|
BAU tak sedap di tempat pembuangan akhir sampah atau di selokan yang menyebar ke mana-mana tidak dihiraukan Andy Sya'bhan. Tanpa perasaan risi karena kotor, ayah tiga anak, penduduk Gang Elos III Rt 05/03, Kelurahan Muka, Cianjur, Jawa Barat yang berada dikerumunan pemulung itu, memunguti satu persatu styrofoam yang bertebaran, tanpa harus takut diambil orang lain. Di mata para pemulung lainnya, benda yang sebelumnya digunakan untuk meredam getaran barang-barang elektonik itu, merupakan sampah dari segala sampah karena tidak bisa diduitkan. Tidak ada seorang pun bandar yang bersedia menampungnya. Sebaliknya jika masuk perairan, benda tersebut akan terapung dan mengotori permukaan air karena ringan seperti gabus. Jika berada di tempat-tempat penimbunan, styrofoam tidak akan hancur walaupun sudah berbulan-bulan tertimbun sampah lainnya. Satu-satunya jalan, penghancurannya dilakukan dengan cara dibakar. Sampah dari segala sampah inilah yang selama lebih dari sepuluh tahun lebih digeluti Andy. Dari sebuah benda yang tidak punya nilai ekonomi sama sekali, Andy menyulapnya menjadi barang-barang kerajinan. Ruang tamu dan ruang makan yang sempit, berukuran sekitar 2,5 X 5 meter yang dijadikan sanggarnya, dipajang puluhan jenis hasil karyanya. Ada cermin hias, pigura, kotak tisu, tempat map sampai lampu gantung warna-warni berjubel memenuhi ruangan. "Sebagian besar terbuat dari styrofoam dan sebagian lagi dari kertas bekas," katanya bangga. Barang-barang lainnya yang dijadikan pelengkap hasil kerajinannya semuanya berasal dari tempat pembuangan sampah. Kecuali bensin yang digunakan sebagai bahan campuran, hampir tidak ada barang lainnya yang harus dibeli. PERSAHABATAN Andy dengan sampah sudah berlangsung sejak duduk di bangku Sekolah Menengah Pertama (SMP). Kesadaran tersebut tumbuh lebih karena lingkungan perkampungannya yang kumuh. Gang Elos terletak pada ruas Jalan Raya Dr Muwardi yang membelah pusat kota Cianjur. Lebar jalan masuk kurang dari dua meter. Walau terletak di belakang toko-toko yang menjajakan asinan dan oleh-oleh khas Cianjur, perumahan di belakangnya merupakan pemukiman penduduk yang padat. Letaknya berhimpit-himpitan, sehingga penghuni yang satu bisa mengetahui apa yang terjadi di rumah tetangganya. Karena ketinggian permukaan tanahnya berada sekitar setengah meter dibanding permukaan jalan raya, pada musim hujan, sampah di sekitar perumahan penduduk bertebaran kemana-mana terbawa hanyut air banjir. Supaya tidak menyumbat saluran atau solokan sehingga air solokan meluap, penduduk berusaha mengangkatnya secara gotong-royong. Pengalaman itu terus berulang setiap hujan melanda daerahnya, sampai suatu saat, kesadarannya muncul. "Mestinya sampah-sampah tersebut bisa dimanfaatkan," ia mengenang masa kecilnya. Tetapi ia tidak membayangkan, dari sesuatu yang mulanya hanya iseng-iseng, akhirnya menjadi kegiatan yang mengantarkan dirinya sebagai perajin yang menggunakan berbagai macam limbah. Selain styrofoam, Andy menggunakan limbah apapun yang menurutnya bisa digunakan. Ada yang berasal dari serabut kelapa, kain perca, pecahan bola plastik dan sampah lainnya yang tidak dilirik oleh pemulung lainnya. Walaupun barang hasil kerajinannya berasal dari tempat pembuangan sampah, ia