Si Jorok yang Membawa Rezeki

Sumber:Media Indonesia - 14 Mei 2010
Kategori:Sampah Jakarta

‘’KAMI hanya mencari limbah plastik dan kemudian membawa ke rumah untuk dikumpulkan,’’ kata Bonar, 33, pemulung yang ditemui di Tempat Pengolahan Sampah Terpadu (TPST) Bantar Gebang, Kota Bekasi, Jawa Barat, beberapa waktu lalu.

Bonar bersama 6.000 pemulung lainnya berjibaku dengan gunungan sampah di TPST Bantar Gebang. Setiap kali truk-truk pengangkut sampah datang, para pemulung itu memburu berbagai jenis plastik seperti gelas/botol bekas air mineral, pembungkus makanan/minuman hingga pembungkus peralatan sisa industri.

Meski harus tidur beralaskan terpal plastik, Bonar rela asalkan bisa menghidupi istri dan anaknya.

Rumah nonpermanen berukuran 4x4 meter persegi menjadi saksi bisu kehidupan Bonar yang dekat dengan gunungan sampah.

Ayah tiga anak ini berusaha menghidupi keluarga dengan bekerja sebagai pemulung plastik. Profesi yang digeluti sejak lima tahun silam itu dilakukan lantaran tidak memiliki pekerjaan layak.

‘’Limbah plastik merupakan bisnis menjanjikan yang bisa dicapai jika ditekuni,’’ imbuh Bonar seraya menyingkirkan kotoran yang menempel di plastik hasil pungutannya.

Berkat kegigihannya, pria asal Karawang ini mampu mengumpulkan 1 ton plastik bekas per bulan. Namun, jumlah sebanyak itu baru dapat dicapai kalau dia benar-benar niat mencari plastik.

‘’Jumlah pemulung di sini (Bantar Gebang) ribuan, terkadang sulit karena harus bersaing dengan mereka.’’ Di tengah kumuhnya lingkungan TPST Bantar Gebang, kegiatan memulung limbah plastik ternyata menebarkan aroma wangi. Fulus yang dihasilkan mampu menghidupi ribuan pemulung.

Namun sayang, Bonar hanya sebatas pengumpul. Karena tidak memiliki mesin pencuci limbah plastik, para pemulung akhirnya menjual limbah plastik yang mereka kumpulkan. Keterbatasan dana untuk membeli mesin pencuci limbah plastik dan detergen adalah alasannya.

Setali tiga uang, Saemih, 54, mengatakan plastik yang telah dibersihkan memiliki harga jual lebih tinggi jika dibandingkan dengan plastik kotor.

‘’Kalau kita bersihkan kotorannya, tidak ada waktu untuk mencari plastik lain di tumpukan sampah. Kami biasanya menjual plastik yang masih kotor,’’ ujar nenek lima cucu ini.

Untuk plastik kotor, lanjutnya, para pembeli menawarkan harga Rp300-Rp400/kilogram. Sementara itu, plastik yang telah dicuci serta dikeringkan bernilai Rp650-Rp800/kilogram. Dalam satu bulan, transaksi jual beli biasanya dilakukan tiap dua pekan dan para pembeli itu sendiri yang mendatangi permukiman pemulung lalu membawa plastik tersebut ke perusahaan pembuat biji plastik.

Diatur bos Agar penjualan berjalan lancar, para pemulung umumnya memiliki kelompok-kelompok kecil yang dikoordinasi pengepul atau bos tukang pulung. Lokasi permukiman mereka terpisah-pisah sesuai dengan lahan yang diberikan sang bos.

Bos pemulung bertanggung jawab membayar sewa lahan yang didiami pemulung. Manfaatnya, pemulung tidak perlu khawatir limbah plastiknya tidak laku. Karena pengepul sudah memiliki jaringan khusus dengan tiap-tiap perusahaan. ‘’Pemulung di sini cuma mengikuti aturan bos.

Kami tidak bisa melawan karena kami diberikan rumah tanpa diminta uang sewa. Tugas pemulung mencari limbah plastik dan melaporkan kepada bos berapa yang berhasil kami kumpulkan lalu dijual,’’ kata Saemih yang 12 tahun berprofesi sebagai pemulung.

Kendati demikian, perlu diakui bahwa para pemulung seperti Bonar dan Saemih telah meringankan beban Jakarta dari tumpukan limbah plastik. Benar adanya pemulung hanya mengambil sampah yang memiliki nilai jual kembali, tapi patut diingat bahwa profesi kaum ekonomi lemah ini telah banyak membantu menjaga kelangsungan hidup alam dari benda yang tidak bisa terurai oleh tanah. (Golda Eksa/E-6)



Post Date : 14 Mei 2010