|
"Saya dulu pernah berendam di Senjoyo. Waktu itu lagi musim ilmu-ilmuan. Biar sakti, ha-ha-ha...!" seloroh aktor kelahiran Salatiga, Roy Marten, tentang masa remaja di sendang Senjoyo. Roy mengenang era 1960-an ketika kultur politik mengondisikan kaum muda untuk memiliki kekuatan fisik. Orang menggembleng diri, melatih kekuatan raga untuk menjadi gemblengan. Salah satu cara yang dipercaya adalah dengan laku kungkum, berendam di Senjoyo. Roy hanya dalam taraf main-main. Sampai hari ini Senjoyo masih dijadikan tempat kungkum. Menurut Mbah Jasmin (77), juru kunci Senjoyo, orang datang berendam pada hari-hari tertentu seperti malam Jumat Kliwon dan Selasa Kliwon. Juga pada saat bulan purnama atau pada tanggal 15 dalam penanggalan Jawa. Puncak perkungkuman terjadi pada malam satu Suro. Ada riwayatnya mengapa Senjoyo menjadi tempat kungkum. Konon, menurut legenda, Mas Karebet atau Joko Tingkir pernah bertapa kungkum di Senjoyo. Kelak di kemudian hari, Joko Tingkir berkedudukan sebagai penguasa Kesultanan Pajang dengan gelar Sultan Hadiwijoyo. "Rumiyin, sak derengipun nyuwita ing Demak, Mas Karebet kungkum ing mriki (Senjoyo), ndadar kanuraganDulu sebelum mengabdi di (Kesultanan) Demak, Mas Karebet merendam diri di sini untuk berolah kesaktian," tutur Mbah Jasmin yang ditemui Kompas di tepi sendang. Legenda Senjoyo dengan Mas Karebet-nya itu masih populer di tengah masyarakat Salatiga sampai saat ini. Maryono, wong Salatiga "senior", punya tambahan legenda. Konon, katanya, air sendang yang biasanya tenang tiba-tiba menyembur deras. Jika dibiarkan, bisa terjadi banjir. "Bujangan dari Desa Tingkir itu cepat memotong rambutnya untuk menyumbat mata air yang menggila. Boleh jadi rambut Joko Tingkir gondrong mirip rambut Robert Plant," seloroh Maryono yang membayangkan rambut Joko Tingkir seperti rambut vokalis grup rock Inggris, Led Zeppelin. Konon rambut gondrong Joko Tingkir menjadi penyaring mata air sendang hingga air mengucur bening sampai hari ini. Itu cerita rakyat tentang Senjoyo. Secara administratif, Senjoyo masuk wilayah Desa Tegalwaton, Kecamatan Tengaran, Kabupaten Semarang, Jawa Tengah. Tapi secara geografis lebih dekat dengan Kota Salatiga, yaitu sekitar lima kilometer ke arah timur kota. Indah Folklor, cerita rakyat, adalah dokumen hidup pada masyarakat dengan budaya lisan. Cerita tentang Senjoyo menjadi indikator bahwa sendang itu hidup di kalangan rakyat. Nyatanya, Senjoyo sampai hari ini menghidupi warga sekitar Salatiga dengan ruahan air bening. Senjoyo mengingatkan pada sendang di negeri dongeng. Sendang dikitari pepohonan rindang. Sekitar sendang dilingkungi hutan kecil seluas sekitar lima hektar. Di tepi sendang tegak berdiri pohon pule, suren, preh, doyo, dan beringin. Sulur-sulur daun pohon tua itu menjuntai seperti hendak meraih air sendang. Air begitu bening hingga batu dan kerikil di dasar sendang terlihat jelas. Limpahan air disalurkan ke sungai-sungai. Gemercik air terdengar dari puluhan mata air di dasar sendang yang tak henti mengalir. Terdengar pula kicau burung kutilang. Suatu sore di bulan Oktober lalu sinar matahari menembus rimbun daun di tepi sendang. Berkas-berkas sinar membentuk