tidak merasa rendah diri dalam menjajakannya bersama perajin lainnya. Pernah untuk promosi, tamatan Sekolah Teknologi Menengah (STM) di Cianjur itu mengikuti berbagai pameran. Gubernur Danny Setiawan pernah memuji usahanya dalam memanfaatkan limbah untuk bahan baku kerajinan. Ketika mengikuti pameran Jawa Barat Export (Jabex) di Bandung, ia merasa bersyukur karena hasil kerajinannya dilirik pembeli dari luar negeri. "Dibanding orang kita, orang-orang bule lebih menyukai kerajinan yang berasal dari limbah," ia mengungkapkan pengalamannya. Mereka membeli cermin hias. Bentuk cerminnya yang segitiga bukan karena dipotong seperti itu, tetapi merupakan bentuk asli pecahan kaca yang berasal dari tempat pembuangan sampah. Pada ketiga sisi cermin tersebut dibingkai adonan styrofoam bercampur bensin sehingga menyerupai bingkai pigura. DARI sisi estetika, barang-barang yang dihasilkan Andy terkesan "norak". Bukan karena bahan bakunya yang berasal dari berbagai jenis sampah. Akan tetapi bentuk, warna dan hiasan serta asesorisnya, hampir bisa dikatakan tidak memiliki nilai estetis dan tidak mengenal desain sehingga merupakan kelemahan yang harus segera diperbaiki. Bahkan, barang hasil kerajinannya terkesan "sekenanya" karena bahan-bahan tersebut ditempatkan tanpa memperhitungkan proporsinya. Padahal, jika saja ia mampu menerapkan faktor-faktor estetika dalam hasil kerajinannya, maka produknya akan memiliki nilai tambah yang lebih tinggi. Yang terakhir ini, sayangnya kurang mendapat perhatian, terutama dari pemerintah daerah setempat yang seharusnya memberikan bimbingan kepada perajin di daerahnya. Apalagi bahan baku yang digunakannya berasal dari bahan-bahan yang sebelumnya terbuang percuma. Jika terpaksa harus mengeluarkan uang, paling untuk ongkos. "Satu truk hanya Rp 10.000," ujarnya. Selanjutnya kisah Andy adalah kisah orang kecil dengan idealisme tinggi. Dengan modal tersebut, ia berkeliling ke daerah-daerah di sekitar Cianjur, Sukabumi, Bogor sampai Depok dan daerah lainnya. Tanpa bantuan fasilitas, ia mendatangi sekolah-sekolah dan kemudian menawarkan diri memberi bimbingan pembuatan kerajinan dari limbah ke murid-murid Sekolah Dasar, Sekolah Lanjutan Pertama (SLTP) dan lembaga-lembaga pendidikan lainnya. Di depan anak didik, mantan tukang cat itu mempraktekkan kemampuannya mengolah bahan-bahan yang sebelumnya merupakan sampah. Sekadar imbalan, terdapat sekolah-sekolah yang menyediakan pengganti transpor ala kadarnya. Namun kemampuan tiap sekolah berbeda-beda. "Pernah ada yang memberi sampai Rp 100.000," katanya. Suatu jumlah yang dinilainya sangat besar. Laki-laki yang dilahirkan di Cianjur, 27 Desember 1963 itu mengaku, jumlah rupiah yang diterimanya bukanlah ukuran yang bisa menurunkan atau membangkitkan semangatnya. Yang patut diacungi jempol, justru sikapnya yang tetap gigih menularkan ketrampilannya kepada anak didik. Sudah ribuan dan bahkan puluhan ribu yang dilatihnya. "Saya senang jika orang lain mau mengikuti apa yang saya lakukan," katanya ketika ditanya mengapa ia mau berkeliling dari sekolah ke sekolah. Padahal, ia bukanlah pegawai negeri sipil (PNS) yang ditugaskan negara untuk hal itu. (HER SUGANDA, Anggota Forum Wartawan dan Penulis Jawa Barat) Post Date : 26 Juni 2004 |