SEIRING dengan perayaan Hari Air Sedunia tanggal 22 Maret 2011 lalu, perlu sejenak kita merefleksikan seberapa jauh negara kita sudah mampu memberikan kebutuhan infrastruktur air bagi seluruh penduduknya. Salah satu indikator kapasitas pemerintah ialah dengan melihat besarnya pendanaan yang disediakan pemerintah untuk memenuhi kebutuhan masyarakatnya.
Apakah anggaran itu cukup untuk memenuhi kebutuhan penduduk? Sangat sulit memperkirakan jumlah anggaran yang diperlukan untuk memenuhi kebutuhan 230 juta warga. Kondisi geografis, iklim, lokasi penduduk, jenis teknologi, dan kualitas sistem sangat bervariasi. Karena itu, yang bisa dilakukan ialah mencoba membandingkan besarnya anggaran dan tarif air yang berlaku, dibandingkan dengan pencapaian akses kebutuhan air minum. Kita juga dapat menyandingkan kondisi ini dengan kondisi dua negara lainnya, misalnya Malaysia dan Amerika Serikat, yang sudah mampu mencapai hampir 100% pemenuhan air penduduknya.
Berdasarkan informasi National Geographic (2010), har ga air per meter kubik di Kuala Lumpur hanya sekitar Rp2.500. Sementara di Amerika Serikat berkisar antara Rp7.800 dan Rp43.600, bergantung pada kondisi geografis yang memengaruhi tingkat kesulitan akses air. Harga air rata-rata di Jakarta sendiri diperkirakan sekitar Rp7.500. Bisa dilihat bahwa harga air di Kuala Lumpur jauh lebih murah bila dibandingkan dengan harga air Jakarta dan Amerika Serikat.
Sementara itu, data dari Joint Monitoring Programme WHO 2008 menyebutkan, sejak 1990 Indonesia hanya mampu meningkatkan pemenuhan air minum bagi penduduknya sebesar 9% dalam waktu 18 tahun, yaitu dari 71% pada 1990 menjadi 80% pada 2008.
Malaysia yang pada 1990 baru memenuhi 88% kebutuhan minum penduduk--mengklaim sudah mencapai 100% pada 2005, yang berarti kenaikan sekitar 12% selama 15 tahun. Amerika Serikat tetap stabil sebesar 99% selama kurun waktu itu.
Jika melihat kondisi ini, dengan kalkulasi harga air tersebut ditambah anggaran sarana air minum perumahan sebesar Rp3 triliun atau 0,4% dari APBN, pemerintah tampaknya belum bisa memenuhi kebutuhan air minum seluruh penduduk Indonesia, seperti yang dilakukan kedua negara lainnya. Sangat kompleks Apa yang bisa dilakukan untuk memenuhi kebutuhan air minum masyarakat? Pemerintah telah mengeluarkan kebijakan nasional air minum dan penyehatan lingkungan berbasis masyarakat (AMPL BM), yang berangkat dari kesadaran bahwa pemerintah tidak akan mampu bekerja sendirian dalam mengatasi permasalahan kebutuhan air minum yang sangat kompleks.
Karena itu, masyarakat perlu berperan aktif agar mampu mengatasi permasalahan air ini dan pemerintah berperan sebagai fasilitator.
Pertanyaannya, apakah masyarakat memang dianggap sudah mampu berinvestasi bagi sistem pemenuhan kebutuhan air minum yang membutuhkan biaya tidak kecil? Bagaimana dengan masyarakat miskin yang bahkan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari saja sulit? Apalagi salah satu dari 11 prinsip dalam kebijakan AMPL BM adalah keberpihakan kepada masyarakat miskin.
Untuk menjawab pertanyaan itu, mari kita melihat realitas masyarakat miskin di perkotaan yang belum mampu mengakses PDAM, seperti daerah perkotaan Jakarta dan Surabaya. Harga air yang me reka harus beli sekitar Rp1.000 sampai Rp1.500 per galon atau kira-kira Rp50.000 sampai dengan Rp75.000 per meter kubik. Ada juga sistem penyelangan dari keran tetangga yang dipatok sebesar Rp8.000 per jam. Coba bandingkan dengan iuran PAM Jaya dan Palyja (2007) di Jakarta untuk golongan IV B atau rumah mewah yang sekitar Rp12.550 per meter kubik.
Dengan demikian, masyarakat miskin sebenarnya justru membayar lebih mahal daripada para pengguna PDAM. Hanya saja, besar investasi awal untuk pemasangan sambungan PDAM yang cukup mahal, status tempat tinggal, dan kependudukan membuat mereka tidak dapat mengakses jaringan PDAM.
Kita juga bisa melihat bagaimana penjualan air kemasan begitu laku di pasaran, dengan harga per galon (19 liter) hampir setara dengan iuran PDAM per meter kubik (1.000 liter) untuk rumah mewah.
Padahal, menurut standar WHO, air kemasan termasuk sumber air tidak layak minum (unimproved water source) karena belum jelasnya pengawasan kualitas air minum kemasan tersebut. Dengan kenyataan seperti ini, lagi-lagi pertanyaannya, di mana keberpihakan terhadap masyarakat miskin itu bisa terjadi dalam sektor air minum?
Memusingkan Dilema antara mengatasi biaya air minum yang besar dan keberpihakan kepada masyarakat memang cukup memusingkan, bahkan sering dijadikan isu politik. Sering kali keputusan mengenai harga air ledeng ataupun alokasi anggaran air minum tidak berdasarkan kebutuhan riil, tapi lebih sebagai senjata untuk menarik simpati masyarakat.
Pengelola air minum pun tidak sanggup melakukan fungsinya dengan baik karena minimnya biaya, sehingga masyarakat juga yang kembali menjadi korban disebabkan kurang optimalnya akses dan pengolahan mutu air minum. Risiko kesehatan, seperti penyakit menular lewat air, menurunnya stamina tubuh seperti ginjal, kulit, serta bahaya kontaminasi limbah menjadi beban yang ditanggung masyarakat akibat sistem manajemen air minum yang tidak merata dan terpelihara.
Karena itu, harus segera dipikirkan pemecahan masalah pembiayaan ini. Jika selama ini pemerintah menggantungkan diri kepada hibah dan pajak untuk investasi awal, sekarang perlu juga mengakses alternatif sumber lainnya, seperti melibatkan sektor swasta maupun publik dalam bentuk saham, obligasi dan pinjaman.
Akan tetapi, ada kekhawatiran berbagai pihak, jika swasta mulai dilibatkan dalam pengadaan air minum, harga air bisa melambung tinggi untuk mendapatkan laba usaha, seperti contoh kasus air minum kemasan tersebut.
Akhirnya, semuanya berpulang lagi kepada kemampuan pemerintah dan masyarakat untuk melakukan pengendalian terhadap harga air minum melalui kebijakan dari tingkat lokal sampai dengan tingkat nasional. Yang perlu diingat, air minum adalah anugerah Tuhan yang berhak diakses setiap makhluk hidup (barang sosial).
Namun, perlindungan dan pengolahan sumber air minum yang layak bagi kesehatan, jaringan distribusi dari sumber ke konsumen, serta pengolahan limbah air yang sudah digunakan agar tidak mencemari sumber yang ada membutuhkan biaya yang tidak kecil, mau tidak mau air menjadi barang ekonomi juga.
Sebagai pengguna, baik masyarakat maupun pemerintah, kita semua perlu menyadari bahwa bagaimanapun kita harus mau menanggung bersama harga air demi keberlangsungan hidup kita dan anak-anak. Margarettha Christine Siregar
Post Date : 24 Maret 2011
|