|
Batam, Kompas - Warga Kompleks Perumahan Legenda Malaka, Kota Batam, Provinsi Kepulauan Riau, berunjuk rasa memprotes pembangunan kompleks rumah toko di kawasan hutan tepat di atas lokasi permukiman. Akibat pembangunan itu, setiap hujan deras mengguyur, banjir menggenangi perumahan. Saya sudah tinggal di kompleks ini sejak lima tahun lalu dan tidak pernah kebanjiran sampai hutan di atas kawasan hutan ini ditebang habis. Padahal, kawasan hutan tersebut sesuai penataan kompleks pada tahun 2002 diperuntukkan sebagai hutan tangkapan air. Begitu gundul, kompleks perumahan kami pun diterjang banjir setiap kali hujan datang, kata warga Legenda Malaka, Widodo, Selasa (21/2). Widodo bersama puluhan warga lainnya, mewakili penghuni kompleks, Selasa kemarin mendatangi Direktur Pembangunan Otorita Batam Wayan Subawa. Seusai menemui Subawa, mereka melanjutkan protesnya dengan mendatangi Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kota Batam. Warga meminta agar Pemerintah Kota Batam mencabut izin pembangunan rumah toko (ruko) dan mengembalikan fungsi kawasan itu sebagai peruntukan hutan tangkapan air. Wayan Subawa menyatakan menerima laporan warga itu dan akan menyelidiki latar belakang pembangunan kompleks ruko tersebut. Kami akan meneliti dulu laporan itu sebelum mengambil langkah apa pun, katanya. Kasus yang menimpa warga Legenda Malaka juga dialami warga banyak kompleks permukiman lain di Kota Batam. Banjir selalu melanda kawasan permukiman mereka setiap hujan datang mengguyur, seperti di daerah Batu Aji. Anehnya, penggundulan hutan terus dilakukan dengan dalih pemenuhan kebutuhan masyarakat akan tempat tinggal serta pengembangan pusat industri dan bisnis. Alih fungsi Degradasi kawasan hutan di Kota Batam yang dialihfungsikan meningkat tajam selama 20 tahun terakhir. Tahun 1985, Otorita Batam bersama Departemen Kehutanan melakukan survei dengan hasil 23.430 hektar di Batam adalah kawasan hutan. Tahun 1992-1994, luas hutan di Batam 12.074 hektar, yang terdiri 10.009 hektar hutan lindung dan 2.065 hektar hutan wisata. Pada tahun 1992, Lembaga Teknologi Universitas Indonesia melakukan evaluasi atas masterplan yang dibuat oleh Otorita Batam itu. Hasilnya sempat mencengangkan karena rekomendasinya bahwa beberapa lokasi kawasan hutan dapat digunakan sebagai kawasan terbangun dengan luas 2.235 hektar. Dengan dasar itu, pihak Otorita Batam mengusulkan hutan pengganti seluas 3.523 hektar, yang terdiri dari kawasan hutan yang belum ditunjuk seluas 2.517 hektar dan kawasan hutan yang telah ditunjuk seluas 1.006 hektar. Jika itu disetujui, kawasan hutan di Batam menjadi 13.363 hektar atau 33,7 persen, dan itu sesuai dengan Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999. Namun, kondisi hutan lindung tahun 2005 hingga kini sangat memprihatinkan. Kawasan hutan di kanan dan kiri jalan tembus Batam-Rempang-Galang terus dibuka secara liar. Hutan secara perlahan sudah mulai menjadi lahan tumbuhnya rumah liar dan selebihnya menjadi ladang liar tempat warga menanam ubi kayu dan cabai. Sebagian lahan hutan juga resmi menjadi lokasi perumahan yang mengantongi izin dari pemerintah setempat. (nel) Post Date : 22 Februari 2006 |