|
Kendati tren kenaikan emisi gas rumah kaca yang dihasilkan Indonesia sudah sampai pada taraf membahayakan, kesiapan dan keseriusan belum terlihat pada semua level di lapangan. Upaya mitigasi dan adaptasi belum menjadi gerakan nasional yang melibatkan semua pemangku kepentingan. Secara per kapita, emisi gas rumah kaca (GRK) Indonesia memang masih kalah dibandingkan dengan negara seperti China dan India, apalagi dibandingkan dengan negara maju seperti Amerika Serikat (AS), Uni Eropa, dan Jepang. Namun, secara nasional, Indonesia berada di urutan ketiga negara paling polutif di dunia, setelah AS dan China. Sekitar 85 persen emisi tahunan GRK Indonesia disumbangkan oleh sektor kehutanan, terutama akibat kegiatan penebangan liar, pembersihan lahan, konversi hutan menjadi lahan pertanian atau perkebunan, dan kebakaran hutan. Indonesia, menurut World Resources Institute 2005, bahkan berada di urutan teratas penghasil emisi dari kegiatan konversi penggunaan lahan. Karena kondisi geografisnya sebagai negara kepulauan dengan lebih dari 17.000 pulau, Indonesia juga termasuk salah satu negara yang tidak diuntungkan oleh fenomena pemanasan global. Selain kemarau berkepanjangan, meningkatnya frekuensi cuaca ekstrem, naiknya risiko banjir akibat curah hujan tinggi, dan hancurnya keanekaragaman hayati mengakibatkan beberapa pulau kecil dan kawasan pantai yang produktif terancam tenggelam. Beberapa bencana besar, seperti badai, banjir, dan kekeringan di Tanah Air yang banyak memakan korban beberapa tahun terakhir juga diakibatkan oleh fenomena pemanasan global ini. Namun, dalam beberapa hal, bangsa ini menunjukkan sikap business as usual. Sekarang ini, upaya antisipasi, mitigasi, dan adaptasi masih dihadapkan pada berbagai kendala, seperti perbedaan pemahaman atau persepsi menyangkut dampak perubahan iklim dan rendahnya tingkat kepedulian masyarakat dan pemerintah sendiri. Dari sisi masyarakat, itu antara lain ditunjukkan oleh gaya hidup serta pola berproduksi dan berkonsumsi yang tidak ramah lingkungan. Sementara dari sisi kebijakan pemerintah, ada kesenjangan yang lebar antara aturan dan implementasi di lapangan. Di sektor kehutanan banyak kebijakan dan perundang-undangan yang mendukung pengelolaan hutan yang berkelanjutan di Indonesia. Sayangnya, kapasitas kelembagaan dalam pelaksanaan dan penegakan hukumnya masih lemah. Juga belum ada sinkronisasi dan sinergi program pembangunan dan riset antardepartemen dan lembaga. Komunikasi dan koordinasi antarpihak dan instansi terkait juga lemah. Sistem jaringan kerja pengamatan dan informasi juga banyak yang tidak jalan. Belum lagi kendala sumber dana dan sumber daya, seperti tenaga penyuluh di lapangan. Kemunduran Dalam beberapa hal, Indonesia justru mengalami kemunduran. Contohnya, dalam hal kebijakan energi. Hal ini, antara lain, ditunjukkan oleh meningkatnya ketergantungan pada bahan bakar fosil, terutama dengan adanya program percepatan pembangkit listrik batu bara 10.000 Megawatt yang ditargetkan selesai pada tahun 2010. Dari garis besar program energi nasional, Badan Energi Internasional (Peace 2007, Indonesia and Climate Change: Current Status and Policies) bahkan memprediksikan meningkatnya ketergantungan pada bahan bakar fosil dari 69 persen (2002) menjadi 82 persen (2030). Kebijakan pengembangan energi batu bara dan energi nabati melalui perluasan perkebunan kelapa sawit yang tengah digalakkan pemerintah, secara signifikan akan meningkatkan tingkat emisi GRK Indonesia. Adapun upaya pengembangan sumber energi ramah lingkungan justru terabaikan dan sulit berkembang karena banyak kendala dan minim insentif. Ketidakseriusan Indonesia juga terlihat dari rendahnya keseriusan pemerintah untuk memanfaatkan skema internasional, seperti mekanisme pembangunan bersih (clean development mechanism/CDM) yang dimaksudkan untuk membantu negara-negara berkembang mengurangi emisi GRK. Dari potensi pengurangan karbon sebesar 235 MtCO2) yang bisa dihasilkan melalui proyek-proyek CDM, baru 11 proyek CDM yang diajukan Indonesia. Dari 11 proyek ini, baru delapan dengan potensi pengurangan karbon sebesar 13 MtCO2. Dalam hal ini, Indonesia kalah jauh dibandingkan dengan Malaysia, India, dan China. Itu hanya sedikit contoh yang menunjukkan secara umum bahwa Indonesia belum cukup siap beradaptasi dengan perubahan iklim. Konvensi Perubahan Iklim Ke-13 di Bali pekan depan menjadi momentum penting bagi Indonesia untuk lebih mempersiapkan diri, termasuk dalam penyusunan strategi adaptasi nasional yang kini tengah dilakukan oleh Kementerian Negara Lingkungan Hidup. Apabila ini juga tidak berhasil dituntaskan dengan baik atau tidak didukung sepenuh hati oleh berbagai departemen terkait dan berbagai pemangku kepentingan lain di masyarakat, Indonesia tak akan pernah siap menghadapi dampak destruktif dan katastropik dari pemanasan global. Dalam hal ini, kuncinya adalah kesadaran dan komitmen politik. (tat) Post Date : 01 Desember 2007 |