|
SUMBER, (PR).- Beberapa daerah di Jawa Barat dilanda krisis air bersih setelah sumber air mengering karena kemarau. Bahkan, krisis air bersih melanda hampir setengah wilayah Kab. Cirebon. PDAM kelimpungan setelah sumber air yang menjadi andalan air baku menyusut drastis. Akibatnya, puluhan ribu pelanggan tak terlayani. Dari pengamatan "PR", hingga Rabu (16/7), dua fasilitas PDAM di Kab. Cirebon yakni intake atau WTP (water treatment plan) di Kapetakan dan Losari lumpuh. Sudah dua pekan terakhir tidak bisa mengalirkan air. Tak hanya pelanggan air PDAM, lebih dari 50.000 warga bukan pelanggan PDAM, kesulitan air bersih di sejumlah kecamatan di wilayah utara dan timur Kab. Cirebon. Di wilayah utara yang kebutuhan air bersihnya selama ini dilayani intake Kapetakan, krisis air bersih terjadi di Kec. Kapetakan, Suranenggala, Cirebon Utara, serta Gunung Jati. Di wilayah timur, krisis air bersih melanda warga di Kec. Losari, Ciledug, Gebang, Pangenan, dan sekitarnya. "Seluruh sumber air mengalami penurunan debit mencapai 30 persen lebih. Dua WTP kami telah lumpuh karena tidak memperoleh pasokan air baku sama sekali," tutur Ir. H.M. Nasija Warnadi, Direktur PDAM setempat. Menurut Nasija, WTP Kapetakan lumpuh karena air tidak bisa masuk ke Bendung Karet di Sungai Kumpul Kuista. Air dari Bendung Rentang mengalir tidak bisa sampai ke wilayah paling ujung irigasi tersebut. "Jadwal gilir air harus diubah, dengan 6,5 hari jatah Cirebon, ternyata tidak cukup. Air tidak bisa sampai ke WTP, keburu habis di daerah Kec. Gegesik," katanya. Sedangkan untuk wilayah timur, krisis air terjadi menyusul menyusutnya debit Sungai Cisanggarung, yang sumber airnya dari Waduk Darma di Kuningan. Debit air yang mengalir ke WTP Tawangsari di Losari, hanya 200 liter/detik, padahal minimal seharusnya di atas 500 liter/detik. Untuk pertanian Humas PDAM, Ade Suhindar menjelaskan, air yang ada telah habis untuk kepentingan pertanian. Baik di wilayah utara maupun timur yang mengalami krisis air bersih, air yang ada justru diprioritaskan untuk sawah maupun ladang bawang merah. "Padahal, sesuai UU tentang Sumber Daya Air No . 7 Tahun 2004, peruntukan air yang utama itu untuk kepentingan langsung manusia, dalam hal ini ialah kebutuhan air bersih," ujarnya. Untuk mengatasi krisis air bersih, PDAM menggunakan upaya darurat dengan mengerahkan 24 unit tangki untuk mengirim air ke daerah-daerah yang paling parah dilanda krisis air bersih. Berebut air Krisis air bersih juga melanda Indramayu. Kecamatan Krangkeng dan Cantigi tergolong wilayah terparah terkena dampak kekeringan tersebut. Warga di dua kecamatan itu mengeluh karena harus mengeluarkan tambahan biaya hidup sehari-hari karena harus membeli air bersih yang harganya antara Rp 1.000,00 hingga Rp 1.500,00- per jeriken. Sedangkan bantuan air bersih yang dipasok PDAM Indramayu jumlahnya terbatas, hingga untuk memperolehnya harus berebut. Menurut salah seorang warga Desa/Kec. Krangkeng, Narsih (32), desanya selalu mengalami kesulitan air saat kemarau datang. Kerusakan KBU Sementara itu, potensi air pada musim kemarau yang dapat dimanfaatkan hanya 10% dari 0,3 miliar m3/tahun air tanah yang diserap. Salah satu penyebabnya, karena kerusakan wilayah konservasi di Kawasan Bandung Utara (KBU). Demikian diungkapkan Ketua Kelompok Kerja Komunikasi Air (K3A), Dine Andriani, ketika ditemui saat kunjungan lapangan ke Desa Cibogo Kec. Lembang Kab. Bandung Barat (KBB), Rabu (16/7). "Untuk meningkatkan debit air pada sumber-sumber air, perlu koordinasi sinergis antara masyarakat sekitar, pemerintah, dan para pemilik modal di KBU untuk melakukan pola bangun dan pola tanam yang tidak merusak lingkungan serta peningkatan konservasi lingkungan dengan mulai menanam pohon kayu keras untuk menambah resapan air," katanya. Potensi air permukaan di Jabar mencapai 66,198 miliar m3/tahun. Sedangkan kebutuhan hanya 34,4 miliar m3/tahun. Seharusnya Jabar mendapat surplus air, namun kenyataannya hanya 6,8% yang bisa dimanfaatkan, selebihnya terbuang menjadi banjir. Kebutuhan air warga Kota Bandung mencapai 0,2 miliar m3/tahun. Padahal, 77 mata air dan 46 sungai yang ada di Bandung dalam kondisi sekarat, sehingga saat musim hujan tiba, aliran air permukaan akan meningkat tajam sedangkan pada musim kemarau cadangan air akan turun drastis. Kondisi penurunan debit air terlihat pada mata air Cikareo di Kampung Cibogo Desa Cikole Kec. Lembang. Penurunan debit air terjadi karena kawasan hutan di hulu mata air dari Kampung Ciana mengalami kerusakan parah. Selain disebabkan kerusakan lahan, debit air yang tersisa pun banyak dicemari kotoran dari usaha peternakan masyarakat. Tidak adanya bak penampungan kotoran hewan menyebabkan masyarakat membuang limbah kotoran sapi ke badan sungai dan mencemari mata air. Debit air Cikareo semakin menurun, mencapai 35 liter/detik, sebanyak 15 liter/detik dimanfaatkan oleh warga sekitar. Data 2007 lalu menyebutkan, debit air mencapai 48 liter/detik. Untuk menyelamatkan mata air dan menambah debit air, masyarakat berinisiatif menerapkan zonasi penyerapan air. Zonasi menjadi salah satu bentuk perlindungan mata air sebagai sumber air baku dari pencemaran dan penerapan konservasi. Di kawasan tersebut akan dibagi dalam tiga zonasi, mencakup kawasan Cikareo-Desa Cibogo (zona III) seluas 35 hektare, Kampung Pondok-Desa Cikole (zona II) seluas 400 hektare, dan kawasan hutan Perhutani dan tanah warga di Desa Jayagiri (zona I) sekitar 700 hektare. Zona I dan II berfungsi sebagai kawasan penyerapan dan penangkapan air (catchment area), sehingga dapat meningkatkan debit air di Cikareo sebagai muara. (A-93/A-96/A-158) Post Date : 17 Juli 2008 |