aroma tidak sedap. Sudharto P Hadi, Pengajar Manajemen Lingkungan Universitas Diponegoro, Semarang Post Date : 07 Desember 2004 |