Dari tahun ke tahun, kondisi hutan dan lingkungan hidup di Kabupaten Garut kian rusak. Padahal, mengacu pada tata ruang provinsi, 85 persen wilayah Garut merupakan kawasan lindung. Artinya, kabupaten yang masih termasuk jajaran daerah tertinggal ini berperan penting dalam memperkuat daya dukung alam Provinsi Jawa Barat. Oleh karena itu, kerusakan alam yang terjadi sudah seharusnya menjadi perhatian serius banyak pihak terutama pemerintah.
Sebenarnya, tidak terlalu sulit melihat kerusakan lingkungan yang sedang berlangsung di Garut. Menurut Sekretaris Forum Terbuka Kerusakan Hutan (FTKH) Kabupaten Garut Yudi Indratno, debit Sungai Cimanuk bisa menjadi indikator sederhana kerusakan lingkungan. Keringnya Sungai Cimanuk pada saat kemarau dan meluapnya sungai ini ketika musim hujan menjadi sebuah pertanda ada sesuatu yang salah dengan lingkungan. Fluktuasi ekstrem debit Sungai Cimanuk seolah menjadi lampu peringatan bagi kita bahwa kemampuan hutan menahan air dan menyimpannya telah berkurang.
Pada 2007 FTKH melakukan survei mata air di kaki Gunung Papandayan, Kecamatan Cisurupan. Saat itu ditemukan sekitar 30 mata air. Ketika pada Juni 2009 FTKH kembali menyurvei di lokasi yang sama, ditemukan sekitar 10 mata air yang sudah kering. Karena itu, tak mengherankan, pekan lalu muncul konflik antarwarga desa di Kecamatan Cisurupan yang memperebutkan sumber mata air. Sebuah ironi, masyarakat yang tinggal di kaki Gunung Papandayan justru berteriak-teriak kesulitan air.
Lingkungan yang sakit
Anggota Yayasan Jenggala yang bergerak di bidang lingkungan hidup di Kabupaten Garut, Tubagus Agus Sofyan, punya pendapat yang tidak jauh berbeda. Banjir atau genangan di pusat kota ketika hujan pun menjadi sebuah indikator bahwa lingkungan di sekitar sedang sakit. Pembangunan dan pemanfaatan ruang oleh manusia tidak seharusnya mengabaikan keseimbangan alam. Pembangunan dan eksploitasi yang tidak memerhatikan lingkungan akan berdampak buruk. Salah satunya bencana alam.
Bagi Yudi, kelestarian dan kerusakan hutan yang terjadi tak lain bermuara pada isu besar ketersediaan air. Sebagai sumber kehidupan, air sangat dibutuhkan manusia. Namun, karena kelalaian manusia dalam menjaga alamlah, air justru terkadang menghadirkan bencana. Banjir dan longsor menjadi bukti paling sahih asumsi ini.
Meskipun masyarakat sadar bahwa hidup tanpa air adalah malapetaka, tidak sedikit perilaku masyarakat yang tidak sejalan dengan upaya konservasi. Misalnya, membuka kebun sayur pada lahan yang kemiringannya di atas 40 persen tanpa menerapkan kaidah konservasi. Fenomena seperti itu terlihat di antaranya di Kecamatan Samarang, Pasirwangi, dan Cisurupan.
Agus menyatakan, kita tidak akan hidup selamanya. Anak-cucu kita akan menjadi penerus generasi manusia. Kepada merekalah kita akan menitipkan mata air untuk kehidupan. Tidak ada kata terlambat bagi kita untuk menyelamatkan keberlangsungan hidup generasi yang akan datang dengan memelihara lingkungan saat ini. (ADHITYA RAMADHAN)
Post Date : 04 Maret 2010
|