|
Hasil penilaian Tim Bangun Praja dalam rangka Adipura oleh Kementerian Lingkungan Hidup pada Agustus 2004 dan Desember 2004 lalu, seolah menjadi tamparan keras bagi Kota Semarang. Menurut tim itu, skor Kota Semarang mengalami penurunan, atau dengan kata lain ibu kota Jateng ini makin kotor. Berikut laporan wartawan Suara Merdeka Renjani Puspo Sari, Ninik Damiyati, dan Purwoko Adi Seno tentang penanganan sampah di kota ini. BANYAK tempat yang didatangi Tim Bangun Praja untuk dinilai dan kebanyakan hasilnya memang mengalami penurunan. Sebuah contoh di titik pantau perumahan. Semula titik pantau itu mendapat skor 70,95, namun kemudian turun menjadi 70,58. Contoh lain juga terjadi pada titik pantau sejumlah jalan protokol, yakni dari 71,74 menjadi 68,93, pasar 65,46 menjadi 55,90, pertokoan 69,95 menjadi 67,41, dan terminal bus/angkot 65,47 menjadi 64,28. Ketika penilaian itu dicocokkan dengan pengamatan, hasilnya ternyata tak jauh berbeda. Pasar Johar misalnya, sampahnya selalu berserakan di berbagai sudut. Akibatnya, pasar tersebut selalu menghadirkan pemandangan kumuh dan kotor. Problem sampah juga terkait dengan beberapa sungai di Kota Semarang. Dalam penilaian Tim Bangun Praja, skor sungai dan saluran memang meningkat dari 60,42 ke 63,42. Namun secara visual bisa dilihat bahwa kondisi beberapa sungai, seperti Kali Semarang dan Kali Banger memprihatinkan. Berbagai kekurangan itu ternyata cukup merisaukan banyak pihak, bukan hanya Pemkot melainkan juga kalangan masyarakat. Banyak pihak menyadari, persoalan sampah tidak hanya menyangkut teknis distribusi, tetapi juga menyangkut masalah sosial. Upaya mengajak warga agar lebih peduli lingkungan pun dilakukan, antara lain dengan program Resik-resik Kutha yang diprakarsai Suara Merdeka, New Exi Production, Djarum 76, dan Pemkot. Gerakan itu juga melibatkan masyarakat, pemerintah di luar Pemkot, militer, polisi, serta berbagai unsur lain. "Upaya semacam itu bukan hanya untuk memperoleh Adipura, melainkan mengajak warga agar lebih peduli lingkungan," kata Pejabat Wali Kota Semarang Drs Saman Kadarisman dalam beberapa kali kesempatan. Upaya semacam gerakan Resik-resik Kutha, hanyalah bagian dari upaya mengatasi persoalan sampah yang tak pernah berakhir. Salah satu persoalan serius adalah penegakan hukum. Kali Semarang yang sering dipenuhi sampah merupakan salah satu contoh pelanggaran Perda No 6 Tahun 1993. Dalam perda itu jelas diatur tentang sanksi denda maksimal Rp 50.000 dan kurungan paling lama tiga bulan. Sayangnya, baru dalam beberapa pekan terakhir ini Satpol PP Kota Semarang yang di dalamnya termasuk penyidik pegawai negeri sipil (PPNS) melakukan operasi yustisi. Mestinya tindakan semacam itu dilakukan secara rutin dan terus-menerus, sehingga masyarakat tidak merasa dipaksa untuk disiplin. Sementara itu, jumlah sampah yang kian banyak juga menjadi masalah tersendiri. Data Dinas Kebersihan menunjukkan, pada 2003 Kota Semarang menghasilkan 2.500 meter kubik sampah. Kepala Dinas Kebersihan Cahyo Bintarum mengemukakan, pada 2004 hingga Februari 2005, produksi sampah meningkat menjadi sekitar 4.000 meter kubik per hari. Dari jumlah itu, yang diangkut ke TPA sekitar 2.650 meter kubik per hari. Sampah-sampah itu didistribusikan ke tempat pembuangan akhir (TPA) Jatibarang menggunakan sekitar 350 kontainer. Menurutnya, jumlah itu sebenarnya belum memenuhi kebutuhan. Kota Semarang paling tidak masih membutuhkan 175 kontainer lagi. "Selama ini sampah yang tidak terangkut ke TPA Jatibarang, dikelola sendiri oleh penduduk," kata dia. Pengolahan Aman Besarnya input sampah di Kota Semarang memerlukan penanganan serius. Beberapa kendala yang dihadapi Pemkot adalah kurangnya dana pengolahan sampah dan keterbatasan lahan. Selama ini, konsentrasi pembuangan sampah ada di TPA Jatibarang. Maka jika penuh, bakal muncul masalah lagi yakni mencari lahan baru untuk TPA. Pola efektif untuk mengatasi persoalan sampah, menurut pengajar Teknik Lingkungan Undip Syafrudin, adalah sanitary landfill dan control landfill. Setiap tumpukan sampah yang sudah penuh di dalam ceruk kemudian ditutup dengan bahan kedap air. Karena sekitar 70% sampah berasal dari bahan organik maka lahan tersebut memerlukan saluran lindi. Saluran itu berfungsi untuk mengalirkan cairan atau uap air dari tumpukan sampah, ke kolam instalasi pengolahan limbah. Bila pembuangan sampah tidak ditutup, peluang kebakaran akan sangat tinggi. Menurut dia, sampah memiliki gas metana atau zat CH4 yang setiap waktu dapat meletup ke udara jika bertemu dengan oksigen atau O2. Gas itu banyak ditemukan pada sampah basah atau organik. Namun sayang, biaya untuk mengadopsi pola sanitary landfill terbilang tinggi. Persoalan keuangan menjadi faktor pertama yang terungkap dalam rapat tersebut. "Tidak ada anggaran yang jelas untuk pengelolaan sampah. Kalau boleh dikatakan, anggaran masih kurang dari 0,5% dari total APBD," ungkap Widianto, Kepala Urusan Limbah Dinas Kimtaru Jateng. Pengelolaan sanitary landfill selama ini memang menjadi pola yang paling disarankan. Lahan TPA pascaoperasi yang telah ditutup dapat dimanfaatkan sebagai kegiatan restorasi melalui pertanian. Namun, penumpukan sampah pada TPA atau TPS tidak boleh melebihi batas ketinggian yang wajar. Artinya, tumpukan sampah di tempat pembuangan sampah (TPS) tidak boleh lebih dari 10 meter. Jika tidak, potensi longsor pembuangan itu akan sangat besar seperti yang terjadi di TPA Leuwigajah, Bandung. Apalagi, bila lokasi TPS ternyata berdekatan dengan pemukiman penduduk. Namun sayang, sejumlah terminal terakhir di kota ini seringkali mencapai ketinggian hingga 70 meter. "Ketinggian sampah pada ukuran 10 meter sampai 50 meter akan menimbulkan gaya. Kalau sampai bergerak sedikit saja, kekuatannya bisa meruntuhkan rumah di sekitarnya. Sebab, sampah mengandung air sehingga potensi tenaga airnya luar biasa," ujar Robert Kodoatie, pengajar Fakultas Teknik Sipil Universitas Diponegoro dalam Rapat Koordinasi dan Evaluasi Pengelolaan Persampahan Se-Jawa Tengah di Kantor Dinas Kimpraswil Jateng, kemarin. (73s) Post Date : 18 Maret 2005 |