|
Setiap puncak musim hujan, warga Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta, selalu direpotkan dengan datangnya banjir kiriman dari sungai-sungai besar yang berhulu di Gunung Merapi. Mulai Senin (23/1), relawan bersama warga bahu-membahu memantau kondisi aliran sungai dan ancaman longsor melalui 10 pos pemantauan. Ancaman banjir yang terjadi secara rutin itu pelan-pelan menjauh dari warga Bantul, khususnya yang berdiam di sekitar bantaran sungai. Lima sungai besar yang berhilir di kawasan ini, yakni Sungai Opak, Gajah Wong, Code, Bedog, dan Progo, sudah mulai bisa dijinakkan. Dulu, karena berada di daerah muara, beberapa wilayah Bantul rawan terendam. Pada puncak musim hujan Februari 2011, misalnya, curah hujan yang tinggi mengakibatkan 35 hektar tanaman bawang merah dan padi di Kecamatan Plered dan Sanden terendam. Akibatnya, daun bawang merah layu dan umbinya membusuk. Begitu pula tanaman padi yang terendam berhari-hari. Kerugian yang diderita petani akibat banjir pada Februari 2011 itu mencapai Rp 300 juta-Rp 400 juta. Tahun ini, banjir kembali terjadi. Namun, banjir tak hanya terjadi di sungai-sungai besar, tetapi juga di sungai-sungai kecil. Sebagai contoh, hujan deras pada Selasa (17/1) mengakibatkan Sungai Celeng yang mengalir dari Plered ke Imogiri meluap. Luapannya menggenangi dua dusun, yaitu Dusun Nagasari, Desa Wukirsari, Kecamatan Imogiri, dan Dusun Gejayan, Desa Girirejo, Kecamatan Imogiri. Meski hanya sungai kecil, luapan Sungai Celeng mampu menggenangi permukiman penduduk hingga setinggi lutut orang dewasa. Luapan banjir paling parah terjadi di Dusun Gejayan karena banjir sampai menggenangi sumur warga. Ancaman banjir di Bantul memang relatif merata. Di sisi timur, Sungai Opak dan Gajah Wong berpotensi meluap dan menggenangi area Piyungan, Plered, dan Imogiri. Kemudian di sisi tengah, aliran Sungai Code dan Winongo berpotensi meluap dan merendam daerah Sewon, Jetis, dan Kasihan. Begitu pula di sisi barat, aliran Sungai Bedog mengancam sebagian daerah Kasihan, Sewon, dan Pajangan. Kepala Seksi Data dan Informasi Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) Yogyakarta Tonny Agus Wijaya mengatakan, pertengahan Januari hingga pertengahan Februari merupakan puncak musim hujan di Yogyakarta. Pada puncak musim hujan ini, curah hujan antara 150 milimeter dan 200 milimeter per 10 hari. ”Bulan ini adalah puncak musim hujan. Tapi, sifat hujan kali ini khusus karena hujan cenderung terkumpul pada jangka waktu yang pendek, waktunya singkat, tapi curah hujannya tinggi,” kata Tonny. Karena terkonsentrasi pada waktu yang pendek tetapi lebat, hujan pada Januari ini berpotensi mengakibatkan bencana, seperti banjir atau longsor. Dengan kondisi ini, menurut Tonny, masyarakat perlu waspada terhadap ancaman bencana jika hujan turun deras dengan curah hujan di atas 20 milimeter per jam atau di atas 100 milimeter per hari. Pos pemantauan Untuk memantau kondisi sungai-sungai tersebut, Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Bantul bersama masyarakat yang tergabung dalam Forum Pengurangan Resiko Bencana (FPRB) mendirikan 10 pos pemantauan yang tersebar di Bantul. Awalnya mereka hanya berniat mendirikan 9 pos pemantauan. Namun, melihat ancaman banjir juga terjadi di sungai-sungai kecil seperti Sungai Celeng, mereka menambah satu posko pemantauan lagi di Desa Girirejo, Imogiri. ”Sebanyak 10 pos pemantauan ini terdiri dari tujuh pos pemantauan banjir dan tiga pos pemantauan longsor,” kata Kepala Seksi Kedaruratan dan Logistik BPBD Bantul Dewanto Dwipoyono. Pendirian tiga pos pemantauan longsor mendesak dilakukan. Sebab, pada pertengahan Januari ini terdapat enam daerah longsor di Bantul. Keenam daerah itu berada di Desa Bawuran, Plered, Desa Karangalun, Imogiri, Desa Kembangsongo, Jetis, Desa Mangunan, Dlingo, Desa Sitimulyo, Piyungan, dan Desa Wonolelo, Plered. Di Desa Wonolelo, empat rumah bahkan tertimpa longsor dengan tingkat kerusakan 25-50 persen. Relawan Berlandaskan keprihatinan yang sama, sekitar 90 warga di beberapa desa mengajukan diri menjadi relawan di 10 pos pemantauan. Mulai Senin (23/1), setiap hari sembilan relawan bersiaga memantau kondisi sungai-sungai serta lereng- lereng pegunungan yang rawan longsor. Mardudatun, Kepala Dusun Banyon, Desa Pendowoharjo, Sewon turut aktif menjadi relawan di daerahnya. ”Jika ketinggian air Sungai Bedog naik 50 sentimeter, wilayah Kecamatan Bantul dan Pandakan pasti kebanjiran,” ucapnya. Pada saat hujan turun, Mardudatun dan para relawan wajib melaporkan kondisi sungai-sungai kepada posko pusat di Kantor BPBD Bantul. Karena peralatan handy talkie (HT) terbatas, sebagian besar relawan melaporkan kondisi di lapangan menggunakan layanan pesan singkat (SMS) telepon seluler. Kepada para relawan, BPBD Bantul hanya memberikan bantuan seadanya, seperti jas hujan, sepatu bot, dan tenda. Meski bekerja dengan peralatan terbatas, para relawan total bekerja. ”Pemerintah daerah tak memberikan bayaran sepeser pun kepada para relawan. Kami hanya menyediakan makan seadanya,” kata Dwi Daryanto, Kepala BPBD Bantul. Untuk menghadapi ancaman bencana, Pemkab Bantul telah menyiapkan dana tanggap darurat sebesar Rp 3,5 miliar. Semua pemangku kepentingan ikut berpartisipasi. Aloysius B Kurniawan Post Date : 27 Januari 2012 |