|
Nusa Dua, Kompas Meski ancaman pemanasan global sudah nyata, emisi gas rumah kaca sebagai penyebab utamanya masih terus bertambah. Ini berarti semua negara gagal melaksanakan berbagai komitmen yang diamanatkan dalam Protokol Kyoto. Dalam pembukaan Pertemuan Tingkat Tinggi pada Konferensi PBB Mengenai Perubahan Iklim di Nusa Dua, Bali, Rabu (12/12), Presiden Palau Tommy E Remengesau menambahkan, "Sebaliknya semua malah ketakutan kalau komitmen ini membutuhkan aksi yang akan berdampak pada ekonomi nasional dan gaya hidup secara individu." Padahal, jika benar-benar ingin merespons perubahan iklim, gaya hidup memang harus berubah. Presiden Maladewa Maumoon Abdul Gayoom menegaskan bahwa negara-negara dalam kelompok Negara-negara Berkembang Pulau Kecil (Small Island Developing States/SIDS) berkomitmen melanjutkan negosiasi untuk menuju kesepakatan global menstabilkan sistem iklim. "Di Bali, perlu disepakati kejelasan peta jalan untuk negosiasi dan batas-batas waktu yang penting sampai Kopenhagen 2009," ujarnya. Karena umat manusia sudah tidak ada waktu lagi, konferensi di Bali harus digunakan sebagai kesempatan emas menuju tataran baru yang bebas dari kecurigaan dan kebingungan. Senada dengan itu, Presiden Palau menandaskan perlunya keputusan moral untuk meninjau kembali kerja konvensi ini dengan sikap tidak egois dan mengakui adanya krisis terbesar yang pernah dihadapi dunia. Realitas keseharian Bagi negara-negara kepulauan, ancaman perubahan iklim menjadi realitas keseharian. Sekitar 70 pulau di Maladewa telah terkena dampak gelombang tinggi. "Karena itu, isu perubahan iklim yang semula merupakan isu sains harus segera dijadikan isu kemanusiaan. Yang terjadi, justru isu sains bergeser menjadi isu politik," kata Gayoom. Proses negosiasi seharusnya tidak dipandang sebagai rangkaian tradisional dari dagangan pemerintah, tetapi sebagai upaya internasional untuk menyelamatkan seluruh kehidupan di Bumi. Tentang langkah adaptasi dari negara-negara kecil, Remengesau mengungkapkan bahwa para pemimpin di Pasifik Utara telah bertekad melindungi 30 persen pantainya dan 20 persen sumber daya alamnya. PM Singapura Lee Hsien Loong mengajukan tiga prinsip kerangka kerja pasca-2012 saat Protokol Kyoto habis masa berlakunya. Dia juga mengajukan lima pendekatan efektif untuk menangani perubahan iklim. Ketiga prinsip itu adalah kerangka kerja yang harus mencakup komitmen dan partisipasi semua negara di bawah payung UNFCCC. Negara-negara maju masih harus memimpin dalam pengurangan emisi. Berikutnya harus mengakui pentingnya perkembangan ekonomi karena banyak negara yang masih berupaya mengatasi kelaparan, penyakit dan kemiskinan. Hal lain adalah mempertimbangkan perbedaan kondisi dan situasi negara-negara. Dengan memerhatikan prinsip-prinsip di atas, ada lima pendekatan efektif untuk menghadapi dampak perubahan iklim. Dari mencari cara pragmatis dan murah untuk mengurangi emisi gas rumah kaca, melindungi mekanisme penyerapan karbon dunia, mencari cara terbaik mengurangi emisi tanpa menimbulkan guncangan ekonomi, mencari teknologi baru yang bisa beradaptasi pada penemuan ilmiah baru, serta penegasan bahwa Singapura mendukung riset global untuk perubahan iklim. "Singapura telah bermitra dengan China membangun kota ekologis Tianjin yang akan diikuti kota-kota lainnya di China," kata Lee. (ISW) Post Date : 13 Desember 2007 |