garis-garis miring menembus dasar sendang. "Tempatnya indah, enak untuk pacaran," kata Roy Marten. "Tapi ada mitos, jangan bawa pacar ke Senjoyo. Bisa putus. Ceweknya bisa tertarik pada Joko Tingkir, he-he-he!" seloroh Roy Marten yang tinggal di Gilingrejo, Kelurahan Gendongan, Salatiga. Senjoyo menjadi hiburan keluarga dari masa ke masa. Pasangan Amir (35) dan Eli (30) dari Desa Sukoharjo, Cebongan, sekitar dua kilometer dari Senjoyo, sengaja berekreasi komplet ke Senjoyo. Anaknya yang berumur tiga tahun dibiarkan ciblon, bermain air di sendang, sementara Amir dan istrinya mencuci kain gorden dan seprai di sendang. Di sendang, Amir yang berpenghidupan sebagai sopir truk itu secara tak sengaja bertemu kawan lama. Mereka dulu di masa kecil sama-sama sering mandi di sendang. Rusak-ruwat Kini Senjoyo berhadapan dengan perubahan zaman. Tengoklah dasar sendang yang bening itu, maka tampaklah beragam bungkus sabun mandi, plastik kemasan detergen, sachet sampo, bungkus makanan ringan, dan berjenis sampah. Segala rupa limbah itu tampak jelas seperti kolase di dasar sendang. "Kami pernah membersihkan sampah dari dasar sendang. Dari areal yang cuma seluas dua kali tiga meter saja kami dapat berkarung-karung sampah. Kami bahkan menemukan bungkus Rinso tahun 1980-an," kata Rudi Ardianto dari komunitas Tanam Untuk Kehidupan (TUK), kelompok seniman yang prihatin pada lingkungan di Salatiga. Senjoyo tengah menghadapi realitas kehidupan urban. Sendang tak hanya menjadi tempat orang mengambil air untuk kehidupan. Di sana orang juga mencuci karpet, tikar, kain gorden, seprai, lengkap dengan detergen yang berbusa-busa. Di musim panas, ketika di beberapa tempat di Salatiga kesulitan air, berdatanganlah orang membawa truk berisi beberapa tangki air. Senjoyo sejak dulu menghidupi warganya. Di sebuah gardu pompa di sisi barat sendang tertera angka tahun pendirian pompa, yaitu 1887. Kini beberapa pihak memanfaatkan air sendang untuk kepentingan air minum dan industri. Di sana tertancap pipa-pipa besi dari PDAM Pemkot Salatiga, PDAM Kabupaten Semarang, serta sebuah instansi militer. Selain itu ada pula perusahaan tekstil PT Damatex yang mengambil air untuk keperluan industri. Seiring dengan rusaknya daerah tangkapan air di sekitar Salatiga, debit air Senjoyo pun menurun. Data dari PDAM Salatiga menyebut dari tahun ke tahun debit air Senjoyo terus menurun. Menurut Darminta, Direktur PDAM Salatiga, sekitar enam tahun lalu pada musim hujan elevasi air mencapai 140 sentimeter. Kini di musim kemarau ketinggian air berada pada angka 90 sentimeter. Air memang masih melimpah di Senjoyo. Tapi, debitnya terus menurun dari tahun ke tahun. Pertanyaan, sampai kapan sendang itu akan bermurah air? Pertanyaan itulah yang mengusik seniman Salatiga untuk menjadikan Senjoyo sebagai arena Festival Mata Air pada 4-5 November ini. Festival itu menjadi semacam ruwatan, ritual ala seniman untuk mengajak masyarakat menjaga sumber air yang akan menjadi penghidupan mereka hari ini dan di masa datang. "Senjoyo asat (kering), nggih kiamat," kata Mbah Jas yang dengan arif membaca isyarat alam. Frans Sartono & C Wahyu Haryo PS Post Date : 05 November 2006 |